Big Liar

By PetogPingitan

612 71 22

Berhadapan dengan saudara sepupu itu bisa menjadi Tuan sekaligus budak bagi Sandrina. Dirinya terlalu baik ha... More

Bagian Bagan
2 ~ Whatsapp
3 ~ Suka
4 ~ Melting
5 ~ Cowok ini Siapa?
6 ~ Jangan Ditahan
7 ~ Gosip
8 ~ Cinderella
9 ~ Hutang
10 ~ Pelukan Arel
11 ~ Terungkap
12 ~ Putus
13 ~ Ditangkap Polisi
14 ~ Ending

1 ~ Pacaran?

116 8 3
By PetogPingitan

“Berangkat dulu, Ma, Pa,” pamit Sandrina, sambil berjalan ke arah Rian lalu ke Shita untuk mencium punggung tangannya.

“Bilang sama Mang Udin, suruh hati-hati bawa mobilnya!” Menatap putrinya dengan penuh sayang, Rian menghentikan suapannya.

“Iya, Pa.”

“Hati-hati di jalan, Sayang. Jangan lupa nanti pulang sekolah, ya?”

“Aku ada teater, Ma.” Sandrina masih berdiri di samping Shita, menghadap ke Mamanya.

“Yaudah, nanti setelah teater aja.”

Sandrina mengangguk lalu melenggang keluar setelah berpamitan. Mang Udin sudah siap di samping mobil. “Mang, kata papa suruh hati-hati!”

“Siap, Non.”

Mang Udin adalah sopir pribadi yang sudah bekerja selama puluhan tahun dengan keluarga Rian Atmodjo. Yang setia pada tuannya, juga orang yang bisa memegang kepercayaan dari bosnya, yaitu Rian Atmodjo.

Matahari belum menampakkan diri, membuat udara semakin sejuk hingga pernapasan jadi ringan dan segar. Aroma tanah yang menguar terkena air hujan membuat pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah terlihat lebih hijau dan segar.

“San,” panggil Deandra sedikit berteriak. Dari gerbang, ia berlari menuju mobil sepupunya.

Sandrina yang sudah mendudukkan bokongnya di kursi belakang, dan akan menutup pintu mobil, keluar lagi menatap Deandra. “Kenapa?”

Dengan senyum seperti iklan pasta gigi, Deandra menjawab, “Bareng, ya? Bokap berangkat siang.” Deandra langsung menuju pintu sebelah dengan riang diikuti Sandrina memasuki mobil.

“Biasanya Bang Jean yang nganter?” Sandrina menutup pintunya dengan pelan.

“Dia sibuk, nggak mau nganter.”

Mobil melaju dengan perlahan menyusuri kota Metropolitan. Kota dengan sejuta ragam penduduk urban membuat jalanan merayap. Sandrina melihat pemandangan luar sambil memainkan jarinya.

Awan gelap seperti cewek yang ditinggal cowoknya demi cewek lain menutupi mentari, juga disertai gerimis kecil membuat mata enggan menampakkan retinanya. Sandrina bersandar pada jok belakang sambil menutup mata, kaca jendela dibuka untuk menghirup oksigen yang masih sejuk, belum tercampur oleh karbon dioksida.

Cuaca seperti ini yang membuat cewek pendek nan imut itu bermalas-malasan berangkat sekolah. Jika bukan Mamanya yang membangunkan untuk mandi, sudah dipastikan jika Sandrina lanjut tidur dan tidak mau berangkat sekolah.

Memasuki jalan raya, suara bising dari pengendara lain menghiasi telinga Sandrina, karena kemacetan hingga motor lain menumpang  di badan jalan. Beginilah orang +628 yang tidak mematuhi peraturan. Lampu merah menyala lama, saling berdesakan di depan seolah sedang berlomba siapa tercepat di antara semua pengendara. Sandrina menutup kaca jendela, lalu memejamkan mata lagi karena suara kendaraan lain mengganggu telinganya.

Deandra memainkan ponselnya, sambil tersenyum ceria. Ia berpikir, sangat bersyukur memiliki sepupu seperti Sandrina. Yang bisa dimintai tolong apa pun, selama dia bisa melakukannya. Masih memegang ponselnya sambil senyum-senyum, ia menatap Sandrina yang memejamkan mata, lalu beralih ke ponselnya lagi.

“San, lo liat, deh. Arel gans bingit, ya?” Deandra memperlihatkan foto cowok yang ada di ponselnya pada Sandrina. “Apalagi pas kalian beradu akting. Ya ampun, cool banget dia. Makin sayang jadinya.” Tak ada gerakan mata Sandrina akan terbuka, Deandra menarik tangannya lagi, masih memandangi foto sang pujaan hati.

