Warning typo(s)!
Kalau mengingat-ingat masa awal menikah, terutama hari pertama bertemu dan hari pernikahan, yang pertama kali muncul di pikiran Jungkook adalah Taehyung yang dingin, berbahasa kaku, juga agak segan dihadapi olehnya karena bagaimana mungkin ia memiliki cukup banyak nyali sementara yang jadi suaminya merupakan orang irit bicara dilengkapi ekspresi wajah datar. Sudah menumpuk bayangan suami berkarakter keras, cuek, dan suka marah-marah jika ada kesalahan sekecil apa pun menimpanya, Jungkook setidaknya pernah menyiapkan mental kalau-kalau memang semua itu terjadi, maklum sekali karena Bambam berkata 3 hari sebelum hari H, pasangan menikah hasil dari perjodohan biasanya tidak berjalan mulus, ketimbang banyak pendekatan yang ada malah saling membuat perjanjian untuk tidak berharap satu sama lain. Lalu, racun yang Bambam sebarkan menepi ke sebuah sugesti bahwa biasanya si suami sedang menjalin hubungan dengan orang lain, terang-terangan bercumbu di hadapan pasangan sahnya, dan yang paling parah pasti menyakiti pasangannya tanpa ada rasa kepuasan.
Itu yang umum terjadi apabila mengambil keyakinan hanya dari cerita bacaan bergenre mellow drama dan berlebihan karena seorang protagonis selalu bersikap lemah, lembek, tak ada perlawanan, tentunya terkesan berlebihan. Masa iya ada orang yang terlalu sabar menghadapi situasi sesulit itu? Marah pada suaminya wajar, bukan? Balas membentak gara-gara dibentak lebih dulu wajar, bukan? Diam saja setelah disalahkan padahal tidak membuat kesalahan, pastinya tak wajar, bukan? Tapi Jungkook mengerti sebatas "cerita bacaan" yang mana membuat Bambam menjadi over thinking jika mengambil topik pasangan menikah hasil perjodohan. Namun tetap, dirinya paling benci cerita berlebihan seperti itu, Jungkook lebih memilih mengawasi cerita di mana dua tokoh utamanya saling menyakiti sekalian karena lebih menantang diikuti jalan ceritanya, daripada yang satu berwatak keras dan satunya pendiam sesudah disakiti berkali-kali.
Ia bersyukur, Taehyung adalah pria baik pilihan orangtuanya meski belum ada benih mencintai pria itu. Saat ini, Jungkook menyimpan rasa sayang sebagaimana ia memiliki seorang kakak yang multi peran dalam hidupnya. Sebagai kakak, sebagai teman, sebagai rekan membuat kue, sebagai suami, dan sebagai ayah dari anaknya. Intinya, enggan menargetkan harus mencintai Taehyung secepat mungkin, dirinya begitu menghargai waktu yang tidak memaksa. Waktu adalah jawaban, waktu harus dinikmati sesulit apa pun, Jungkook ingin memiliki sebuah kenangan di masa depan dalam menjalani proses mencintai suaminya, sepertinya tak akan mudah. Tapi karena adanya perjuangan serta tantangan itu sendiri, setidaknya suatu saat nanti dirinya bisa lebih menghargai hubungan.
Layaknya Taehyung dulu dan sekarang, dari yang memanggil dirinya sendiri mengenakan sebutan "saya" lambat laun memberanikan diri menyebut dirinya "aku" di hadapan Jungkook meski masih kadang-kadang. Sama, semua itu juga melalui proses terlebih dahulu.
"Jungkookie, tunggu sebentar, ya!" Taehyung memperingati Jungkook agar menunggunya sebentar lagi. Suaminya lari terbirit menuju closet room.
Jungkook yang baru selesai mengemas pakaiannya dan Taehyung lantas melihat bagaimana terburunya pria itu mengambil jeans dari dalam lemari. Kemudian melepaskan jeans yang dipakainya. Hari ini mereka akan berangkat ke Busan, pakai motor yang katanya baru datang beberapa menit lalu. Jungkook sudah rapi, tapi belum sempat lihat motor macam apa yang akan mereka pakai. Taehyung juga sudah sangat rapi dengan celana jeans gelap dan jaket kulit yang dibeli sepasang dengan miliknya, entah mengapa tiba-tiba mengganti celananya di waktu mereka mau berangkat.
