Meraba Rasa

By priskapurwaningsih

1.6K 65 2

Maka, diperhentian kedua. Meletakkan tiap rasa yang kemarin sempat membiru. Meragukan hati yang meminta kem... More

Jejak Pertama
PROLOG
Penggalan | 1
Penggalan | 3
Penggalan | 4
Penggalan | 5
Penggalan | 6
Penggalan | 7
Penggalan | 8
Penggalan | 9
Penggalan | 10
Penggalan | 11
Penggalan | 12
Penggalan | 13
Penggalan | 14
Penggalan | 15
Penggalan | 16
Penggalan | 17
Penggalan | 18
Penggalan | 19
Penggalan | 20
Penggalan | 21
Penggalan | 22

Penggalan | 2

85 6 0
By priskapurwaningsih

-----

Bagian: Sinatria

Bicara Sabtu, bicara kebebasan. Mungkin Sabtu ini aku bisa sedikit tenang, hilang sejenak dari padatnya mobilisasi pekerjaan.

“Makasih Pak.”

Mobilku memasuki kostan Arun. Sengaja menempati parkiran terdekat. Ini yang menjadi alasan Arun musti pikir panjang soal tawaran menempati apartemen Mbak Ingga.

Saking homey-nya ngebuat dia susah berpaling. Termasuk aku yang setuju akan alasan dia.

Tipikal kost elit pada umumya, namun punya kelebihan pada design yang membangun suasana hangat dan nyaman. Bersih, simpel, keamanan yang kuat. Tanaman hijau berjajar dimana-mana, aksen kayu dan bambu ikut mengikat tiap langkah urung pergi.

Jangankan Arun, serangga-serangga kecil yang terbentuk dalam suatu ekosistem disini enggan pergi jauh-jauh.

“Pagi Mbak... Iya mau bertamu di unitnya Arun.” Kedatanganku langsung disambut sama resepsionis disini.

Sebagian besar mereka udah kenal aku karena keseringan mampir-mampir kesini. Cuma ya peraturan tetap peraturan.

Aku memasuki lift menuju lantai delapan. Lantai paling tinggi dimana Arun tinggal disana.

Dering ketiga baru terangkat.

Wait Yo. Naik aja.”

“Gue udah didepan pintu lo neng...”

Arun tertawa. Beberapa detik kemudian pintunya terbuka.

Sebenarnya aku dikasih kartu bebas akses masuk ke unitnya, tapi sengaja aku nggak manfaatin itu. Karena ada pemiliknya didalam yang bisa ngebukain aku pintu dan biar bisa berlama-lama diluar. Membiarkan penghuni kostan cewek disini menikmati kehadiranku.

“Gue udah kayak mau diterkam penghuni cewek disini tau nggak Ar?”

Arun mengerutkan dahi. Sembari memakai sepatu.

“Mulai deh mulai. Semalam lo nggak minum kan?”

Seakan paham akan arah pembicaraan ini. Aku jamin Arun akan mengatai ku sebagai cowok yang excessive narcissistic lagi.

“Ya kan lo tahu sendiri seberapa antusiasnya mereka tiap kali gue kesini. Btw, apa kabar mereka yang ngejar-ngejar gue?”

Arun bangkit berdiri dan menjinjing tas berisikan perlengkapan bermain bulutangkis.

“Apa kabar hati yang lo patah-patahin. Nggak lucu tau tiap bulan mereka datang nangis-nangis terus curhat sampai pagi.”

Aku tertawa terbahak-bahak. Kalau nggak cocok mau gimana lagi ‘kan? But, thanks Ar mau ngeladenin mereka yang sedang patah hati. Ngebukain pintu, nenangin mereka yang terluka atas perilakuku.

Saking baiknya, mau aja nerima getah dariku. Sekali lagi, arogannya Arun itu hanya berlaku saat dia mencoba beradaptasi di circle baru.

Bagian: Arundaya

Berasa lega aja kalau berhasil ngeluarin keringat sebanyak ini. Berasa enteng jiwa, raga dan pikiran. Sama halnya detox, berolahraga bisa mengembalikan kewarasanku. And thanks to Rio yang dua tahun ini jatuh cinta sama bulutangkis selain futsal. Nggak tahu juga kalau dia aslinya terpaksa, but agaknya dia enjoy-enjoy aja mainnya, nggak kelihatan wajah muaknya.

Lima belas menit sebelum waktu sewa kami habis. Beberapa diantara kami termasuk aku menepi di pinggir lapangan. Dan terlibat dalam obrolan bersama kloter di jam setelah kami.

“Tiap kali nonton TV, apalagi saat jam-jam infotainmen gue selalu berharap kalau ada lo disana.”

