Di Batas Senja (Tamat)

By Nurulnh07

3.5K 488 90

(Completed) Seulanga Maulidia membenci tentara sebagaimana rasa bencinya pada perang saudara yang sedang mend... More

Intro
Prolog
Bab 1. Keberangkatan
Bab 2. Kebencian yang Nyata
Bab 3. Sampai Basecamp
Bab 5. Gadis Unik
Bab 6. Pandangan Mulai Berubah
Bab 7. Mengambil Hati
Bab 8. Bimbang
Bab 9. Pandangan Orang Tuanya
Bab 10. Mereka Bertemu
Bab 11. Cemburu
Bab 12. Keputusan Ayah
Bab 13. Terhalang Restu
Bab 14. Semakin Pelik
Bab 15. Diserang Orang Tak Dikenal
Bab 16. Khawatir
Bab 17. Surat Kerinduan
Bab 18. Mencuri Waktu
Bab 19. Melepas Rindu
Bab 20. Tertangkapnya Razak
Bab 21. Mulai Ragu
Bab 22. Lamaran
Bab 23. Penolakan
Bab 24. Menyerah
Bab 25. Dilema
Bab 26. Tangis Pilu
Bab 27. Petuah Ibu
Bab 28. Memperhatikan dalam Diam
Bab 29. Firasat Buruk
Bab 30. Waspada
Bab 31. Kontak Senjata
Bab 32. Kabar Buruk
Bab 33. Akhir Cerita Kita
Bab 34. Perubahan Hidup
Bab 35. Menjemputnya
Bab 36. Hasil Penantian Panjang (Tamat)
Epilog

Bab 4. Menantangnya

106 15 4
By Nurulnh07

Seulanga

Seandainya daerah ini tidak terjadi perang, keadaan tidaklah menjadi seburuk ini. Aku bisa kuliah, Ayah tidak perlu bekerja terlalu berat, dan Mak bisa melihat anaknya tumbuh besar dengan cara yang wajar.

Perang ini, membuat keadaan menjadi kacau. Kami hidup melarat dari tahun ke tahun. Setiap hari ada saja berita orang hilang dan ditemukan tanpa nyawa beberapa hari kemudian.

Setamat SMA aku harus membantu mencari uang dengan menjahit baju-baju tetangga. Namun, hasilnya tentu tak seberapa. Orderan yang kuterima hanya sebatas menambal pakaian-pakaian lama yang sobek. Jarang ada yang menjahit baju baru.

Ya lah. Tidak ada orang yang rajin bepergian dengan baju baru di tengah kondisi mencekam begini.

Saban hari keuangan kami menipis. Kami harus pandai berhemat jika ingin makan nasi setiap hari. Hasil kebun ayah juga tidak seberapa. Belum lagi harga anjlok di pasaran.

Pernah dalam satu bulan kami hanya makan nasi putih, gule rampoe¹, dan garam saja. Tidak ada ikan, tidak ada lauk istimewa. Itupun sudah harus kami syukuri, karena banyak yang kehidupannya lebih menderita dari kami.

Aku berharap perang ini segera usai. Ada banyak impian yang ingin ku raih jika keadaan sudah aman. Aku tidak ingin seumur hidup terjebak dalam perang tidak berkesudahan ini.

Namun sepertinya Allah belum mangabulkan doaku. Kemarin aku melihat satu kompi tentara kembali menempati gudang pinang di ujung jalan. Biasanya jika mereka sudah dikirimkan kemari, keadaan sedang memanas.

Pakwa juga sempat mengingatkan agar aku lebih berhati-hati ke depannya. Mereka sedang menyusun strategi untuk mengusir para prajurit negara itu dari sini.

Ah, rasanya lelah sekali.

"Tentara yang dikirim kali ini lumayan lebih ramai dari sebelumnya, ya?" ujar Minah, salah satu teman ngajiku, ketika kami sedang berkumpul di balai pengajian seusai membersihkan tempat tersebut. Hari ini Aku, Cut Fatma, dan Minah bertugas membersihkan balai.

"Iya, makanya ingat apa yang Teungku bilang kemarin sore. Kita harus lebih berhati-hati," sahut Cut Fatma sambil menyapu lantai. Aku yang sedari tadi merapikan kitab hanya diam tidak ingin menanggapi.