"Loh? Kenapa diganti?"
"Dapat hadiah dari Adik." jawabnya singkat.
"Hadiah?"
"Dia tahu Ayah dan Bunanya mau pergi, makanya mengompol di celana Ayahnya."
Jungkook tertawa kecil, gemas sekali karena bisa-bisanya Yeonjun paham kapan mereka berangkat, setahunya sedari tadi pagi anak itu anteng duduk di pangkuan ayahnya yang telah berpakaian rapi. Tanpa meribut.
"Di mana sekarang?"
"Bersama Ibu di bawah, sedang menangis."
Dirinya bukan tidak percaya pada Taehyung jika mau menawar supaya anak mereka ikut, suaminya jelas selalu menerima negosiasi darinya, namun Jungkook sendiri harus menghargai usaha mertuanya yang mendorong mereka berdua menghabiskan waktu di tempat lain selama dua minggu ke depan.
"Yeonjunie, Buna tidak akan lama, kok. Nanti kalau sudah pulang, kamu boleh peluk sepuasnya." Jungkook berbicara separuh tak tega saat sudah berhadapan dengan Yeonjun. Tak percaya dengan dirinya sendiri yang bisa tahan berjauhan dari bayinya.
Yeonjun masih menangis di pelukan ibu Kim, sepasang tangan gempalnya mencoba menggapai leher Jungkook. Bentuk larangan agar tidak menjauhinya. Tapi mau bagaimana lagi? Suaminya baru saja keluar lebih dulu sambil membawa dua tas mereka. Disusulnya keluar beberapa saat setelah ibu Kim menyuruh melihat motor di halaman rumah. Jungkook ingin menangis, kini Yeonjun menyerah dan rupanya memilih memeluk leher Neneknya sembari terus terisak.
Sesampainya di beranda rumah, perasaan sedih dan tak karuan di hati Jungkook segera menguap. Amat cepat. Di hadapannya, motor touring yang belum pernah ditumpangi kelihatan begitu menyilaukan. Sungguh, seumur hidup dirinya tak ada kepikiran mau berjalan-jalan pakai motor keluar kota selama berhari-hari, sampai di detik ini.
Motor hitam yang terkesan sangar namun juga gagah dalam sekali lihat. Ada bagasi kecil di belakangnya. Sebetulnya tidak berbeda jauh dari penampakan motor jadul, bedanya motor di depan sana lebih kelihatan modern. Dunia memang berevolusi. Ia ingat dulu sewaktu kecil pernah dibonceng ayah pakai motor jadul, mesinnya mati mendadak dan membuat ayah harus turun menuntun motornya sementara Jungkook duduk di jok.
Sekali lagi, tentunya dilihat dari sisi mana pun, yang ini 10 kali lipat sangat keren.
Dua tas kecil yang tadi dibawakan Taehyung sudah dimasukkan ke bagasi belakang. Ukurannya memang kecil, sekarang ia mengerti mengapa kemarin sore disuruh untuk pakai tas yang kecil-kecil saja. Untuk keperluan yang sekiranya akan dibutuhkan diperjalanan, Taehyung memakai tas tersoren di pinggang. Di sana hanya ada ponsel dan sebungkus rokok dilengkapi pemantiknya. Dompet pria itu berada di tas bahu yang Jungkook pakai. Lain dengan Taehyung, isi tas Jungkook lebih banyak, dari mulai dompet mereka berdua, lip gloss, sun screen, ponsel, kaca kecil dan bedak. Ketika Taehyung bertanya mengapa isi tasnya lebih banyak? Jungkook hanya menjawab: "Perbedaan kebutuhan."
"Ini motornya?" Jungkook antusias seraya menilik baik body motor yang akan ditumpanginya. Pasti berat sekali membawa motor sebesar ini, kalau Jungkook yang mengendarai sekalipun sendirian juga tak akan sanggup, keburu terguling sebelum melaju.
