Raihan masih berusaha membuka daun pintu pada ruangan yang menyekapnya. Sudah hampir satu jam Raihan berusaha membuka pintu dengan sisa tenaganya. Raihan menggunakan penjepit kertas yang terselip di sakunya. Itu memang kebiasaannya; membawa penjepit kertas ke mana pun ia pergi. Sesekali Renata menegurnya dengan menanyakan pertanyaan yang sama seperti 'untuk apa penjepit itu lo bawa-bawa' Raihan sampai hafal dengan kalimat yang dilontarkan Renata terhadapnya.
Raihan terkejut ketika sebuah bunyi lirih menggenapkan usahanya. "Yash," katanya lirih. Raihan mengayunkan pegangan pintu dan membukanya perlahan. Kepala raihan menjulur ke luar, melihat sekitar yang ternyata adalah sebuah lorong yang panjang.
Raihan membuka ambang pintu itu dan melintas serta menutupnya kembali. Perlahan ia mulai meninggalkan ruangan itu, menjarakinya. Raihan menelusuri lorong yang hening itu. Raihan masih merasa aman, tak ada sesuatu yang mencurigakan atau suatu rasa kehadiran orang asing mendekati dirinya.
Raihan mulai memperluas pandangannya, sesekali ia harus bersembunyi di antara furnitur yang diletakkan di sekitar lorong panjang, dengan permadani bercorak ukiran kompleks berkelir emas dan merah, lorong itu dilapisi dengan dinding berlapis kayu, dengan tiang berbentuk silinder, lukisan yang terpajang dengan jarak tertentu, dan beberapa pot tanaman yang berjajar tepat menyandar di tiang-tiangnya. Terdapat beberapa lampu yang menyorot lukisan: membuat suasana di ruangan tersebut tampak seperti ruang galeri foto.
Raihan merasa aneh, juga curiga. Mengapa sepi sekali di sini? Ini gawat, apa aku harus kembali ke kamar itu lagi?
Raihan berhenti sejenak, ia kembali menyapu pandang ke arah sekelilingnya. Keanehan masih menyertainya karena CCTV yang terpasang di ruangan tersebut pun tak terlihat lampunya berkedip, menyala, atau gerakan pada CCTV itu.
Raihan memutuskan untuk melanjutkan langkahnya, mengendap-endap.
Tak ada satu orang pun, akan tetapi desiran darahnya semakin kencang, Raihan tak bisa mengelak itu adalah pertanda bahwa dirinya tidak aman.
./-././.-./ --./..
Raihan masih bersembunyi di balik guci yang bersembunyi di balik dinding yang sedikit menjorok daripada dinding lainnya.
Suara bariton dan langkah kaki (hampir serempak) mulai mendekati posisi Raihan sekarang. Raihan semakin menciutkan tubuhnya, berharap dirinya bisa menghilang dan langsung menerobos di antara orang-orang yang laun semakin mendekat. Raihan sampai menahan napas ketika sekumpulan orang itu berada pada jarak yang amat dekat dengannya.
Terdengar suara kekehan di antara kumpulan orang-orang itu."Kerja kalian memang bagus, aku tak sabar melihatnya." Suara bariton yang dalam, jelas, santai, akan tetapi seakan menyembunyikan suatu misteri.
Sebuah suara yang berbeda muncul. "Terima kasih, Tuan, kami sangat senang bisa melayani, Tuan."
"Aku ingin melihatnya dari dekat." Orang ini menaikkan dagunya. Tongkat yang berada dalam genggamannya, kini berdiri tegak: sejajar tubuhnya.
Raihan menutup mulut, terlalu lama baginya untuk menahan napas sepanjang pembicaraan kumpulan orang yang sekarang masih berada tepat di belakangnya; mereka hanya terpisah guci yang menjadi saksi keduanya.
"Jangan banyak bicara. Cepat ke kamarnya."
Beberapa menit berlalu, kumpulan orang itu sudah tak terlihat lagi. Raihan merasa aman, ia kembali mengendap-endap, semakin menjaraki kerumunan tadi.
"Tapi maaf Tuan, mungkin kami memberikan anestesi terlalu banyak hingga berefek pada tubuhnya, tapi kami sudah menanganinya dengan obat peredam."
"Begitu, rupanya." Seseorang yang disebut-sebut sebagai tuan ini mengangkat sudut bibirnya, sedangkan pandangannya tertuju ke arah pintu kamar tempat Raihan disekap.
"Sepertinya kalian kurang berhati-hati terhadap buruan kalian." Keempat orang yang berpakaian serba hitam itu saling menatap satu sama lain, secara bergantian. Mereka seperti berkomunikasi secara samar: menerjemahkan apa yang dimaksud oleh tuannya.
