Bismillah Titip Hatiku ✔️ [EN...

By zuhliyana

301K 18.6K 278

FOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang... More

Perkara Jodoh
Aku Payah
Dipertemukan Lagi
Bunga Cintaku Terpaksa Layu
Bersikap Egois
Meraih Cinta
Lili Itu Cantik
Keluarga Besar
Hanya Sebatas Itu
Memori Pahit
Saran Ghaida
Balas Dendam
Kemarahan Ihsan
Bertemu Lagi
Tentang Roy
Sakit
Perkelahian
Alasan Bertahan
Roy Mulai Curiga
Urus Diri Sendiri
Perasaan Ihsan
Berita Besar
Akhiri Saja
Apa Pedulimu?
Tertawakan Saja Aku
Ceritakan Semuanya
Cerai
Kedatangan yang Tak Diharapkan
Bismillah, Maukah Kamu?
Berita Duka
Janji
Hari Bahagia Si Beruang Kutub
Separuh Hatiku
Benang Kusut
Jangan Takut
Permintaan Roy yang Aneh
Akhir Kisahku
Mari, Memulai Kembali
Kebahagiaan Bersama
Permohonan yang Tidak Sia-sia
Tolong, Hentikan Semua Ini
Kami Ada di Sampingmu
Si Kecil Pelengkap Kebahagiaan
Namanya Juga Manusia
Pahami Aku
Salahkah Perasaan Ini?
Jemput Sekarang
Belajar Bersama
Gelombang Rinduku

Sandiwara

5.3K 424 5
By zuhliyana

Kutatap pantulan diri dari balik cermin. Kebaya berwarna putih gading dengan lengan panjang terlihat sangat indah melekat di badan. Riasan yang terkesan sederhana dan hijab berwarna senada sepertinya menambah kecantikanku pada pagi ini.

Perlahan aku menapaki tangga, turun menghampiri seluruh anggota keluarga yang sudah menunggu di ruang tamu.

"Masya Allah, cantik banget Kakak," ucap Mira bersemangat. Wanita yang hari ini mengenakan dress dengan warna ungu itu mendekat, dan tersenyum indah padaku.

Seumur-umur, baru kali ini Mira memujiku. Sepertinya tak ada sedikit pun kebohongan, jika mendengar caranya mengucapkan kalimat itu.

Bang Faris menengok sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangannya, "Ayo, kita berangkat!"

Kami semua bergegas menuju tempat diselenggarakannya akad pernikahan. Jujur saja, sepanjang perjalanan jantungku sudah memompa dengan sangat kencang. Tangan teras sangat dingin. Sesekali kugosokkan tangan pada paha agar mengurangi rasa gugup ini. Tak lupa juga mengatur napas sebaik mungkin.

Apakah semua wanita akan seresah ini pada hari bahagianya? Sepertinya iya.

Usai membelah jalanan ibu kota selama 15 menit, kami sampai juga di depan Masjid Ramlie Musoffa. Kupandangi masjid ini dengan takjub. Bangunan yang besar dan luas, dominan dengan warna putih dan warna emas pada tulisan nama masjid dan kaligrafi, warna yang memberi kesan mewah. Desain eksteriornya juga berhasil menampilkan kesan unik dan megah. Dapat kusebut bangunan ini seperti replika Taj Mahal. Aku benar-benar tidak berlebihan dalam mengatakannya.

"Ayo, kita masuk!" Kakek menuntun langkahku untuk masuk dengan diiringi Tante Sarah di sisi kanan. Tak lupa juga Mira dan Bang Faris di belakang, serta seluruh anggota keluarga besar kami.

Setelah masuk ke bagian dalam masjid, sosok Ihsan masih belum datang. Usut punya usut, ternyata ada sedikit kendala dalam perjalanan. Perasaanku ini sudah sangat resah, ditambah lagi mendengar kabar itu tentu saja sukses membuat jiwa ini semakin kalut.

Beberapa menit berlalu, rasanya jarum jam kali ini berputar dengan sangat lambat. Berkali-kali aku meminta Bang Faris menanyakan keberadaan mereka. Bukannya segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi mereka, Bang Faris malah menertawakan sikapku.

"Sudah, santai saja. Sebentar lagi mereka juga akan datang. Gak sabar banget sih nikah."

Ah, Bang Faris di saat seperti ini masih sempat-sempatnya saja bercanda. Ini bukan waktu yang tepat. Nanti saat kau menikah, aku jamin akan lebih kalut daripada aku.

"Nah, itu mereka," ucap salah seorang keluarga sembari menunjuk ke arah pintu masjid.

Secepat kilat aku menoleh. Syukurlah, itu benar-benar mereka.

Laki-laki yang sangat kucinta, kini berdiri dengan sangat gagah di sana. Mataku seakan tak mau lepas memandangnya. Badannya yang gagah terlihat sangat menawan dengan menggunakan pakaian berwarna senada dengan gaun kebaya yang aku kenakan. Wajahnya yang manis, hari ini terlihat jauh lebih memesona.

Hawa, kalian itu masih belum sah. Mata dan hati ini benar-benar nakal. Maafkan aku, ya Allah.

Aku benar-benar malu karena tidak bisa menjaga mata ini. Tak dapat dipungkiri, bahwa nafsu sangat kuat mencengkeram batinku.

Aku masih duduk di sebelah Tante Sarah, sementara Ihsan kini duduk di sana. Jarak yang hanya sekitar dua meter dariku. Sebuah meja kecil menjadi pemisah antara dia dan Kakek.

Perlahan tapi pasti, tangan dari lelaki berusia senja yang sangat menyayangiku itu bersatu dalam jabat tangan dengan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Lelaki yang sebentar lagi urusan kehidupannya menjadi prioritasku. Lelaki yang sudah bertahun-tahun namanya tak pernah bisa kukikis dari memori.