"Iya. Sekarang pakai dulu pelindungnya." Taehyung bergerak memakaikannya helm yang dulu dibeli pria itu untuknya. Cocok dengan motor mereka, begitu juga Taehyung yang menyimpan kesan berbeda di mata Jungkook saat ini. Bukan seperti pegawai kantor di mana hampir tiap hari pakai kemeja rapi dilengkapi jas dan dasi, melainkan mirip orang mantan perundung yang hobinya berjalan-jalan pakai motor.
Yeonjun yang melihat bagaimana kedua orangtuanya berdiri di depan motor besar, kembali menangis sembari mengulurkan tangannya agar Jungkook mendekat dan membawanya ikut. Namun bukan Taehyung namanya kalau tak bisa membujuk sang anak agar diam dan menerima kenyataan akan ditinggal selama dua minggu ke depan.
"Adik tinggal bersama Nenek dulu, ok? Ayah janji pulangnya bawa oleh-oleh." Taehyung menyisir rambut tebal Yeonjun perlahan hingga tangisannya mulai mereda, lalu ada selembar kertas yang dikeluarkannya dari saku. "Ini! Kalau rindu, kamu lihat saja foto Ayah dan Buna." Diserahkannya selembar foto pada Yeonjun. Ajaib karena tangisannya berhenti dan malah menatap dua orangtuanya di dalam foto yang dipegang.
Kesempatan itu diambil mereka berdua berpamitan pada ibu Kim, mumpung si kecil sedang anteng memandangi foto orangtuanya. Rela tak rela, Jungkook mengecup sekilas pipi gembil bayinya sebagai pamit mau jalan-jalan dulu hanya dengan Taehyung, kemudian sesegera mungkin menyusul suaminya menumpang motor tanpa menoleh. Kalau menoleh, bisa kacau.
Jungkook memeluk erat-erat di lingkar dada bidang Taehyung, menahan perasaan tak tega hanya karena Yeonjun ditinggal. Ah, sepertinya memang ia terbiasa selalu bersama bayinya di mana pun dan kapan pun, padahal mudah saja membayangkan bagaimana dulu sebelum Yeonjun lahir, tapi kini ia adalah seorang orangtua, perasaan dan hatinya terlalu lembut jika menyangkut sang anak. Ia sendiri sadar terlalu mengandalkan perasaan dalam hal apa saja setelah Yeonjun lahir, kadang logika dan hati saling bertentangan.
Motor yang dikendarainya melaju di jalanan ramai, melewati gedung-gedung tinggi pencakar langit. Dirinya tak pernah tahu bahwa mengamati kota Seoul ketika berkendara dengan motor berkali-kali lipat menyenangkan daripada pakai mobil. Sambil memanfaatkan bahu Taehyung untuk dijadikan tempat meletakkan dagunya, Jungkook bersenandung kecil. Sebanding yang membuat senyum suaminya merekah bak bunga baru mekar.
"Kamu suka?" tanya Taehyung.
Harusnya jangan ada pertanyaan semacam itu lagi, tentu saja Jungkook menyukai ide Taehyung beberapa bulan lalu, ternyata bisa se-menyenangkan ini. "Kalau dari dulu tahu naik motor itu menyenangkan, aku pasti mau naik motor terus sebelum melahirkan Yeonjun." jawabnya.
"Sekarang kita sedang berkendara, jauh sekali jaraknya. Dinikmati saja, ya?"
Jungkook langsung menurut dengan respon anggukan mengerti. Dia juga berencana demikian, tak ingin sedikitpun menyia-nyiakan kesempatan berkendara motor bersama suaminya. Akan ditelan bulat-bulat semua pemandangan yang dilewatinya, disimpan baik-baik dalam memori ingatannya, di kepala serta benaknya.
Betul atau masih sebatas perasaan, namun ada satu yang mampu membuat jantungnya berdetak kencang, ia mulai menebak jauh ke sebuah pemikiran di mana melibatkan bahwa akan ada hal besar terjadi nantinya selama mereka pergi berbulan madu. Maka dari itu, apa yang direkamnya mulai detik ini harus terus diingat seumur hidupnya, meski Jungkook enggan berupaya keras mencari tahu hal besar apa yang sudah sangat membuat dirinya penasaran.
