Dear Readers, Happy Reading 💕
Pov : Jisoo
"Terimakasih ya untuk yang tadi malam." Kata Jen sambil mengecup keningku.
Aku hanya terpaku melongo. Kemudian Jen beranjak ke kamar mandi meninggalkanku masih dalam keadaan polos tanpa sehelai pakaian.
Sudah kesekian kalinya hal ini terjadi padaku. Jen menunaikan kewajibannya saat aku tertidur.
Sungguh aku tak mengingat apa yang terjadi semalam. Jangankan menikmati hubungan intim, merasakanya pun aku tidak. Begitulah keanehan yang kurasakan pada diriku. Hingga aku memiliki 2 anak hal itu masih terus berlanjut.
Setelah semuanya selesai, Jen akan kembali menjadi dirinya lagi. Dingin dan cuek seperti biasa. Sangat berbeda jauh dengan sikapnya yang hangat ketika mengecup keningku di pagi hari.
"Jen, ini kopi dan pisang goreng." Kataku sambil mengusap manja kepalanya. Tetapi kemudian dia tepis tanganku.
Sudah 7 tahun kami bersama. Aku belum juga dapat meluluhkan hatinya. Kami menikah karena dijodohkan. Jen kala itu sedang patah hati, tetapi keluarganya memaksanya untuk menerimaku.
Karena itu selama 7 tahun pula aku bersusah payah mengambil hatinya. Aku urus rumah dan anakku dengan baik. Tak pernah sekalipun aku mengeluh atau menuntut kepada Jen.
Aku hanya ingin mendapatkan hatinya tetapi orang bilang aku seperti budak cinta yang rela melakukan apapun demi Jen.
"Mba Yun, memangnya bisa ya seperti itu?" Tanya ku siang itu pada mba Yuna.
Mba Yuna
Yuna, tetangga dekatku yang rajin mendengar curhatanku.
"Ya bisa lah. Makanya kamu tuh tiap hari jangan borong kerjaan. Jadinya kalau tidur ya kayak kebo" Seloroh mba Yun sambil tertawa.
"Mba. Aku serius loh nanya. Masa di colek pun aku ngga berasa sih mba?"
"Jen-mu itu loh Ji. Diajarin bantu-bantu kerjaan rumah. Biar kamu tuh bisa rileks, bisa peka sama rangsangan. Gimana bisa peka, tiap hari badan kamu kecapean ngurus apa-apa sendirian. Jen taunya makan sama tiduran"
Benar apa yang dikatakan mba Yuna, sejak lahiran anak ke 2 aku sering merasa kelelahan. Sampai-sampai ingin menangis. Keluargaku jauh di kampung. Kalau mereka dekat pasti aku bisa sejenak melepas penat mengunjungi mereka.
Keluarga Jen di sini hanya tinggal orang tuanya saja. Yang lain sudah pergi merantau.
"Eh aku pulang dulu ya mba Yun, Takut si abang nyariin." Kataku pamit teringat anakku yang paling besar, Limario.
"Eh Jisoo, Jangan lupa ya besok pengajian bulanan di rumah bu RT" Mba Yuna mengingatkan ku.
"Baik mba. Aku usahakan datang."
Ketika sampai di rumah aku dapati Limario sedang asik bermain sendiri di depan TV. Dia tidak menyadari aku sempat pergi sebentar.
"Loh bunda dari mana? Abang kira lagi bobo sama adek di kamar" Kata anakku yang masih kelas 1 SD.
Anakku, Limario memang agak sulit konsentrasi. Dia sering mengatakan hal-hal aneh. Menurutku hal itu karena ia sulit memahami sesuatu dengan cepat.
"bunda pergi ke rumah tetangga. Abang ada PR ngga?" Tanyaku.
"Ada." Jawabnya lugu.
"Ayo dikerjakan. Kalo nanti-nanti mengerjakannya takut lupa."
"Kan semalam sudah dikerjakan." Gumam si abang menolak.
"Jangan bohong bang. Bohong dosa loh"
"Beneran bun. Abang ngga bohong kan semalam bunda yang ngajarin" Kata Limario sambil manyun.