“Bisa aja kamu Dam. Hampir tiap weekend loh kita ketemu.”

“Iya, tapi lo itu kayak punya banyak sisi. Enak aja dilihatin.”

“Lo kira Arun segitiga Dam?” Rio nimbrung, setelah menjatuhkan tubuh lelahnya di lantai.

Dan berlanjut dengan cerita yang berbalas-balasan. Memenuhi keinginan hati untuk membagikan deretan kalimat untuk ditanggapi.

Bagian: Sinatria

Berjalan sesuai agenda. Setelah mandi dan berganti pakaian di kostan Arun usai berolahraga. Aku dan Arun pergi menuju toko mainan anak-anak sebelum melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Ganes dan Mbak Ingga yang baru.

Seperti yang udah-udah, antara aku dan Arun seringkali terlibat adu argumen. Arun yang dasarnya batu, aku pun yang sepertinya demikian pula. But, mungkin kali ini aku yang lebih rasional dibanding dia.

“Keren ini Arun...”

“Jelas-jelas kerenan ini Rio...”

Pelayan toko mungkin udah muak mendengar kami.

“Maaf kak kalau boleh saya saranin, lebih baik memilih pilihan Mas-nya karena bisa dipakai sampai usia tiga, empat tahun. Sistem kerjanya juga bisa pakai batrai maupun remote control, kalau mau manual juga bisa tinggal di off kan semua.”

“Gimana? Tetap milih si kuning apa si merah ini?”

Arun seperti menyerah, sadar jika sedari tadi hanya mengunggulkan warna yang cocok buat Kala- keponakannya.

“Emm, yang merah aja Mas.”
Satu jam dihabiskan hanya untuk berdebat dan dia akhirnya menyerah.

Kalau kalian ingin tahu bagaimana ekspresi Arun kali ini, aku harap jangan sampai tahu deh, dijamin kalian bakalan tertawa terbahak-bahak sampai Monas.

“Barang sudah berhasil dipindahkan dengan aman nona Arundaya...”

Lihatlah dia semakin berang. Mas pelayanan tadi segera pamit setelah pekerjaannya selesai.

“Makasih Mas, untung ada Mas. Kalau dia yang angkat sendiri nggak yakin bisa selamat.”

“Ck! Udahlah, Sabtu akan muram melihat lo yang kayak gitu tau.”

“Au ah.”

“Lagian lo itu ya udah jelas-jelas kegunaannya sesaat tetep aja ngotot pilih itu hanya karena modelnya aja yang lucu. Oh Lord apa semua cewek pikirannya seperti itu ya?”

“Oh Lord, apa semua cowok nggak bisa ngertiin keinginan cewek ya?”

Sembari mengikuti rasa jengkelnya, dia terus berkutat dengan ponselnya dalam perjalanan.

Tipikal perempuan simple lainnya.
Nggak pernah dia marah lama-lama.

“Saran dong Yo.” Arun membacakan e-mail dari pihak yang membutuhkan jasanya.

“Menurut ku ya mending pilih iklan gerakan memilih tanyangan yang positif untuk anak usia sekolah or aksi nyata meningkatkan kualitas pendidikan anak di Indonesia melalui budaya gemar membaca dengan majalah inovatif or pentingnya olahraga durasi singkat berkualitas dengan aplikasi video tadi aja. Kalau produk kecantikan seperti itu biar seleb lain yang ambil.”

“Oke I agree. Tapi jangan pernah sebut gue seleb ya.”

“Baik ratu.”

Oh ya soal seleb per-seleb-an, Arun paling anti mendengarnya. Katanya biarkaan dia tetap jadi dia.

Sebanyak apapun pencapaian yang dia raih, hal yang aku sukai dari dia adalah down-to-earth-nya dia yang benar-benar mendarah daging.

Dia yang nggak mau sembarangan ambil kerjaan. Semuanya harus ada kaidahnya, harus ada nilai tingginya.

Mungkin karena itu dia banyak dilirik khalayak publik. Citranya yang tenang, nggak neko-neko. Dan tentunya intelektual dia yang matang. Selaras dengan pribadinya. Mampu menyihir petinggi negara sekalipun buat terang-terangan memujinya.

Bagian: Arundaya

Ini beneran rumahnya? Sesuai alamatnya ‘kan? Kembali aku membuka pesan WhatsApp dari Mbak Ingga semalam yang aku beri tanda bintang agar memudahkan aku mencari.

Rumah berlantai dua yang begitu teduh dan asri karena banyak ditemukan ornamen kayu, batu bata sedikit kaca dan juga banyak sekali tumbuhan disana-sini membuat siapapun yang singgah langsung diselimuti kedamaian. Termasuk aku, ini yang aku rasakan.