"Iya. Hati-hati!" tekan Minah lagi.

"Kemarin Anga sudah ketemu tuh sama para lelaki berseragam loreng itu." Cut yang baru saja menyelesaikan sapuannya menyahut lagi. Padahal aku sedang malas membahas mereka.

"Oh ya? Mereka ganteng, gak?" Minah bertanya antusias. Dia bahkan mengedip-ngedipkan matanya genit ke arahku. Lihat, siapa tadi yang bilang harus hati-hati? Aku menghela napas kesal.

"Buat apa ganteng kalau jahat? Ke laut aja sana," jawabku ngasal.

"Berarti beneran ganteng, dong? Awas jangan jatuh cinta." Entah bagaimana ceritanya dua wanita itu sudah berada di sampingku dan menatap dengan pandangan genit. Aku tahu, mereka suka sekali mengusili aku yang menurut mereka terlalu kaku. Tapi tetap saja terkadang aku terpancing.

"Amit-amit."

Lalu kami tertawa kencang karena Minah dan Cut bergantian menggelitik perutku yang lumayan sensitif. Kami baru pulang menjelang azan zuhur karena ada pekerjaan lain menanti di rumah.

Sesampai di rumah, aku bersiap salat zuhur. Ayah sudah ke Meunasah² sejak azan tadi untuk shalat berjama'ah bersama Munir, adikku yang lelaki. Sedangkan Mak, Runi dan Keumala lagi di depan televisi menonton Si Doel Anak Sekolahan. Sinetron yang diperankan oleh Rano Karno itu menjadi favorit orang daerah sini dan selalu tayang siang hari.

Biasanya kalau malam rumah kami selalu ramai sama tetangga dekat yang menonton. Walaupun saat ini televisi sudah lazim ada, namun faktor ekonomi membuat tidak setiap rumah punya televisi. Alat elektronik ini jadi bukti bahwa dua tahun silam ekonomi keluarga sempat membaik. Namun, seiring keadaan menjadi lebih kacau, penghasilan pun jadi tidak menentu.

Anak-anak di sini rata-rata putus sekolah setamat SD. Semenjak gedung SMP yang berada tidak jauh dari Gampong dibakar orang yang tidak bertanggung jawab, orang tua jadi was-was menyekolahkan anak-anaknya. Hanya satu dua saja anak yang bisa tamat sampai SMA seperti ku.

Hal itulah yang jadi alasan ayah memilih tidak ikut bergerilya bersama pakwa dan yang lainnya. Setidaknya anak-anak disini harus belajar agama agar mereka tidak menjadi buta agama juga. Setidaknya Ia harus punya catatan yang bersih agar bisa bebas menetap di Gampong.

Ayah adalah orang yang tegas dan disiplin. Di masa mudanya Ia sempat mengenyam pendidikan di dayah³ hingga kelas 7 (kelas tertinggi dayah). Orang-orang yang mengenal beliau memanggilnya Teungku Man atau Sulaiman. Panggilan Teungku ini biasanya memang hanya untuk orang-orang yang disegani dan paham agama di Aceh. Ayah cukup disegani di Gampong ini karena paham agamanya yang mumpuni. Di usianya menjelang 50 tahun, Ayah masih cukup kuat bekerja di kebun dan mengajari anak-anak sini ngaji setiap sore dan malam hari.

Kami tetap dipaksa sekolah meskipun keadaan sedang tidak aman. Bagi Ayah, sekolah akan berguna bagi kami di masa depan. Makanya aku bisa menamatkan SMA kala itu dan ketiga adikku tetap bersekolah sampai kini.

Seusai salat aku tidak lagi bergabung bersama Mak di depan televisi. Aku harus menyelesaikan jahitan sesegera mungkin karena nanti sore ada hal penting yang harus ku kerjakan.

"Makan dulu, Neuk. Baru abis itu kamu jahit lagi," pinta Mak ketika aku sudah duduk di depan mesin jahit di teras rumah.