•••
Setelah berkendara dua jam lamanya, motor menepi sejenak sambil mengisi bahan bakar. Pukul tiga sore, Taehyung bilang mereka akan mencari tempat makan di daerah Cheongju, kemudian mencari penginapan sederhana alih-alih hotel.
"Mas Kim, aku mau ke toilet sebentar." Bak anak kecil yang sulit menahan buang air kecil, paha Jungkook merapat dan bergerak-gerak gelisah.
"Aku tunggu di sini." Taehyung mengeluarkan beberapa lembar won untuk dibayarkan.
Tapi Jungkook enggan menunggu, maka ditariknya lengan jaket pria itu. "Antar!" katanya lebih tidak sabaran.
Mana bisa pria itu menolak kemauan Jungkook? Sejak berbulan-bulan belakangan, dirinya jadi melunak akan apapun harapan serta permintaan Jungkook, tak bisa lagi menolak secara tegas. Ada yang aneh, namun dengan itu pula Taehyung menemukan sebuah jawaban, bahwa perlahan-lahan hatinya makin takut menghadapi perasaan kecewa Jungkook karena dirinya. Maka dari itu, buru-buru motornya di bawa menjauh dari tempat isi ulang bahan bakar daripada bayang-bayang kemarahan Jungkook menghantuinya.
Taehyung menunggu sabar di depan pintu toilet yang digunakan Jungkook. Kadang-kadang ada beberapa pasang mata yang melirik ke arahnya sekedar mencuri pandang atau menatap heran mengapa seorang pria seganteng dirinya bersedia menunggui seseorang di dalam sana. Jelas tahu, cara Taehyung yang bertanya pada Jungkook cukup menjawab rasa penasaran orang-orang.
"Sudah?"
Jungkook mendengus mendengar pertanyaan barusan. "Mas Kim, tunggu saja! Aku bahkan baru mengunci pintunya."
"Kenapa dikunci? Kan, saya sudah berjaga."
'Saya' lagi...
Tak habis pikir bisa-bisanya pria itu berbicara seolah-olah sedang menghadapi hal serius. Hidup bersama selama hampir dua tahun sedikit banyak membuat ia paham betul ciri-ciri Taehyung kalau sedang serius, pasti menyebut diri sendiri mengenakan kata "saya" ketimbang "aku". Agak tidak wajar kalau perihal dirinya yang ditunggu saat buang air kecil dianggap sesuatu serius.
Sekeluarnya dari bilik toilet, Jungkook lantas melayangkan tatapan heran, sedikit ditabur pancaran rasa kesal melalui sorot matanya. "Mas Kim, aku cuma mau pipis. Kenapa ribut sekali?"
"Ah, tidak." Taehyung menyengir tanpa rasa bersalah, lalu menggandeng tangannya kembali.
Tangan besarnya begitu cocok membungkus tangan Jungkook, hangat dan nyaman. Ia jadi merasa terlindungi serta dikasihi, melalui sentuhan sesederhana ini. Tapi begitu melihat motor mereka terparkir tak jauh di depan sana, dirinya menangkap ekspresi Taehyung yang berubah cemberut secepat mungkin. Ekspresi cemberutnya mirip dengan Yeonjun sehingga membuat ia terkikik kecil menyadari hal tersebut.
"Kita harus segera menemukan tempat makan."
"Mas Kim sungguhan sangat lapar?"
"Tidak terlalu, tapi ingin menatap wajah kamu."
Belum sempat berkicau, dirinya sudah ditarik duduk di jok belakang. Taehyung jadi lebih manis mentang-mentang sedang tidak ada Yeonjun di antara mereka, biasa juga bakal perhatian pada bayinya daripada memilih sekedar menatap Jungkook. Selalu begitu. Ia, sih, tidak cemburu, melainkan kalau terlanjur main berdua saja membuat perasaannya agak kesal karena selalu dilupakan. Begitupun Yeonjun bisa asik bersama ayahnya, padahal yang seharian mengurusi anak itu adalah Jungkook. Tapi lihatlah sekarang ini, cara suaminya memerhatikan ke sesuatu paling kecil secara detail, mirip perlakuannya pada bayi mereka. Mencomot daging pipinya sekilas. Memasangkannya helm sesudah menepikan sejumput rambut yang kedapatan mencuat keluar. Tiga bulan tidak potong rambut, ujung helai-helainya mulai menusuk kulit dengan bebas.
