~》¿♧¿☆¿♧¿《~
V
O
T
E
☆☆☆☆☆
💬
❤
_________________________________________
VOTE☆ sebelum baca😊
.
.
.
.
.
"Bang ... Arka," guman Acha pelan.
Ya, orang yang memanggil Acha dengan sebutan 'Cia' adalah Arka.
"Ka-kamu Cia kan?" tanya Arka memastikan.
Namun, Acha hanya diam saja dan tidak berniat untuk menjawab pertanyaan dari Arka. Ia kini seperti orang yang terciduk mencuri barang orang. Melihat respon Cia yang hanya diam menatapnya dengan tatapan ... kosong? Membuat Arka dengan cepat menarik Acha ke dalam pelukannya.
"Abang kangen dek, kangen bangat," lirih Arka pelan, sangat pelan, saat ia menyadari bahwa Acha tak kunjung membalas pelukannya.
Mendengar itu, Acha langsung saja membalas pelukan Arka tak kalah erat. Setelah keduanya puas, mereka pun melepas pelukan itu. Acha senang, tak ada raut sedih di wajahnya. Bahkan, ketika orang lain melepas rindunya dengan orang yang dia sayang, pasti akan disertai dengan air mata. Namun, Acha berbeda, kini ia tengah tersenyum menatap wajah tampan kakaknya ini. Ia tidak ingin menunjukkan kesedihannya, ia akan membuktikan bahwa ia baik-baik saja.
"Maaf-maaf," bukannya senang, Arka justru merasa tambah bersalah melihat senyum manis adiknya.
"Abang nggak salah," Acha terus saja menampakkan senyum manisnya.
Sedangkan Bara yang menyaksikan interaksi keduanya pun dibuat bingung. Ia menarik-narik pelan ujung baju Acha. Seketika Acha menoleh dengan kening berkerut. Ah, ia lupa, di sini masih ada Bara. Melihat respon Acha membuat Bara kesal sendiri, dengan masih dengan rasa penasarannya Bara kembali mengintruksikan Acha untuk mendekat ke arahnya dengan tangan yang i lambai-lambaikan.
Mau tak mau Acha berjongkok menyamakan tingginya dengan Bara.
"Kenapa?"
"Dia siapa, Ma?" tanya Bara dengan berbisik tepat di telinga Acha dan tentu saja Arka tidak mendengarnya.
"Dia kakak kandung Mama," mendengar itu Bara dibuat mengangguk-angguk sambil melirik Arka yang tengah menatap keduanya bingung.
"Ssttt," Bara kembali menoleh ketika Acha berbicara seperti ... mengodenya?
"Kalau ada kakak itu, kamu panggil Mama dengan sebutan kakak, ya?"
"Kena-"
"Ayolah," bujuk Acha dengan nada memelas. Dengan berat hati Bara mengangguk menuruti kemauan Mommy nya ini. Bara biasa berpikir 'yang anak kecil aku atau Mama?'
"Dia siapa dek?" bingung Arka melihat Acha dan seorang anak kecil itu tengah berbisik-bisik.
Mendengar pertanyaan Arka membuat Acha menoleh dan refleks menegakkan tubuhnya kembali.
"Dia adek teman aku, namanya Bara."
"Ooh, hai dek! Nama kakak Arka, kamu bisa panggil Bang Arka."
Bara hanya diam, tidak berniat membalas, menyapa balik, apalagi menerima uluran tangan Arka. Ia hanya menatap datar orang di depannya ini. 'Gara-gara orang ini aku harus manggil Mama, kakak'- gerutu Bara dalam hati.
"Maaf Bang, dia emang gitu. Tapi kalau udah terbiasa ngak gitu lagi kok. Oh iya, namanya Bara." Acha merasa tak enak, tapi ia juga memakluni sikap Bara.
Dengan kikuk Arka kembali menarik tangannya dengan senyum kecilnya.
"Nggak papah," angguk Arka mengerti,
"dek, kok kamu ada di sini?" bingung Arka.
"O-oh, mm. I-itu ..." sial, alasan apa yah?- umpat Acha dalam hati.
