Seperti yang sudah diprediksi, gerombolan hiena gila menyerangku. Hujatan sudah tidak bisa dibendung di kolom unggahan akun pribadiku. Banyak kata-kata kasar dialamatkan padaku, seperti bentuk tubuh, wajah dan prestasiku yang termasuk kategori pas-pasan.
Sudah cukup tasku raib setiap menjelang latihan dan saat ditemukan malah digantungkan di punggung rangka palsu manusia di laboratorium sains. Aku selalu khawatir saat latihan, selalu ada yang bersikap jahil. Namun, serangan semakin kuat usai semua orang melihatku dicium Sunghoon dan video kami bertebaran di laman sekolah dan situs media lain. Ayolah, itu cuma peran. Akan tetapi, kenapa hiena-hiena ini tidak bisa membedakan yang mana tuntutan drama dan yang mana realitas?
Kali ini bukan diam-diam lagi. Serangan mereka semakin berani. Aksi vandalisme itu sudah merugikan sekolah.
Mejaku penuh coretan berisi umpatan tidak pantas. Loker penuh sampah dan kado bangkai tikus. Tidak hanya itu, yang paling terparah adalah beberapa buku pelajaran direndam dalam wastafel toilet anak laki-laki yang mengalir. Praktis aku berbohong pada guru kalau aku lupa membawa buku dan tidak mengerjakan PR. Akibatnya, aku kena pengurangan poin.
Aku malas meladeni para pengganggu. Kalau aku mengadu ke guru, tingkat gangguannya semakin meningkat. Kupikir, dengan menjauhi Sunghoon, gangguannya akan berhenti. Aku senang akhirnya drama sudah rampung, jadi aku akan mengundurkan diri dari klub dalam waktu dekat. Ada sedihnya juga kalau kami tidak bersama. Pilihan terbaik yang sanggup aku pikirkan hanyalah mengamati ketampanannya secara diam-diam dan dari kejauhan. Sakitnya dirundung sudah membuatku sesak. Jatuh cinta ke Sunghoon sangat menyiksa. Tidak sepadan dengan buku-buku yang hancur saat kusetrika agar lekas kering.
Omong-omong, siapa sebenarnya Sunghoon sampai punya sasaeng (penggemar yang suka menguntit dan sering kelewat batas) tersebut?
Selain tampan, oh, aku muak mengatakan berulang kali kalau dia tampan, tapi itu fakta. Kabar yang beredar, Sunghoon putra dari konglomerat. Aku tidak tahu perusahaan yang mana, tapi jika melihat selera pakaian, tas dan sepatu dari merek terkenal, kabar itu tidak bisa dipungkiri. Masalahnya, Sunghoon sangat tertutup setiap ada pembahasan bagaimana penampakan rumahnya atau mobil. Dia sering naik bus tiap pulang pergi ke sekolah. Siapa yang tidak suka pacar kaya raya, tetapi low profile?
Aku sih, tidak. Orang tuaku memberikan uang serba lebih, sehingga kata kaya tidak ada dalam kamusku. Aku bebas bersenang-senang menikmati hidup, terutama di bidang akting. Aku sedikit berharap ada manajer perusahaan yang datang memberikan kartu nama dan menyuruhku ikut casting sebagai aktris drama. Namun, parah sekali, tidak ada yang datang.
Hanya karena drama, aku terus meratap kesal. Banyak yang menjauhiku semata aku resmi menjadi samsak tinju para iljin (perundung) di sekolah. Kebanyakan dari mereka berwajah kucing berpoles riasan murah. Lebih gilanya, Kim Minji, ketua keonaran adalah satu penggemar obsesif Sunghoon. Jika ada yang ketahuan menyapa Sunghoon, siap-siap kena hajar gadis itu.
Aku sial berhadapan dengan Minji. Dia selalu mengklaim Sunghoon adalah pacar sejatinya.
Dramatis sekali. Sunghoon tidak pernah menyapa Minji sama sekali. Itu yang aku saksikan selama melihat betapa cari perhatiannya Minji pada Sunghoon.
Aku menyesal aktif di teater drama. Seharusnya aku menjadi tokoh lain saja. Jangan menjadi Hoojoo yang disukai Jaebum. Tak masalah jadi pohon yang membatu dua jam, asal tidak kena gigitan dan ciuman Sunghoon semalam.
Ah, memikirkan Sunghoon hanya akan membuatku kelelahan terus. Aku duduk berdiam diri di kelas, sengaja melewatkan jam makan siang. Paling-paling kalau aku ada di kantin, akan ada satu gadis yang menjegal kakiku sehingga jatuh tersandung, lalu isi makanan di nampan stainless tumpah ruah. Ini akan menjadi tidak menyenangkan. Aku juga menolak menjadi pusat perhatian dan tertawaan para siswa.
Lapar sekali, tetapi tasku kosong. Aku butuh camilan pengganjal perut.
Sebelum menelungkupkan kepala ke meja, panggilan seseorang menahanku. Aku mendongak melihat wajah seperti madu. Ekspresinya memelas. Hanya gadis itu yang berani bicara hari ini, selagi yang lain pura-pura menganggapku tidak kasat.