Taehyung membawanya berkeliling mencari tempat makan, sebenarnya banyak sekali restoran yang sekedar dilewati karena tidak sesuai seperti harapan pria itu. Katanya dia mau makan di lesehan saja, mau duduk di lantai dialasi bantal empuk. Secuil informasi lagi yang kini telah dimaklumi, bahwa apa yang diingkan Taehyung harus didapatkannya, terutama kalau masalah makan. Memang ibu Kim informan tak ada duanya bagi Jungkook, berkali-kali ia abaikan informasi soal suaminya hanya sanggup makan masakannya dan ibunya. Acap kali lupa membekali makan siang sejak bayinya terlahir, ia iba membayangkan suaminya pasti sulit makan siang jika dirinya tak membekali.
Setelah sekitar 10 menit berkeliling, mereka menemukan tempat makan di dekat taman sesuai keinginan Taehyung. Suasananya sangat tenang, terhitung beberapa pengunjung saja yang datang ke sana. Begitu masuk, ibu paruh baya mendekat dan menggiring ke salah satu meja kosong untuk ditempati, spotnya bagus dari dekat jendela, dapat bonus melihat danau selain taman.
Mereka memesan masing-masing seporsi naengmyeon serta porsi gogigui untuk dua orang. Suaminya bilang, seandainya sudah ada di penginapan, dia mau minum soju, berhubung malam belum menjelang ditambah lagi masih ada misi menemukan penginapan, pria itu harus tetap mempertahankan kesadarannya.
"Kamu benar belum pernah punya kekasih, Jungkookie?" Taehyung langsung bertanya sedetik setelah wanita paruh baya tadi meninggalkan meja mereka.
Dirinya jelas heran diberi pertanyaan yang sudah jelas jawabannya Taehyung tahu. Di satu malam awal-awal menikah, ia pernah ditanya terkait hal yang sama, dengan tegas dan jujur Jungkook menjawab belum pernah memiliki kekasih selama hidupnya. Ia cuma punya suami yang bahkan baru dikenal seminggu sebelum pernikahan.
"Belum pernah. Kenapa bertanya? Kan, sudah tahu jawabannya?"
Bukan langsung menjawab, tangannya malah ditarik lembut, digenggam, diusap, dimainkan oleh jemari-jemari kokohnya. Semisal dipersilahkan kesempatan bertanya terus-terang, ia ingin sekali bertanya mengapa pria itu bertingkah tak biasanya? Ditelan kembali bulat-bulat niat tersebut.
"Hanya penasaran." jawabnya. Kini kedua tangannya yang digenggam. Jungkook yakin sepasang atau dua pasang mata sedang menatap ke arah mereka, pasalnya di sini hanya mereka berdua saja yang kelihatan kentara layaknya orang sedang pendekatan. "Kamu pernah menyukai seseorang?"
"Pernah." katanya lancar, seolah tidak perlu dikhawatirkan atas kejujurannya.
"Dia menyukaimu juga?"
"Aku enggak tahu, cuma dengar-dengar saja kalau dia sempat menyukaiku. Aku tidak berani bertanya langsung, takutnya malah memengaruhi hubungan pertemanan."
Dipancing demikian, penasarannya menjadi menggebu-gebu. Rasa ingin tahu sukses meraih ubun-ubunnya. "Teman kamu? Teman dekat?"
"Tidak sedekat dengan Bambam."
"Siapa namanya?"
"Kenapa? Ada apa? Kok tiba-tiba jadi mengintrogasiku?" Tawa kecil Jungkook dianggap pencegahan perasaan tersinggung Taehyung. Biar nyaman.
"Mau pendekatan."