"Eh, itu Bang. Acha datang jenguk teman di sini yang lagi sakit. Tapi ini juga mau balik lagi," lanjut Acha dengan asal.
"Ooh," balas Arka tanpa rasa curiga sedikit pun. Acha yang mendapat respon itu merasa senang sendiri. Lega.
Belum lima detik, ucapan Arka kembali membuat Acha mengumpat kesal.
"Kenapa nggak mampir kerumah dek?"
'Bangsat. Kenapa harus itu sih?' geram Acha dalam hati.
"Ah, i-itu Bang. Ini ...," alasan apa lagi!- greget Acha. Tentunya dalam hati.
"Acha di sini cuma bentar doang Bang. Ini ajah baru 30 menit di Jakarta, terus balik lagi. Besok Acha ada ujian Bang," bohong Acha lagi.
Dan dengan bodohnya, Arka hanya mengangguk saja, dia tidak merasa curiga sedikit pun. Tapi, itu malah membuat Acha senang bukan main.
"Abang kira kamu marah sama kami karena itu kamu nggak mampir," ucap Arka tersenyum kecut.
"Aku nggak akan pernah bisa marah sama kalian. Aku hanya kecewa," balas Acha dengan senyum manisnya dengan kalimat terakhir yang hanya ia ucapkan dalam hati.
Bara hanya diam menatap jengah adik kakak di depanya ini. Terutama Arka. Meskipun belum mengetahui permasalahan keluarga Acha, namun Bara sedikit mengerti arti ucapan Acha yang terakhir itu.
"Kak?" Kali ini Bara angkat suara dengan wajah datar dan nada dingin. Acha mengerti akan kode dari Bara.
"Mm, kalau gitu aku dan Bara pamit Bang. Bentar lagi kami udah mau berangkat lagi." Arka melototkan matanya, dengan cepat ia kembali mendekap tubuh adiknya ini.
"Hati-hati dek, jaga kesehatan. Belajar yang benar, Abang sayang kamu."
"Acha juga sayang Abang." Acha membalas pelukan Bara.
'Maaf Bang, Acha harus bohong'.
*****
Setelah kepergian Cia dari mall tadi, gue juga ikut pergi dari mall itu. Jujur gue senang banget, bisa ketemu sama adek gue. Tapi, saat liat raut wajahnya buat gue gelisah. Dia kayak lagi bohong? Dan lagi nyembunyiin sesuatu? Senyumnya manis bangat, tapi seperti menyembunyikan luka? Ahk mungkin firasat gue aja. Arka menyugar rambutnya kasar.
~~~
"Eh Ar, napa lu bengong mulu?" suara cempreng itu membuat Arka tersadar dari lamunannya. Ia menatap si pelaku yang sudah cengengesan dengan tatapan tajamnya. Itu sahabatnya. Reski, Areski Efraiyen. Sahabat paling absurnya.
"Lo kenapa?" Arka menoleh ke arah sampingnya dimana seorang laki-laki bernama Rama, Brama Hendreyx. Yang berstatus sahabatnya yang absur namun tak seabsur Reski dan kini sedang duduk dengan pandangan ke arahnya.
"Nggak."
"Cerita aja," sahut laki-laki lainnya yang bernama Reska, Areska Efraien, kembaran Reski, yang kini sudah duduk di depannya.
Arka menghela napasnya sejenak.
"Gue ketemu adek gue tadi," ucapnya pelan.
"He?" kompak 3R.
"Bukannya setiap hari lo udah ketemu adek lo?" bingung Rama.
"Bukan yang itu. Na-"
"Lah terus yang mana? Yang ono?" Pertanyaan Reski membuat Arka berdecak kesal.
"Gue punya adek selain Eca. Di-"
"Lah, gimana ceritanya?" tanya Reski yang kini mulai serius namun malah membuat orang-orang yang ada dibuat kesal karena terus saja memotong ucapan Arka.
"Mereka twins. Ta-"
"Lah?" kompak Riski dan juga Rama. Kini Reska hanya menjadi pendengar.
"Ceritanya jangan stengah-stengah pe'a," kesal Riski.
