Mereka semua meninggalkan balkon untuk menghindari tatapan para elf dan peri yang penasaran. Percakapan baiklah sangat penting dan akan menentukan masa depan Valeria.
"Oke, jadi ... aku dan Cataleah berusaha memecahkan kode itu segera setelah kami menerimanya. Tapi ... Rhedica, bisakah kamu menunjukkan pada kami perkamen aslinya?" ujar Herens.
"Tentu saja!" Rhedica memberikan perkamen itu pada Herens.
"Makasih ... kita butuh api."
"Sebentar." Dairon menyalakan lilin di tangannya. "Ini dia!"
"Hati-hati. Kamu tidak mau membakar perkamennya, kan?" desis Livian.
"Ya, ya, ya."
"Cataleah, lihat. Apa ini seperti yang kamu bayangkan?" tanya Herens.
Cataleah mengamati simbol-simbol yang terungkap dengan cahaya lilin dengan teliti. "Benar, aku 100% yakin. Ini adalah tulisan tangan Ariana!"
"Bagaimana mungkin?" selaku.
"Yah, tentu saja itu wajar! Sama seperti Cataleah, Ariana adalah salah satu Tetua Valeria. Jadi, sudah jelas dia punya akses ke banyak buku dan surat." sahut Livian.
"Lalu, kenapa?" tanya Dairon.
"Dia mungkin menemukan naskah tentang asal-usul tongkat kerajaan, medali, dan pedang itu, dan dia mungkin menggunakan kekuatannya untuk menulis pesan rahasia di perkamen ini."
"Yang ingin aku tahu adalah, apa artinya semua ini?" senggahku.
"Kita hanya bisa menebak-nebak." kata Livian.
"Jadi, Ariana mengetahui sesuatu tentang tongkat kerajaan, pedang, dan medali itu. Tapi, bukannya memberi tahu orang lain tentang informasi itu, dia memutuskan untuk menyembunyikannya di belakang sebuah perkamen?" sela Thalia.
"Kira-kira begitu." sahut Dairon.
"Tenang, kami berusaha memecahkan kodenya. Tapi, isinya masih belum jelas." kata Cataleah.
"Bagaimana mungkin?" tanya Livian.
"Pesan ini tidak lengkap atau terpotong. Ini terjemahan langsungnya: wahai para pemilik tongkat kerajaan, pedang, dan medali ... hati-hati! Meskipun kamu mendapatkan kekuatan hebat, kekuatan itu hanya akan memusnahkan apa yang sudah kamu miliki ... anggap ini sebagai peringatan dan ingatlah bahwa dia adalah penipu dan pembohong karena ..." Cataleah mengamati Rhedica dengan cermat. Dia mengantisipasi reaksi Rhedica. Semuanya terdiam dan fokus pada setiap kata yang keluar dari mulut Cataleah. "Kalimat itu terpotong di sini. Hanya itu yang kita tahu."
"Hmm, jadi kita punya tiga kalimat." lirih Livian.
"Sekarang aku mengerti apa maksudmu terpotong," sahut Thalia.
"Rasanya seluruh bagian teks ini jadi tidak jelas." keluhku.
"Baiklah. Jadi, teks ini adalah peringatan untuk para pemilik artefak sihir." ucap Livian.
"Saat kita menggunakannya, kita mendapatkan kekuatan yang melebihi kekuatan elf dan peri biasa. Jadi, kita mendapatkan kekuatan sekaligus tanggung jawab." timpal Dairon.
"Itu benar. Tapi, bagaimana dengan bagian ... dia adalah penipu dan pembohong." senggah Livian.
"Zaria! Benar, kan? Semuanya cocok!" sahut Thalia.
"Mungkin benar, tapi aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Rhedica, bagaimana menurutmu?"
"Artefak sihir itu berbahaya!"
"Rhedica, artefak-artefak itu sudah diwariskan turun-temurun oleh banyak generasi dan selalu berperan penting dalam mempertahankan Valeria." jelas Livian.