Kemudian persis disebelahnya ada bangunan minimalis yang masih mengadopsi tema rumah utama yang juga memiliki dua lantai. Dimana terpasang plang dengan nama dr. Andara Ganesha Risanggana Sp.OT (K) terpatri di latar putih. Dengan nama itu menyadarkanku bahwa aku nggak mungkin salah alamat.

“Benar kan?”

Rio bertanya bingung, melihatku yang bengong dengan ria. Aku mengangguk.

Di halaman depan sudah ada BR-V milik ibu dan ayah. Jadi C-HR milik Rio diparkirkan di luar pagar dengan posisi aman karena jalanan komplek yang cukup luas. Nggak lupa juga menurunkan hadiah untuk Kala, dibantu oleh Rio.

“Ibu, ayah...” Sapaku, kemudian beringsut duduk bersama mereka di karpet hitam yang sengaja di gelar di lantai ruang tamu lalu mencium punggung tangan mereka satu-persatu.

Dan asal kalian tahu semakin masuk ke dalam semakin terasa kedamaian itu mendekat. Baiklah jenis ini akan aku jadikan referensi pembengunan rumahku kelak.

“Sehat-sehat kan kamu?”

“Sehat dong Bu.”

“Kerjaan lancar?”

“Lancar dong Yah.”

“Rio, sini nak mendekat.” Rio yang sengaja menjauh untuk memberikanku privasi berjumpa dengan orang tuaku akhirnya mendekat untuk menjabat tangan mereka.

“Makasih ya nak udah jadi temen yang baik buat Arun. Jangan sungkan-sungkan marahin Arun kalau dia susah diatur.”

“Wah, udah saya marahin sih Tante. Tapi saya tetap kalah.” Tawanya bermaksud bergurau. “Tapi Arun terbaik kok Om Tante, jadi nggak perlu begitu mengkhawatirkannya.”

“Arun memang belum sembuh-sembuh ya keras kepalanya?” Ayah bertanya halus kepadaku lebih tepatnya karena lirikannya tepat mengenaiku. Lalu diakhiri dengan tertawa.

“Kala... Kala ku sayang...”

“Disini tante, Kala disini...”

Jawab Mbak Ingga memakai logat bayi. Karena aku mendengar sumber suara berasal dari kamar itu dan pintu kamar juga berbuka, aku memilih mendekat.

“Aku boleh masuk?”

“Boleh dong tante...”

Disana Kala sedang diganti popok sama Mbak Ingga. Kala yang langsung menatapku sambil tersenyum dengan gigi empatnya dan kakinya yang bergerak menendang membuatku gemas bukan main. Reflek tanganku mencubiti pelan pipi gembulnya.

“Mas Ganes?”

“Masuk pagi dia, ntar jam dua pulang, sampai sini jam setengah tigaan. Ya kalau nggak banyak antrean konsulan. Acara dimulai jam empat.”

“Jelas amat Bun?”

“Iya dong. Sebelum kamu mencerca khas kamu wawancara narasumber.”

“Ini rumah keren amat. Habis berapa duit ini?” Sengaja aku menggodanya. Walaupun aku sebenarnya tidak butuh jawaban pastinya.

“Berduit-duit dong tante... nih ikut tante... bunda ganti baju dulu ya...”

Akhirnya Kala berada digendonganku. Benar-benar anak yang lucu dan menggemaskan.

Sore kelabu. Kalau udah seperti ini jelas akan hujan.

Mas Ganes tiba setengah jam sebelum acara dimulai. Semuanya sudah disiapkan dengan baik, termasuk jamuan untuk para tamu. Termasuk aku dan Rio yang mau nggak mau punya tugas jemput tamu pakai payung. Perkara hujan dan angin kencang.

Acara tetap berjalan, walau satu-persatu tamu hadir dengan terlambat. Sejalan dengan makin kuyupnya pakaianku dan Rio.

Bahkan di akhir acara yang diisi dengan ramah tamah dengan bersantap masih aja ada tamu yang datang. Baru aja aku menggumam, nyatanya benar. Mas Ganes berjalan kearahku,

“Ar, minta tolong sekali lagi ya jemput tamu di depan. Rio lagi makan kasian kalau di jeda.”

Aku menoleh kearah Rio yang tak jauh dari posisiku, sedang makan mi pangsit dengan lahapnya sambil menunjukkan tanda damai pada tangannya yang bebas. Dasar! Lagian ini tamu kenapa juga tetap memaksakan hadir di penghujung acara seperti ini.