"Tak apa ..." Sang tuan mengacungkan tongkatnya ke arah dua ambang pintu yang kuncup, memberi isyarat kepada dua orang yang berada tepat di sampingnya untuk memekarkan kuncup daun pintu itu.
Ketika kedua daun pintu itu dibuka semua mata membelalak: tertegun, kecuali sang tuan yang kembali menyunggingkan senyum di sudut bibirnya. Sang tuan itu bertanya dengan nada yang sedikit menekan, akan tetapi dengan intonasi yang lirih.
Kedua orang yang berada di sampingnya sedikit mencondongkan tubuhnya, alih-alih untuk mendengarkan perkataan sang tuan itu. Lekas beberapa orang mendekatkan microphone ke mulutnya dan mereka memberikan perintah kepada orang di seberang sana.
Di sisi lain, Raihan masih menelusuri koridor rumah, ia mengerling ke sisi kanannya, matahari hampir tenggelam, hanya menyisakan guratan yang berkelir jingga kemerahan. Raihan menduga, mengira-mengira sudah pukul berapa saat itu.
Raihan lekas berlari untuk mengakhiri suasana yang membuat dirinya tercekik, tak nyaman. Beberapa menit berselang napasnya semakin memburu; tubuhnya tahu bahwa dirinya sudah berada dekat dengan musuh. Raihan melihat sebuah void yang mirip seperti tangga dari kejauhan. Ia bergegas menebas jarak dari tangga itu.
Raihan yang tersentak oleh dua orang yang sudah mencapai setengah perjalanan dari tangga, sedang dirinya sedang diperjalanan menuju anak tangga ketiga, dengan lesat Raihan mengerling, menggamit ujung railing tangga, menggenggam kuat, untuk menopang tubuhnya yang mengangkat, melayang di udara sepersekian detik.
Kumpulan orang yang menyaksikannya hanya memandang dengan tatapan heran, bergeming di posisinya masing-masing. Raihan menyapu pandangan dengan cepat, setelah dirasa kesempatan baik ada pada dirinya kini, ia langsung berseluncur di railing tangga yang menggunakan material elemen kayu, Raihan duduk berseluncur hingga penghujung tangga. Kemudian, dengan sigap ia melompat tinggi untuk, memancal kedua orang berpakaian serba hitam di depannya.
Ketika sekumpulan orang yang berpakaian serba hitam itu terbangun dari lamunannya, mereka sama mengejar Raihan, akan tetapi Raihan yang kini sedikit memperluas jarak dengan mereka segera mengambil senjata dari orang-orang yang tengah tergolek di lantai akibat tendangan dari Raihan.
Sekumpulan orang yang tersisa kontan menghunus senjata apinya masing-masing, mengarahkannya ke wajah Raihan. Kini dirinya dalam pengepungan.
./-././.-./ --./..
Pukul 22 : 30
Kantor Bareskrim POLRI Unit Kriminalitas.
Di ruangan rapat kelompok Kholili, Renata dan Mirshal tak hentinya menatap layar laptop dan menggerakkan tetikus, sesekali mereka berdua menarikan jemari di atas papan ketik. Mereka sedang mencari lambang dari tato yang yang digambar Renata saat mendiskusikan kasus kematian walikota.
"Kau bisa mengingat bentuk tato itu?"Kholili menatap ke arah Renata hingga manik mata mereka berserobok.
"Baik, Pak." Renata segera mengeluarkan buku saku beserta pulpen kecil yang ada di saku bagian dalam jaketnya, Renata lekas menggambar bentuk dari tato yang dilihatnya.
"Saya hanya melihatnya sekilas," semua mata tertuju ke arah Renat, mereka memperhatikan dengan seksama sejak Renata memulai menggambar di atas buku yang teraling-aling sampul, "kira-kira, seperti ini bentuknya."
Sepersekian detik wajah-wajah yang tadinya melihat dengan serius jadi menahan tawa. Chairul menutup mulutnya sedang tubuhnya terguncang, sampai terbatuk-batuk, Kholili menoleh ke langit-langit selama sepersekian menit, sedangkan Mirshal menahan kekehannya dengan menutup mulutnya.
"Kau yakin bentuknya seperti itu?" tanya Chairul kembali.
"Saya, kurang yakin, tapi kira-kira seperti ini, Pak."
"Ini lebih seperti kepala orang?" tanya Chairul.
"Tidak, sepertinya, Pak," jawab Renata menatap ke arah Chairul.
"Segera cari simbol itu di database penyelidikan dan berbagai sumber yang ada. Kalau perlu retas situsnya." Kholili mengomando kepada asisten dan anggota timnya.