"Aku tahu, tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh. Kurasa ada alasan yang pasti kenapa nenekku memutuskan untuk menyembunyikan perasaan itu,"
"Yang dia lakukan itu tidak ada gunanya! Kenapa menulis peringatan kalau peringatannya tidak akan ditemukan?" geram Livian.
"Yah, semua yang kalian katakan memang masuk akal, tapi yang ingin aku ketahui adalah, kenapa Zaria tahu tentang ini dan kenapa dia ingin menunjukkannya pada Rhedica?" kata Cataleah.
"Tapi, kita tidak yakin apakah Zaria benar-benar tahu tentang teks ini atau tidak. Dia tidak pernah mengatakannya secara langsung. Hanya saja ... kata-katanya membuatku memikirkan kemungkinan itu dan aku tidak sengaja menemukan perkamen ini."
"Apa yang dia katakan?" tanya Cataleah.
"Dia berkata, api bisa mengungkapkan kebenaran dari banyak hal."
"Ya, tapi kenapa?" ulang Cataleah.
"Aku tidak tahu. Kami ada di dataran tinggi di dekat Idrail. Kami bertarung memperebutkan tongkat kerajaan. Dia berhenti saat melihat wajah Idrail di batang pohon dan ..." Rhedica mengingatnya, seluruh pertarungan yang terjadi di hidupnya. Momen saat mereka sampai di dataran tinggi ... mata Zaria penuh dengan kesedihan, melihat wajah Idrail sekilas. "Saat Zaria melihat Idrail, dia berkata, kira-kira ... apa kamu sadar kalau semuanya tidak terlihat seperti kelihatannya? Api bisa mengungkapkan kebenaran dari banyak hal."
"Sadar kalau semuanya tidak terlihat seperti kelihatannya ... apa yang dia maksud?" lirih Cataleah.
Rhedica tidak mendengarkan kata-kata Cataleah. Dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Selamat tinggal di Valeria, dia telah menyaksikan berulang kali bahwa semuanya tidak selalu terlihat seperti kelihatannya. "Ada ritual yang tidak sengaja kutemukan saat membaca buku-buku dan naskah-naskah kuno bersama Livian. Kurasa inilah waktu yang tepat untuk menggunakannya."
oOo
Keputusan sudah diambil, mereka membentuk tiga tim, dan setiap tim mendapatkan tugas untuk memeriksa lokasi tertentu dan menggunakan ritual yang ditemukan Rhedica. Mereka semua akan berangkat saat subuh. Rhedica dan Thalia berkemas di kamarnya.
"Aku tidak mengerti apa yang ingin kamu cari?" gumam Thalia.
"Seperti yang kubilang. Ritual ini digunakan untuk mencari ingatan. Saat pertama kali menemukannya, kupikir aku bisa mencobanya pada orang tua dan teman-temanku."
"Tapi, kamu tahu kalau sihir tidak ada di duniamu, kan?" tekan Thalia.
"Aku tahu, tapi kamu menggunakan sihir untuk membawa kita ke sini."
"Benar. Tapi, apa kamu ingat kalau kita hampir saja tidak berhasil melarikan diri? Duniamu menolak sihirku dan mencoba mengisap kita ke dalamnya."
"Aku tahu. Aku hanya memberitahumu karena aku berpikir seperti itu ... tempat-tempat yang harus kita selidiki sangat penting. Aku yakin kita akan menemukan jawaban-jawaban penting di sana," kataku.
"Bagaimana kalau kita tidak menemukan apa pun?"
"Aku yakin ini akan berhasil. Aku merasa begitu,"
"Yah, kamu benar-benar membuatku kagum dengan tekad dan rasa percaya dirimu belakangan ini. Maksudku, kamu tidak jauh berbeda sebelumnya. Tapi sekarang, sangat berbeda."
"Benarkah? Aku senang kamu berpikir begitu! Aku merasa luar biasa dan merasa sudah melakukan hal yang benar. Ayo, selesaikan berkemas agar kita bisa tidur tepat waktu. Kita akan melalui hari yang panjang besok." kataku.