"Tolong temani aku ke toilet," ajak Bae Jung-A.
"Baiklah." Aku menganggukkan kepala setuju. Tubuhku beranjak dengan berat. Aku tidak bisa menolak, tetapi sulit mengatakan tidak jika Jung-A yang meminta. Wajah innocent itu yang harus dilindungi, sementara aku ....
Aku menggelengkan kepala. Tidak mau terlalu banyak memikirkan serangan-serangan yang telah terjadi. Kendati para guru mengagumi akting dan kemistri di antara aku dan Sunghoon, bukan berarti penggemar Sunghoon berhenti melampiaskan kekesalannya.
Jung-A berdiri di depanku. Gadis itu terkenal paling penakut di antara semua orang. Dia termasuk gadis merepotkan. Ke mana pun dia ingin pergi, harus ada satu dua orang yang menjadi pengawalnya dan aku selalu menjadi teman berjalannya, walau tidak banyak yang kami bicarakan. Intinya, aku dan Jung-A tidak dekat.
Dengan mengantar Jung-A ke toilet, membuatku ingin buang air. Jung-A menatapku sekilas sebelum masuk ke salah satu bilik. Aku menyusul masuk ke bilik satunya. Selama beberapa waktu, aku senang sendirian tanpa satu pun orang yang mengawasiku. Sepanjang hari menyendiri, tidak akan nyaman jika menjadi bahan gunjingan terpanas.
"Ah, ada Jung-A. Sedang apa di sini?" tegur salah satu siswi sangat ramah. Jung-A pasti sudah selesai dengan urusannya, sementara aku menghela napas dalam bilik sempit. Aku harus keluar sekarang. Persembunyian sudah kuakhiri secepatnya demi menemani Jung-A balik ke kelas.
Jung-A menjawab pelan, tetapi tidak terdengar oleh telingaku.
"Ayo pergi bersamaku, Jung-A-ya. Kau pasti belum makan siang, kan?"
"Eh, tapi, uh, ya, baiklah." Jung-A kikuk sekali menjawabnya.
Samar-samar aku mencium bau lezat. Sangat aneh ada orang yang membawa makanan di dalam toilet. Namun, aku tidak mau terlalu memikirkannya. Aku percaya bahwa semua manusia punya alasan masing-masing untuk melakukan sesuatu.
Jung-A pergi meninggalkanku sendirian pada akhirnya. Aku merasa dikhianati. Gadis itu mengajakku pergi tetapi setelah urusannya selesai, aku dibuang. Aku makin tidak mengerti tentang pola pikir manusia. Aku apatis dengan yang lain, tidak mau ikut campur dan ingin menghargai pilihan orang. Namun, tidak kalau mereka terus menyerangku.
Memangnya apa dosaku? Hanya karena jadi lawan main Sunghoon, aku harus mengalami perundungan. Enak sekali menjadi Park Sunghoon yang sempurna, kaya, pintar, humoris dan punya segalanya. Sementara aku ....
Aku membuka pintu bilik untuk segera cuci tangan. Di cermin yang tersedia di dalam toilet anak perempuan, aku juga ingin memastikan diri bahwa aku terlahir cantik tanpa operasi plastik. Aku punya lipatan mata alami, bibir mungil, bola mata besar dan hidung mancung. Proporsi tubuhku juga lumayan, tapi kenapa orang-orang di sini sinting semua?
Belum sempat aku bercermin atau pun cuci tangan, sesuatu yang hangat, lengket, basah dan bau menerpa semua tubuhku. Dari atas, aku malah kena siram kuah sundae.
Lima gadis yang tidak kukenal tertawa terbahak-bahak. Aku bersyukur bahwa kuah yang tumpah bukanlah kuah panas. Pasti sekujur tubuhku melepuh karena luka bakar, tetapi ini sangat keterlaluan!
"Hahaha. Dia memang bau sundae. Aku mual sekali!"
Aku ingin menghilang. Aku benci dengan manusia gila seperti ini. Mengganggu orang semata tidak bisa melawan iri, cemburu, dengki dan keserakahan. Aku mau menghilang saja dan menghabisi mereka suatu saat. Tanganku terkepal penuh kemarahan. Bibirku mau robek rasanya, selagi kekeh tawaku bergema memenuhi toilet perempuan.
"Aku memang punya empat restoran sundae. Kau atau keluargamu pasti pernah makan di sana, kan?" pancingku tak terima.
"Dia memang gila!"
Kali ini lima tangan mengeroyokku. Ada yang menjambak, mencakar dan meninju perutku. Batas kesabaranku sudah habis. Aku balas melawan mereka.
Salah satu siswi yang paling dekat di sisiku berteriak keras akibat helai rambutnya kutarik paksa. Aku mendorongnya ke tembok. Tatapan kebencian tidak bisa kubendung. Aku melampau kapasitas ketidakpedulian pada emosiku. Semua pemandangan yang kulihat berubah warna merah. Mungkin karena aku sedang emosi. Belum lagi sensasi terbakar yang terjadi semalam kembali menyerangku, tetapi energiku semakin membesar. Aku tidak merasakan semua sakit saat empat siswi lain menendang dan meninjuku.