Sandrina hanya berdeham, tidak membuka mata dan tanpa berkomentar apapun. Lawan mainnya dalam ekstrakurikuler itu memang tampan, tapi menurut Sandrina, hanya papanya yang paling tampan.

Masih membahas cowok yang diincar, Deandra melihat-lihat laman sosial media Arel. “Eh, lo tau nggak? Dia bakal ada projek baru bulan depan, lho. Lo ikut juga? Pementasan drama singkat buat perayaan ultah sekolah, katanya. Tapi, lo pernah jadi pemeran utama, udah pasti ikut, dong. ” Bertanya sendiri juga dijawab sendiri.

“Iya, tapi belum tau siapa pemain-pemainnya. Bakal ada beberapa drama nanti.” Matanya masih terpejam. Deandra masih melihat ponselnya sambil mengangguk.

Empat puluh menit perjalanan membuat Sandrina dan Deandra memasuki gerbang sekolah tepat sebelum bel berbunyi. Telat barang satu menit akan dikenai hukuman oleh guru yang piket, yang berjaga di pintu pos sekuriti. Dihukum berdiri menghadap bendera, tangan kanan diangkat ke atas, pas pelipis. Sedangkan tangan kiri lurus di sebelah kiri.

Memikirkan hal itu membuat Sandrina menggelengkan kepala, ia berlari menuju kelasnya, karena jam pelajaran pertama adalah guru killer yang membuat semua siswa berdiam diri, antara takut dan bingung karena penjelasannya susah dimengerti.

“Kenapa lari, San? Santai aja, elah!” teriak Deandra yang berjalan santai di belakang Sandrina.

“Ada Pak Joni pelajaran pertama,” balasnya.

Di depan gerbang, suara Bu Puji menggema hingga mengalihkan perhatian Deandra. Sambil menjewer dua siswanya yang telat datang sekolah, digiring menuju lapangan upacara untuk melakukan hukumannya.

Dua cowok dengan penampilan rapi dan tas gendong berada di sisi lengan. Deandra dibuat tak berkedip melihat ketampanan dua siswa yang baru saja digiring Bu Puji ke depan tiang bendera.

Cowok itu adalah Arel dan Noval. Cowok yang digadang-gadang banyak fans karena Arel pandai berakting, sedangkan Noval pandai bermain Gitar. 

Arel dan Noval melakukan squad jump sebelum memulai hukumannya. Melihat pujaan hati terkena hukuman, membuat Deandra tidak tega meninggalkannya sendirian, malah melihatnya dari bawah pohon yang ada di pinggir lapangan.

“Mau ikut dihukum juga, Deandra?” Suara tegas milik Bu Puji mengalun di telinga Deandra.

Deandra yang sedang menatap dua cowok tampan itu menoleh, lalu tergagap ketika aksinya diketahui oleh guru piket. Ia pun mengangguk, kemudian berlalu dari hadapan Bu Puji.

Seperti biasa, Sandrina menuju ruang ekstrakurikuler Teater saat pulang sekolah tiba. Kepala Sandrina menyembul, dengan pintu sedikit dibuka, untuk memastikan jika teman-temannya sudah berkumpul. Ternyata baru beberapa orang. Tidak ada yang menyadari jika pintunya terbuka sedikit.

“Aaaa ....” Tiba-tiba tubuh Sandrina didorong melangkah ke depan, tangan orang yang mendorongnya berada di belakang kepala, satu tangannya memegang pundak membuat Sandrina sedikit risi.

Sandrina berpikir jika ini adalah perbuatan Indri, teman dekatnya yang juga mengikuti teater, tapi cewek itu berdiri di pojok tempat tas berada. Lalu, Sandrina menebak jika yang mendorongnya adalah Rendi. Di sebelah kanan, Rendi sedang melakukan gerakan dasar sebelum latihan dengan Andi dan Riska. Lalu, siapa yang mendorongnya?
Sandrina langsung menoleh ke belakang, melihat siapa orang yang telah mendorongnya.

Orang itu adalah Arel. Cowok dengan segudang ide jail, juga sangat pandai memerankan apa saja dalam pementasan membuat banyak guru menyukainya. Bukan hanya guru, tapi juga banyak siswa-siswi yang mengagumi aktingnya.

Seisi ruangan menatap Sandrina dan Arel. Banyak tatapan iri, tidak sedikit juga yang menyuruh mereka untuk jadian. Pasalnya, Arel selalu membuat Sandrina naik darah seperti saat ini. Dengan segudang tingkah jailnya.

“Gitu aja, teriak-teriak.” Arel menghadap di depan Sandrina.

“Kaget, tau. Lo pegang-pegang kepala gue. Risi.” Tangannya mengelus belakang kepala, sambil menggerutu.

“Ya elah. Pegang kepala doang, risi. Gimana kalo pegang tangan?” Arel langsung menggamit tangan kiri Sandrina, dibawa ke tempat teman-temannya sedang berkumpul.