"He taik kuda, lo yang jangan potong omongan gue setan!" greget Arka.
"Eh, salah yah?" watados Reski membuat ketiganya kompak menatap tajam Reski membuat korban mengatupkan mulutnya rapat.
"La-lanjut Bang, lanjut," ucap Reski dengan badan panas dingin melihat tatapan para sahabatnya itu.
"Eca punya kembaran namanya Cia. Dari umur sekitar 7 tahunan dia tinggal bareng Opa dan Oma di Yogyakarta."
Hening. Kini tak ada yang berniat menyela ucapan Arka. Mereka masih menunggu Arka melanjutkan ucapannya.
"Bonyok gue nitip dia ke Opa sama Oma supaya mereka bisa lebih fokus untuk kesembuhan Eca. Awalnya gue tolak mentah-mentah, tapi saat dengar alasannya gue terpaksa ngikut keputusan mereka. Tapi sampai sekarang mereka belum juga ada niat untuk jemput Cia kembali. Alasannya hampir sama. Mereka mau Eca sembuh 100% baru mereka akan menjemput Acha kembali. Dan tadi gue ketemu dia. Kalian tahu gue seneng bangat. Adek gue kembali. Gue bisa ketemu sama dia lagi setelah sekian lama." Kini Arka dengan antusiasnya dan senyum yang mengembang Arka bercerita bahwa ia bertemu adik kecilnya itu.
"Tapi saat liat tatapan dan senyum dia, bukannya tenang gue malah ngerasa bersalah banget," lanjut Arka dengan nada lirih sambil menundukkan kepalanya, senyumnya sudah memudar.
"Itu bukan salah lo. Lo tadi bilang 'kan kalau lo udah sempat nolak,tapi mereka yang kekeuh. Jadi, di sini bukan salah lo sepenuhnya."
Bukannya tenang Arka malah tersentak kaget ketika mendengar suara orang itu. Matanya melotot tak percaya, bahwa orang yang baru saja menenangkannya sambil menepuk pundaknya itu adalah sahabat terabsurnya. Reski?
Merasa diperhatikan, Reski menoleh dan mendapati kedua sahabatnya+kembarannya kini menatapnya.
"Kenapa? Ucapan dedek ada yang salah ya?" tanya Reski memelas, menurunkan tangannya dan bahkan memilin kedua jarinya seperti anak kecil.
'Sial'- umpat ketiganya kesal.
Baru saja mereka akan memuji dan untung saja belum sempat menyuarakannya. Kini mereka merasa ingin menabok muka sahabat gilanya ini.
"Untung gue belum muji elu, Ki," ujar Rama mengatupkan kedua tangannya lalu menggerakkannya dari dada ke depan dahinya sebanyak 3×.
"Emang napa kalau lo muji gue?"
"Gedung markas ini bisa hancur, Ki." santai Rama.
"Maksud lo apa?" sengit Reski.
"Nggak ada tuh."
"Heh?! Lo ngajak gelut? Ayuk dah gue ladenin." Reski melipat kedua lengan bajunya lalu merenggangkan ototnya.
Rama yang tak mau kalah juga mengikuti gaya Reski. Reski yang melihat otot tangan Rama pun menciut. Lah gimana tidak? Ia akui Rama lebih kuat darinya ditambah postur tubuh yang mendukung. Jadi, pastinya ia akan kalah.
"Bang Arka maju."
"Lah??"
*****
Sekarang Acha sedang duduk di balkon kamar miliknya. Ia masih kepikiran soal kejadian tadi siang, dimana pertemuannya dengan Arka.
"Ini gimana? Akh!" erangnya frustasi.
"Apa gue muncul aja di depan mereka?"
"Tapi, kalo mereka...."
"Bodo amat. Yang pasti gue harus muncul di hadapan mereka. Tapi mulainya dari mana? Ish pusing gue," geram Acha bermonolog. Bahkan ia sempat menarik kasar rambutnya di akhir kalimat yang ia ucapkan.
Suara ketukan pintu membuat Acha mengalihkan atensinya.
Tok tok tok
_________________________________________
VOTE☆ AND COMENT💬❤:)!!