"Nanggung, Mak. Jam 3 aku harus segera pergi biar tidak kemalaman sampai ke rumah lagi nanti. Aku makan pas berangkat aja nanti," jawabku sambil memasang benang di ujung jarum. Aku sudah menjahit sejak SMP, diajarkan sama adiknya Mak yang sempat kustum jahit di masa mudanya. Mak tidak protes lagi karena tahu anaknya ini sedikit keras kepala.

Aku menyelesaikan jahitan tepat pukul 2 siang. Saat itulah aku melihat tentara yang kemarin sore tersenyum padaku di Barak sedang memperhatikanku. Meskipun tidak memakai seragam aku tahu dia tentara. Sedikit banyak aku hafal wajah mereka walau hanya sekali lihat. Begitu mata kami bertemu dia segera berlalu begitu saja.

Aku mengepalkan tinju ke arahnya karena geram.

"Dasar manusia gila," sungutku kesal sendiri. Aku beranjak dari mesin jahit dan segera masuk ke kamar untuk bersiap-siap.

***

Tugas mengantar makanan ke hutan sudah kujalani semenjak aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Saat itu, kami baru tahu bahwa pakwa punya markas tidak jauh dari desa ini. Istrinya yang biasa mengantar makanan sedang sakit jadi aku menawarkan diri membantu. Aku tidak mau jika sampai ayah atau adik lelakiku yang pergi. Sangat berbahaya jika sampai lelaki yang melaksanakan tugas itu. Kalau ketahuan, mereka tidak akan bisa pulang dengan selamat. Itu pengalaman yang sering kudapat selama ini.

Sebagai kaum perempuan, kami jarang dicurigai. Apalagi perempuan sering dianggap sosok lemah yang tidak mungkin melakukan pekerjaan dengan resiko sebesar itu.

Aku sampai kembali ke perbatasan Gampong saat matahari sudah mulai tenggelam. Hari ini aku sedikit terlambat karena kondisi hujan yang membuat perjalananku sedikit tersendat.

"Dari mana kamu?" tanya seseorang membuat jantungku nyaris copot. Apalagi setelah berbalik aku menemukan sosok tentara bersenjata lengkap sedang menatapku curiga.

"Astaghfirullah," ucapku spontan karena kaget dengan kehadirannya yang tidak pernah ku sangka. Setelah rasa kaget hilang, aku langsung menampilkan wajah tidak takut. Walau sejujurnya jantungku memompa lebih cepat dari biasanya.

Tentara yang berdiri di depan ku ini merupakan orang yang sama yang beberapa hari yang lalu menatapku diam-diam saat menjahit.

'Apa jangan-jangan, Ia memata-mataiku selama ini, ya?' pikirku. Dalam hati aku tidak henti merapalkan doa dan memasang wajah marah.

"Tidak punya pekerjaan kamu, ya? Bikin orang kaget saja," sahutku marah.

"Ini aku sedang bekerja. Pertanyaan ku tidak kamu jawab," balasnya santai. Lelaki berperawakan tegap dan tinggi itu sudah menurunkan senjatanya yang tadi sempat diarahkannya padaku. Mungkin dia kaget melihatku di sini.

"Bukan urusanmu."

"Apa kamu baru saja menyelinap dari suatu tempat?" tanya tentara itu lagi. Dari name tag nya aku membaca nama Teguh Kuncoro di sana. Dia memicing dengan mata mengintimidasi ke arahku.

Aku panik, tentu saja. Namun, pengalaman mengajarkanku banyak hal selama ini. Termasuk berhati-hati.

"Kamu tidak lihat, aku sedang mencari kayu bakar," dalihku cepat sambil menunjukkan kayu bakar yang kuletakkan di atas kepalaku.

Untung saja.

Lelaki bernama Teguh itu masih menatapku curiga. Namun, kemudian ia tersenyum ke arahku membuat ketegangan mengendur perlahan ke arahku.

"Perlu ku bantu?" tawar nya kemudian ketika aku hendak melanjutkan perjalanan. Membuat aku yang mendengarnya hanya bisa mendelikkan mata.

"Tidak usah sok baik. Tidak sudi aku meminta bantuan orang-orang sepertimu."

"Sepertiku?" Teguh bertanya heran. Aku memilih tidak menjawab.

"Oh, sebenci itu kamu pada tentara? Dimana letak kesalahan kami?" Lagi Ia bertanya ketika aku tidak kunjung memberi jawaban. Lantas membuatku menurunkan kumpulan kayu bakar dari atas kepala.