“Lepasin, nggak!” bisik Sandrina sambil melepaskan tangannya, tapi pegangan tangan Arel sangat kuat. Arel hanya diam, terus melangkah hingga di hadapan teman-temannya.

“Gue juga mau digandeng Arel begitu,” celoteh Rina, melihat Arel masih memegang tangan Sandrina.

“Noh, Andra mau taruh di mana?” sahut Bela, yang duduk di sebelahnya. Rina hanya cemberut menanggapi temannya.

“Jangan suka main api, ntar kebakar!” Tatapannya menusuk, membuat Sandrina melihat ke bawah, sepatunya. Sila kembali membaca dialognya di naskah yang dipegang.

“Weiiss ... Dia Jomlo, gue jomlo. Ada masalah?” sergah Arel. Sila tidak menjawab. Sandrina juga terlihat abai pada ucapan Sila, selama Sandrina tidak melanggar batas pertemanan di antara mereka, tidak akan menjadi masalah untuknya.

“Nih, ada surat lagi.” Tangan kanan Sandrina mengambil surat di saku seragamnya. Hal itu membuat Arel melepaskan genggamannya.

Dimasukkan ke dalam tas, ia duduk di bawah seperti yang lain. Saling berhadapan, mengeliling. Tidak menjawab ataupun membahas perihal surat itu. Sandrina ikut duduk di samping Arel.

“Jangan lupa dibales kata dia!” Sandrina berbisik lagi, lalu berdiri menaruh tasnya di pojok ruangan.

Arel mengikuti Sandrina ke pojok ruangan. Saat Sandrina berbalik, ia kaget ada Arel di belakangnya yang berjarak dua langkah dari Sandrina.

“Ke ... napa?” Sandrina tergagap dengan kemunculan Arel di belakang. Tangannya saling bertautan untuk mengurangi rasa grogi.

“Ciye... grogi. Bilang sama dia, nggak usah ngirim surat lagi! Sekarang udah zamannya pake hape. Nggak bisa kirim WA ke gue?” Tangan kirinya berada di saku, tangan kanan yang bebas memegang pundak Sandrina.

Tanpa sadar, melihat pergerakan Arel yang seperti itu membuat Sandrina melangkah ke belakang untuk memberi jarak di antara mereka. Tangannya melepas tangan Arel, Sandrina mundur beberapa langkah ke belakang agar nyaman saat bertatap muka dengannya.

“Mungkin nggak punya nomer lo kali. Udah, ya, gue mau ke sana dulu.” Saat Sandrina beranjak, Arel berbalik untuk menarik tangan Sandrina hingga berbalik.

“Gue belum selesai ngomong!”

“Apa lagi?”

Belum melepaskan pegangan tangannya, yang berada di tengah ruangan menyoroti aktivitas mereka berdua. Hingga suara sorakan, dan juga siulan itu nyaring terdengar membuat Sandrina salah tingkah.

Setelah meredam, Arel melepaskan tangannya. “Ntar malem gue ke rumah lo. Ada yang mau gue bicarain sama lo juga dia.”

“Jam berapa? Emang lo tau rumah gue? Malem ini gue diajak orang tua gue keluar.”

Sambil mengajak Sandrina kembali ke tengah, Arel menjawab pertanyaan Sandrina. “Gue, gitu, lho. Apa, sih, yang nggak gue tau tentang lo? Lo jomlo aja juga gue tau." Sandrina memutar bola matanya, malas. "Jam delapan mungkin," sambungnya lagi.

Tepat saat Arel mengucapkan kata mungkin, baru berjalan satu langkah suara Bu Hani menginterupsi semuanya agar berdiri untuk melakukan olah tubuh, olah suara, dan juga olah rasa.

“Kalian berdua pacaran? Mojok aja di pojokan.” Suara Bu Hani menggema karena adanya peredam yang diletakkan di ruangan ini.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Hayooo ... tebak...
Dia itu siapa?

Continue Reading

You'll Also Like

5.1M 100K 46
WARNING!!! Semua cerita author gak bisa tamat gratis disini ya, hehehee. Harus beli dulu kalau mau tahu bagaimana tamatnya. Terima kasih 😁 Jadi sek...
134K 17K 27
bxb !!!! Jay seorang anak nakal dari keluarga konglomerat yang dihukum pindah sekolah yang jauh dari rumah agar sikap nya bisa membaik. bertemu jungw...
270K 32.9K 52
Yang satu bucin, yang satu tsundere. Emang saling melengkapi. Sunghoon | Dom Sunoo | Sub D A I L Y L I F E WARN BXB Rated 15+
149K 6.3K 66
Follow Dulu Sebelum Membaca ❤ Kisah Sang Tuan Muda yang ingin menebus kesalahan yang dia lakukan pada pembantunya yang ia renggut kesuciannya Star :0...