./-././.-./ --./..
Renata menjulurkan kepalanya, memandang ke arah Mirshal. Renata melihat Mirshal yang masih fokus pada layar kaca, tak sedikit pun pandangannya teralihkan; kopi yang tadinya mengudarakan asap kini hanya kopi hitam di dalam cangkir yang masih menunggu sang empunya menyeruputnya.
"Shal, sebaiknya kita istirahat dulu, kau lapar?"
"Mungkin sebentar lagi Rena, aku masih berusaha memecahkan kata kunci dari suatu situs." Renata mendelik dengan kata-kata yang diutarakan oleh rekannya itu. Ia merasa heran: Mirshal tak pernah menolak soal makan. Kemudian, sejak kapan dia bisa meretas sebuah situs yang bahkan orang-orang atau agensi saja tak mampu.
"Kau bisa melakukannya, Shal?" tanya Renata masih tak percaya.
"Ah, selesai, Rena—coba ke sini sebentar." Mirshal memberi isyarat, Renata segera mendekat kepada Mirshal, Renata mengambil posisi di samping kursi yang Mirshal duduki, melihat ke arah monitor yang berisi sebuah database: data keanggotaan sebuah organisasi rahasia.
"Rena!" Mirshal yang tersadarkan sesuatu yang tebersit di pikirannya membuat Renata kontan terlonjak.
"Apa, Shal? Bikin jantung mau copot aja, apa, kenapa?"
"Aku memasang sesuatu juga di jam tangan Rai, masih bisa dilacak nggak, ya, takutnya sudah dilepas." Mirshal melekatkan kepalan tangannya ke dagunya.
"Serius? Coba, Shal."
"Semoga masih bisa, ya," kata Mirshal santai. Mirshal menekan beberapa tuts keyboard gawainya dan mencari nama chip yang telah ia pasang.
"Kau sampai memikirkan hal seperti itu kepada kera gila itu?" Renata menekuk sudut bibirnya ke atas, tanya yang tadinya mencengkram pinggiran kursi yang di duduki Mirshal, kini ia urungkan, badannya yang tadi condong kini menjauh—mundur.
"Hei, jangan salah paham Rena, aku agak waspada dengan Raihan yang selalu menghilang secara tiba-tiba kalau musuh terdeteksi oleh dirinya, makanya aku bikin chip ini untuk dia agar bisa mencari dengan cepat di mana keberadaannya," jelas Mirshal panjang lebar.
"Emm, oke, tapi sejak kapan kau membuat alat seperti itu?"
"Belum lama ini, sebelum kita memulai untuk menguak kasus kematian walikota."
"Kau ... memasangnya dan dia tak tahu?"
"Dia tahu." Mirshal menjawab pertanyaan Renata sambil memaju mundurkan bahunya dari sandaran kursi, sedangkan tangan kanannya masih dengan lihai memutar dan menggerakkan mouse. Pandangannya pun selalu tertuju pada layar yang menampilkan gambar acak secara cepat—matanya tak lelah berlama-lama menatap layar monitor yang menantang Mirshal dengan cahaya serta gelombang radiasi yang dipancarkan.
"Ah." Lagi-lagi Renata terlonjak dengan suara spontan yang dilontarkan oleh Mirshal. Renata kontan menampik punggung Mirshal hingga Mirshal berjengit, mengusap punggungnya.
"Aku teringat sesuatu." Mirshal telah usai mengusap punggung dan beralih mengetik kembali, ia semakin melajukan kecepatan jemari yang menari di atas keyboard, "aku ingat, aku bisa menemukan di mana Rai berada, sebentar, ya, Rena, jangan ke mana-mana, aku akan menelusuri dengan cepat.
"Ah, syukurlah, masih berfungsi ternyata." Kini layar komputer itu berubah menjadi grafis peta yang komplek semacam The Global Positioning System (GPS). Semburat merah seperti titik berkedip berada di suatu titik di dalam peta itu. "Akhirnya kita menemukannya, Rena." Mirshal berpaling ke arah Renata sambil menampakkan senyum semringah.
"We got him, and c'mon let's tell this info to everyone."
"Yeah, you right." Renata yang sedari tadi ikut tersenyum menyetujui usulan Mirshal. Kemudian, Mirshal menyalin koordinat letak di mana Raihan berasal di layar gawainya. Mereka berdua segera merapikan semua berkas dan benda-benda yang berserakan di meja kerja Mirshal. Tak lupa Mirshal yang teringat akan kopi yang telah diabaikannya beberapa waktu yang lalu, kini menjemput lengan gelas lalu segera menyeruput kopi itu.