"Kesalahan? Serius anda bertanya seperti itu?" Aku bertanya dengan nada yang sudah meninggi.

Apa-apaan dia bertanya demikian?

"Ya?"

"Kehadiran kalian disini sudah salah. Apa kalian buta tidak melihat keadaan di sekitar?" Aku menjawab dengan emosi memenuhi seluruh relung dada. Napasku sampai naik turun karena rasa marah yang begitu besar.

Aku bahkan sudah pasrah jika pulang tanpa nyawa setelah ini karena sudah berani menentang tentara.

"Tidak bisakah kita bekerja sama saja agar perang ini cepat usai? Kita sama-sama lelah." ungkapnya masih tenang memancing emosiku kian memuncak.

"Kerja sama? Kamu gila. Setelah puluhan nyawa rakyat biasa seperti kami lenyap tanpa alasan, ekonomi hancur dan anak-anak putus sekolah. Kamu mengajak bekerjasama? Sedangkan para gerilyawan entah dimana, mereka mati-matian berjuang mencari peradilan. Apa kamu pikir ini lucu?"

Aku menggelengkan kepalaku tidak habis pikir dengan pola pikirnya.

"Kenapa kamu tidak coba melihat dari sisi lain? Kami juga di sini sedang berjuang agar Negara kita tidak terpecah belah. Kami juga lelah harus hidup di bawah ancaman sedangkan keluarga kami nun jauh di sana tidak bisa tidur nyenyak karena khawatir. Orang-orang yang kamu sebut gerilyawan itu juga menyebabkan perang ini kian panjang. Coba jika mereka menyerah dan hidup dengan benar, apa kamu pikir perang ini masih berlanjut?" tukasnya tidak terbantahkan.

Aku malas berpikir dengan badan yang sudah sangat lelah. Kuabaikan saja jawabannya dan menarik kembali kayu ke atas kepalaku.

"Galak-galak, Kah⁴," jawabku seraya melanjutkan perjalanan. Sebentar lagi azan magrib akan dikumandangkan.

"Apa?" tanya nya yang ku tahu tidak paham apa yang ku bicarakan dalam bahasa Aceh. Biar saja.

"Galak-galak, Kah."

Kosakakata Bahasa Aceh
¹ Gule rampoe : Sayur rebus bening yang terdiri dari aneka sayuran hijau dan hanya ditaburi garam saja.
² Meunasah : Mushalla tapi juga digunakan sebagai pusat pemerintahan desa.
³ Dayah : Pesantren tradisional
⁴ Galak-galak, Kah : Suka-suka, Kau.

Bersambung....

Eh, ketemu lagi disini, ya!

Aku mau cerita nih, nulis part ini membuat aku teringat sosok almarhum ayah, dia juga sangat senang anaknya bisa sekolah tinggi meskipun beliau semasa hidupnya harus banting tulang untuk kami.

Sepi ya lapakku? Kalian gak ada niatan meramaikan gitu?

Yaudah deh.
Aku mah sudah biasa dilupakan. Hiks hiks 😢

Pokoknya jika terdapat kekeliruan dalam penulisan, komen disini ya! Jangan ngomongin di belakang.

Best Regards,

Nurul Hidayati MN
AnikAfni255

Continue Reading

You'll Also Like

196K 21K 141
Spin off from #Defabian and Seducing Mr. Julien. Joanna Tan, seorang wanita pebisnis berusia 55 tahun yang tidak pernah memiliki keinginan untuk men...
4.9K 486 16
Kesalahan yang membawa Aidan dan Nisrin bersatu. Rumah tangga yang mereka jalani dipenuhi praduga dan ketidakpuasan. Muhammad, bayi ajaib yang menya...
17.3K 712 33
ketika aku sudah memilih kamu sejak ijab kabul yang kamu ucapakan waktu itu, artinya aku sudah mengabdikan seluruh jiwaku padamu. - Delisha Syafira...
716K 22.1K 52
Jangan lupa vote banyak-banyak yah guys,semoga suka dengan cerita ini ☆☆☆ nadilla di paksa menikah oleh suami orang untuk merawat suaminya yang menga...