“Siap Mas!”

Aku menjauhi kerumunan. Menarik kasar payung yang belum menunjukkan tanda kering, sama seperti pakaianku.

Celingak-celinguk seperti anak ayam mencari Emak-nya, aku berusaha mencari tamu itu.

Mobil yang terparkir di luar sudah mengular. Ku putuskan memilih mobil yang parkir terjauh dari sini.

Belum ada tanda munculnya manusia dari dalam mobil. Dengan inisiatif aku mengetuk kaca jendela kemudi Nissan Terra putih yang dilapisi kaca film lumayan gelap ini.

Kaca turun terbuka tak kalah cepat. Secepat aku tahu jika ada sosok tegap berkemeja abu-abu dengan wajah lesu menyunggingkan tanya. Pikiran kesal dan cenderung nethink terlanjur hinggap, aku sedikit nggak terima dianggap ojek payung olehnya.

“Maaf. Mas tamunya Mbak Ingga sama Mas Ganes? Kalau iya mari saya antar.”

Sebisa mungkin aku berkata sopan. Walau aslinya aku begitu membenci situasi seperti. Bisa nggak sih orang ini gerak cepat? Nggak paham apa kalau jeans ku benar-benar basah!

“Oh iya iya. Saya temannya Mas Ganes. Maaf jika menunggu lama.”

“Ya nggak apa-apa. Mari.” Ajakku kali ini bener-benar memaksa.

Detik berikutnya sosok tegap semakin nyata terlihat. Keluar dengan celana tergulung keatas dan sepasang sandal japit yang dikenakannya. Khawatir sepatunya basah kali ya? Ah peduli katak yang asyik bernyanyi bersautan sore ini.

Lumayan pengertian, dia yang lebih tinggi dariku membantu membawakan payung. Sedikit merasa bersalah, dia nggak seburuk itu. Sisi sayung diberikannya lebih banyak kepadaku, mengesampingkan sisi kemejanya yang udah kuyup.

Lama merenung dan menilai ditengah keterdiaman ini. Akhirnya aku reflek bersuara- berdecit lebih tepatnya karena menahan emosi. Aku jatuh tersungkur ditenggarai gagal menyeimbangkan tubuh.

Sampilah pada kesudahannya, udah jatuh ketimpa hujan lagi.

Payung udah melayang jauh, dilepaskan manusia yang sekarang membantuku bangkit. Awalnya aku benar-benar on fire untuk mengeluarkan kata-kata kasar pada situasi sial ini. Terkhusus pada siapa lagi penyabab semuanya ini. Namun ku urungkan lagi. Berusaha menerima kenyataan.

“KALIAN NGAPAIN?!”

Itu suara Mas Ganes, disambung dengan paduan warna suara orang tertawa yang aku ketahui salah satunya adalah Rio. SIAL!!

Yang biasanya kehujanan akan berefek pada rasa dingin, kali ini justru nggak.

Darah mendidih mengalir keseluruh tubuhku. Tapi suhu didih sedikit turun lewat kalimatnya,
“Bangun Mbak, jangan mau diketawain mereka. Adakah yang terkilir?”

Seperti bukan hanya aku yang tiba-tiba merasa di ledek sama mereka. Dia mengekpresikan supaya aku mau bangkit. Meski yang dia tanyakan harus aku benarkan, ternyata aku merasa ada yang terkilir.

“Udah Mbak diam aja.”

Tanpa permisi, kedua lengan kuat membawaku menuju teras samping rumah. Meneduhkanku di kursi potongan batang kayu. Dan melihat sekaligus memeriksa dengan teliti pergelangan kakiku yang terkilir.

Oh Lord, I hope You don’t trying me to replay this crazy moment for me again. Pintaku dalam diam. Separuh benci dan berterima kasih kepadanya.

-----

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 15.3K 24
Area panas di larang mendekat 🔞🔞 "Mphhh ahhh..." Walaupun hatinya begitu saling membenci tetapi ketika ber cinta mereka tetap saling menikmati. "...
918K 58.1K 33
Mulanya, maksud Miura Nara menerima pernyataan cinta berondong tengil yang terus mengganggunya, adalah untuk membuatnya kapok. Dia sudah menyiapkan 1...
781K 44.7K 59
"Sepertinya belum sebulan sejak pemutusan pertunangan Tuan muda Zarren, tapi dia dengan cepat melangsungkan pernikahan" "Apa benar kalau pengantin wa...
1.8M 58.5K 40
"Kau tidak akan hamil," Kegiatan Abigel yang tergesa-gesa ingin meminum obat yang baru saja ia temukan didalam laci terbatuk seketika mendengar suara...