Debaran jantung semakin menjadi, terlebih kuat rasanya saat Ihsan mulai mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan napas.

"Sah!" ucap seluruh undangan dengan penuh semangat.

Akhirnya aku mampu bernapas lega. Kini sah sudah aku menjadi istri dari seorang Khalidul Ihsan. Mulai saat ini kewajiban seluruh keluarga untuk menjagaku, telah berpindah pada tangan suamiku.

Rasa haru tak dapat kubendung. Setetes air mata berhasil jatuh tanpa permisi. Aku sedari tadi menahan diri, tapi ternyata kenangan tentang orang tua pada hari ini kembali menyeruak.

Seandainya mereka masih ada, mungkin mereka adalah orang yang paling bahagia atas pernikahan ini.

Ayah ... Ibu ... kalian sekarang bisa sedikit lega karena putrimu ini sudah mendapatkan imam yang insya Allah akan mampu menuntun tangan ini menuju jannah-Nya.

🌿🌿🌿

"Kamu mau ke mana, San?" tanyaku usai keluar dari kamar mandi. Kulihat Ihsan sudah membawa sebuah bantal dan selimut menuju pintu.

"Aku akan tidur di luar. Ingat, bagiku pernikahan ini tidaklah nyata."

Aku mengernyitkan dahi. Terdiam sebentar dan memandangi sekeliling ruangan berukuran 5x4 meter ini. Kamarku ini sudah dihias secantik mungkin. Saat malam pertama seperti saat ini seharusnya menjadi malam yang indah dan tak terlupakan bagi sepasang pengantin muda, tapi tidak denganku. Aku malah merelakan diri mendapat kalimat yang begitu menyayat hati.

Aku langsung menarik tangan Ihsan seraya berusaha menahan langkahnya. "San, ini rumah keluargaku. Apa kata mereka jika melihat kamu tidur di luar? Aku mohon, tidurlah di sini! Biar aku berbaring di sofa sana."

Aku sudah kehabisan akal. Hanya ini yang bisa aku lakukan. Terserah kalau orang diluar sana menganggapku terlalu merendahkan diri dengan melakukan ini semua. Aku benar-benar tidak punya pilihan.

Syukur saja Ihsan menyetujui tawaran yang kuberikan. Sesuai dengan kalimat itu, maka badan ini harus merasakan kerasnya sofa berwarna merah yang terletak tepat di seberang ranjang.

Tidur di atas sofa bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Rasanya tidak seempuk berbaring di atas kasur. Aku saja sampai begitu gelisah dan terbangun beberapa kali. Pengalaman yang begitu menyiksa.

🌿🌿🌿

Tiga hari pasca pernikahan, Ihsan membawaku tinggal di rumahnya sendiri yang ada di Bandung. Alasan mengikuti suami, membuatku harus resign dari perusahaan. Jauh dari keluarga, sahabat, dan kehidupan yang selama ini aku jalani. Keputusan yang berat, tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin aku LDR dengan suami sendiri. Terlebih Tante Sarah selalu mengingatkan, bahwa surga seorang istri terletak pada baktinya terhadap suami. Itu berarti, kemana pun Ihsan berada maka aku akan ada di sampingnya.

Kini kami telah sampai pada sebuah rumah tingkat dua yang memiliki gaya minimalis. Setelah pintu terbuka, ternyata rumah ini memiliki interior bergaya scandinavian. Warna putih dominan pada bangunan ini dengan beberapa warna lain sebagai penyelaras. Terlihat jelas interior di sini sangat maskulin. Sesuai saja, kan selama ini hanya Ihsan yang meninggali rumah ini.

Ihsan beranjak ke sebuah kamar yang letaknya tak jauh dari ruang tengah. Aku hanya mengikutinya dari belakang sambil membawa koper. Ketika di depan pintu kamar, dia malah menatapku tajam.

"Ini kamarku, kamarmu di atas," ujarnya dengan wajah santai sembari mengeluarkan beberapa baju dari koper.

"Apa?!"

"Apakah kamu tidak mendengar?"

"San, aku ini istrimu."

"Kamarmu di atas."

"San ...." panggilku lirih.

Ihsan meninggalkan kegiatannya, lalu berdiri tegap sambil menatapku dengan lekat. "Wa, berapa kali aku harus mengatakan kalau kamarmu itu di atas? Apakah aku harus mengantarmu ke sana?"

"Tidak perlu!" jawabku setengah berteriak.

Kututup pintu kamar Ihsan dengan keras agar dia tahu bahwa aku begitu marah dengan perlakuannya. Sikap manis yang dia tunjukkan selama tiga hari kemarin nyatanya sandiwara belaka. Setelah sampai di rumah ini, keluar juga sifat aslinya.

Benar-benar menyebalkan.

Continue Reading

You'll Also Like

249K 259 11
kisah cerpen dewasa yang menantang, hot, penuh dengan esek-esek dijamin basah
202K 21.9K 69
Spiritual | Romance Sekuel on novel Goresan Hati Cinta yang sesungguhnya adalah ketika hati menaruh harap sepenuhnya pada Sang Pencipta. Tanpa rasa b...
1M 41.5K 36
⚠️ DON'T COPY MY STORY ⚠️JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, KEJADIAN, LATAR, SUASANA SAYA MOHON MAAF SEBESAR-BESARNYA KARENA ITU DILUAR DUGAAN SAYA! ⚠️ JA...
200K 12.2K 111
-Based On True story- Ayo berpetualangan bersama Lettu Langit. Dan Ayo belajar sabar, tabah, ikhlas dan kuat bersama calon ibu persit cantik. Sekar R...