"Kita sudah akrab, sudah saling mengenal. Masa pendekatan harusnya sudah lewat."
"Ini berbeda." katanya.
Menolak itu bukan tipe Jungkook sekali, menghindari pertanyaan suaminya sendiri terasa kurang etis. Toh, lagi pula pertanyaannya tidak mengganggu walaupun ia malas mengingat masa lalu. Baginya sekarang setidaknya lebih baik, karena ada Yeonjun dan Taehyung yang menemani kehidupannya. Diladeninya setiap pertanyaan-pertanyaan untuknya, sampai percakapan mereka dipotong oleh kedatangan pelayan tadi beserta semua hidangan yang dibawa.
"Kalau Mas Kim, mantan kekasihnya cuma satu?" Jungkook bertanya polos sembari menyuapkan naengmyeon pertama.
Terdiam sejenak saling berpandangan, "Kamu taunya berapa?"
"Satu. Itu loh, kalau kata Ibu, mantan terakhir sebelum kita menikah."
Suaminya yang sibuk memanggang daging malah ketawa gemas, sepertinya Jungkook lupa nama mantan kekasihnya. Pernah sekali waktu membahas soal mantan kekasih Taehyung yang satu itu, soalnya Jungkook bilang ia harus tahu kehidupan masa lalu suaminya sendiri.
"Sebenarnya ada beberapa."
"Huh?" Jungkook agak sulit mempercayai. Masa iya Taehyung punya beberapa mantan pacar? Dengan sikap kaku, serta sifat yang kelihatan bukan tipe orang bisa gonta-ganti pacar?
"Ada lima, mungkin?"
"Mas Kim ternyata sudah berpengalaman banyak? Aku tidak sangka."
Taehyung tertawa-tawa menanggapi ketidak percayaan itu. "Tapi hubungannya tidak pernah berlangsung se-lama mungkin. Dengan yang pertama hanya 6 bulan kurang lebih, yang kedua 10 bulan, yang ketiga sampai setahun kemungkinan, dan keempat setahun."
Dirinya kembali dibuat kaget karena itu, bukan merupakan sesuatu yang mudah baginya mengira sang suami justru berpengalaman dalam urusan asmara dibanding ia yang bahkan merasakan pacaran sehari saja tidak. Aneh sekali, karena Taehyung begitu kaku dan cuek kalau bukan kepada keluarga, seperti kata ibu dan kak Seokjin. Bagus juga sih kekasihnya dulu pada tahan menghadapi pria di depannya ini.
"Kalau bersama Dahye?" Jungkook bertanya hati-hati, takutnya bisa menyinggung perasaan. Terus terang saja, ibu bilang sejak putus dari Dahye, putra bungsunya sempat murung dikarenakan merasa bersalah sudah menyakiti mantan kekasihnya. Sampai mogok makan tiga hari dan cuma mau diam di kamar. Alasan Dahye lumayan logis saat minta memutuskannya, bilangnya sudah enggan mempertahankan sendirian hubungan mereka, waktu itu Taehyung juga sempat berteriak pada Dahye di depan rumah pria itu sendiri. Malah menantang tidak takut jika hubungan mereka harus berakhir. Kebetulan ibu Kim menyaksikan segalanya.
"Lumayan lama, dua tahun lebih."
"Begitu, ya?"
Sesungguhnya banyak sekali yang masih ingin dipertanyakan, namun agaknya kurang sopan kalau mengorek masa lalu. Jadi, Jungkook berusaha menekan keinginan bertanya. Biar pria itu mengorek masa lalunya yang cuma dipenuhi dengan cara monoton sekedar bermain bersama Bambam, tanpa kisah cinta yang umumnya menimpa remaja-remaja tanggung.
Mereka habiskan waktunya dengan sesekali mengobrol tentang hal-hal ringan, seputar rencana mengurusi Yeonjun ke depannya. Atau tidak jauh-jauh dari keluarga dua belah pihak. Sedikit berbagi, bahwa sesungguhnya Taehyung memiliki satu kakak perempuan. Kakak kedua yang seharusnya berusia 31 tahun sekarang. Katanya, kakaknya meninggal di usia enam bulan karena memiliki penyakit bawaan. Asthma. Ibu sampai terpuruk atas kehilangan bayinya semasa itu, hingga Taehyung harus muncul dulu ke dalam kehidupan mereka agar rasa sedih ibu terlupakan sedikit demi sedikit.