Riuh anak-anak yang menonton pertengkaran dari pintu toilet sudah tidak terdengar. Aku hanya ingin menghabisi satu gadis gila dalam cengkeramanku sebagai pelajaran. Persetan dengan pengurangan poin. Paling-paling aku kena skor beberapa hari, karena yang kulakukan adalah pembelaan diri. Aku adalah korbannya. Satu-satunya yang menjadi fokusku hanyalah membuat pemimpin mereka mampus.
Mata si pemimpin penuh warna putih dan tubuhnya sudah terkulai lemas di bawahku. Kalau dia pingsan pun, rasanya belum cukup untuk menyudahi kekecewaanku. Aku ingin dia yang lenyap.
"Yoo Yuri, apa yang kau lakukan?" Guntur bagai membelah langit. Suara kepala sekolah yang memekakkan itu tidak berdampak. Aku duduk di atas pemimpin pengeroyokan itu, masih ingin mencekiknya.
"Hentikan, Yuri-ya."
Suara tenang yang kukenal itu menghipnotis. Aku bagai kena siram seember air dingin. Tanganku yang kaku akhirnya merenggang penuh keterkejutan. Aku bahkan tidak menduga nyaris membunuh orang.
Kulihat wajah tirus pucat Sunghoon yang tersenyum. Dia menarik bahuku dan melindungi tubuhku dari pandangan ngeri para siswi di dalam toilet. Sunghoon bahkan menyampirkan jaket di atas kepalaku.
Ck.... Dia menjadi pahlawan kesiangan. Datang saat aku sudah kacau balau seperti ini. Mau tampil keren rupanya. Ha. Awas saja. Aku bakal buat perhitungan besar nanti. Kalau bukan karena Sunghoon, aku tidak akan mengalami yang namanya bullying.
"Yoo Yuri, pergi ke ruang BP. Yang lain bawa Kim Minji ke UKS!" Guru memberi instruksi. Dia menghalau kerumunan yang menyemut di pinggir pintu, ingin membuka akses agar Minji dikeluarkan lebih dahulu.
Aku menundukkan kepala tidak senang. Pandangan guru dan kepala sekolah jelas menggangguku. Aku tidak rela disalahkan di saat posisiku adalah korbannya. Namun, aku juga ketakutan karena merasakan betapa kuatnya aku mencekik Minji, si pemimpin iljin yang melempar tubuhku dengan kuah sundae.
"Kerja bagus, Yoo Yuri. Super sekali." Sunghoon meninggalkanku begitu saja. Aku harus pergi ke ruang BP, tetapi ada satu yang mengganjal.
"Ssaem, badanku basah. Boleh aku ganti pakaian dulu?"
"Memangnya siapa yang menyuruhmu bawa dagangan orang tuamu masuk ke sekolah?" tanya kepala sekolah makin kesal.
"Apa?"
Aku makin tercengang, tidak paham dengan perkataan kepala sekolah.
Kepala sekolah menyentakkan dagu ke jendela. Dari arah lapangan, terdapat satu truk makanan yang tidak asing. Aromanya mengular jauh sampai ke gedung sekolah.
"Aku tahu kau bagus sekali semalam. Namun, tidak etis juga kalau harus promosi dagangan bisnis keluarga masuk ke sini. Apa kata ketua komite dan wali murid, Yoo Yuri?"
"Aku tidak ...." Belum sempat pembicaraanku selesai, kepala sekolah berbalik. Dia tidak mau mendengar pembelaan diriku di lorong. Aku mengerang frustrasi karena tidak ada yang tahu apa yang terjadi padaku. Jung-A satu-satunya saksi pertengkaran, tetapi kejadian persisnya dimulai saat Jung-A pergi. Lalu apakah ucapannya bisa dipercaya?
Entah sampai kapan siksaan ini berakhir. Kukira pentas semalam adalah yang terakhir aku mengalami sikap tidak menyenangkan beberapa orang. Namun, dengan pingsannya ketua geng di sekolah, aku mengalami hal-hal tidak terduga lagi nantinya.
Tidak ada yang benar. Balas dendam silih ganti bakal menyerangku. Aku memejamkan mata kelelahan. Perlahan memar-memar keunguan mengisi semua tubuhku. Aku merasakan denyut perih bekas tinju anggota Minji tadi.
"Kapan ada lubang besar agar aku jatuh sekalian daripada salah terus, hah?" keluhku seraya menuju ruang BP.
****************
Kelanjutannya gimana? Tungguin aja bab 3.
Lagi mode cepet update. Mungkin karena kepalaku penuh dengan dunia kehororan. Sekali lagi, makasih yang mampir baca.
Jangan lupa vote n komentarnya ditunggu. Salam kenal buat para reader. Icikiwir.
~~~~~~~~~
26 Oktober 2020