Begitulah sepenggal kisah menyedihkan yang pernah menimpa keluarga suaminya. Bersamaan selesainya menghabiskan semua hidangan, cerita ditutup oleh segaris senyum yang sesaat membuat dirinya berpikir bahwa Taehyung punya senyuman yang menenangkan, yang baru disadarinya.
Jungkook disuruh menjauh sewaktu pria itu mengeluarkan sebungkus rokok, mau menyebat sebentar. Ia duduk di motor, sementara suaminya berdiri di jarak dua meter di hadapannya. Mereka saling memandang, tidak mengeluarkan suara sekecil suara burung, meresapi waktunya untuk memandangi orang yang jadi pasangan seumur hidup tanpa perasaan cinta. Namun sepertinya kali ini harus diralat, Jungkook saja yang tak memiliki perasaan cinta pada pria di depan sana. Kalau Taehyung... Pria itu mulai bingung akan jawaban hatinya sendiri. Dibilang belum mencintai, dia kepikiran terus, terbayang melulu soal wajah manis Jungkook akhir-akhir ini sedang tersenyum, muncul perasaan tidak ingin kehilangan yang teramat besar sampai hampir-hampir menangis, pria itu sungguhan tengah ketakutan, tiap waktu rasanya mau memeluk Jungkook di tiap keadaan.
"Saya bingung." katanya sesaat setelah menghembuskan asap rokok.
Tiba-tiba bicaranya jadi serius sekali, padahal baru 10 menit lalu pakai aku-kamu, tanda bahwa Taehyung sedang berbicara santai dan mengakrabkan diri. Jungkook hendak protes, tapi dirinya keburu sadar melalui mata Taehyung yang menunjukkan keseriusan di tingkat paling tinggi. Meski sambil merokok, ia tahu ada sesuatu yang ingin dibahas mereka berdua.
"Bingung kenapa?"
"Bingung sekali karena mendadak takut kehilangan kamu sampai terasa sesak." Taehyung kembali berbicara setengah ketakutan. Di saat yang sama pria itu sadar bagaimana menawannya Jungkook, menawan yang tak wajar maksudnya. Dan kemudian hatinya berbisik, di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan bagaimana indahnya Jungkook.
"Aku tidak akan pergi ke manapun." Dirinya menjawab lembut disertai senyuman mengobati. Harusnya mampu mengobati kebingungan dan ketakutan suaminya sekarang.
"Tetap saja. Takut jika suatu saat nanti kamu meninggalkan saya. Kalau saya hidup tanpa kamu, saya tidak akan bisa apa-apa."
Dirinya tertawa pelan menanggapi tingkah kekanakan Taehyung, "Mas Kim berbicara seolah aku mau pergi jauh sekali dan enggak kembali pulang."
"Katakan saja begitu. Saya sudah terlalu banyak memikirkan, dan yakin bukan sekedar takut sekejap." Taehyung berbicara mengenakan nada agak tegas. Pria itu berjalan mendekat setelah mematikan rokoknya dan menyaku sisanya untuk nanti dibuang jika ada tempat sampah.
Sejujurnya, dirinya tak mengerti mengapa suaminya terlihat lebih banyak ketakutan setelah selesai makan bersama. Ia masih ingat bayangan senyum pria itu beberapa menit lalu menghiasi, ceria, tampak jahil sewaktu menggoda dirinya. Makanya dengan penuh pengertian, Jungkook bersedia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar supaya Taehyung bisa menurunkan tingkat ketakutannya melalui pelukan darinya.
"Jangan tinggalkan saya, ya. Saya takut sekali sekarang." Nada bicara Taehyung bergetar. Wajahnya terbenam di bahu Jungkook, sampai-sampai ia bisa menebak air mata pria itu berderaian membasahi pakaiannya.
"Tidak perlu khawatir! Semua itu tidak akan pernah terjadi."
•••