Terlihat ia sungguh-sungguh berkata jujur. Aku hanya geleng geleng kepala.
"Coba ambil PR nya. Bunda mau lihat" Perintahku.
Abang Lim terlihat malas-malasan mengambil. Kemudian dia menyerahkan buku PR nya kepadaku.
"Sudah kan bun? Masa bunda lupa"
Aku terkejut bukan main melihat PR abang yang sudah rampung. Kapan aku menemani abang mengerjakan PR? Semalam aku menemani si adek yang sedang rewel di kamar.
Si adek tak berhenti menyusu sampai aku tak bisa beranjak kemanapun. Lalu aku pun ketiduran dan paginya aku bangun dalam keadaan telanjang. Sungguh aneh.
.
.
.
.
"Halo Jisoo. Gimana kabarnya?" Tanya ayah menelpon.
"baik yah. Baru aja semalam Jisoo mimpiin Ayah, Eh tiba-tiba ayah telpon." Kataku senang sekali menerima telpon dari kampung.
Sejak menikah aku tak pernah pulang kampung. Rasanya rindu sekali hingga ingin menangis. Akhirnya semalam hasratku terpenuhi. Semalam aku bermimpi pulang ke rumah orang tuaku.
Aku melepas rindu dengan ayah dan ibu. Aku berkeluh kesah dengan mereka. Lalu siang ini ayah menelponku seperti mendapat firasat tentangku.
"Kita di sini kangen sama kamu Jisoo. Kamu kapan main ke kampung?"
Hatiku terenyuh mendengarnya. Tapi aku tak bisa berkata-kata. Penghasilan Jen untuk makan sehari-hari saja harus ku bantu dengan mengambil cucian tetangga.
Uang yang kutabung tak pernah cukup untuk ongkos mudik. Ada saja keperluan mendadak yang akhirnya harus memakai tabungan mudikku.
"diusahakan ayah. Jisoo masih nabung buat ongkos mudik."
"Jangan ditahan-tahan nak. Kalo memang sudah pingin balik ya kamu harus balik."
Aku tertegun mendengar perkataan ayah. Ayah seolah mengerti benar perasaanku. Meskipun lelah aku memilih untuk menelan bebanku sendiri selama ini. Tak pernah aku berkeluh kesah pada orang tuaku.
"Maksud ayah. Kalo kamu sudah kangen ya segera pulang."
"Iya ayah, Jisoo pasti balik ke kampung. Limario dan Rose juga belum pernah ketemu nenek kakek nya di kampung." Jawabku.
"Salam ya buat cucu ayah. Sering seringlah telpon ayah ibu. Kasih kabar kalo ada apa-apa Jisoo. Sudah dulu ya. Ayah mau ada perlu"
"iya ayah. Sehat-sehat ya ayah ibu. "
Kututup telpon dari ayah sore itu sambil menahan perih di mata. Aku tak mau abang Lim melihatku menangis.
"Siapa telpon?" tanya Jen tiba-tiba sudah pulang dari toko.
"Eh kamu sudah pulang? Kok tumben Jen?"
"Ditanyain kok gak dijawab" Katanya dengan wajah ketus.
"Ayah Jen. Bukan siapa-siapa."
"Oh. Tumben ayah telpon."
Wajah Jen kembali rileks ketika aku menjelaskan. Aku senang sekali mendapati dia agak curiga. Selama ini ia tak pernah terlihat cemburu padaku. Sedangkan aku selalu cemburu padanya.
Aku selalu was-was jika dia dekat dekat dengan wanita. Wajahnya yang enak dilihat membuat hidupku tak tenang. Meskipun sebenarnya Jen tak akan melirik wanita lain.
Karena dia hanya mencintai satu wanita dalam hidupnya dan itu bukan aku tetapi mantan kekasihnya. Suatu saat aku akan menggantikan posisinya dihati Jen. Aku harus terus berusaha.
"Jen, tunggu sebentar ya. Aku masakan air untuk mandi dan buatkan kopi." Kataku segera menyambut dan melayani suamiku yang baru pulang.
.
.
.
.
Malam hari aku memijat kaki Jen sambil mengobrol dengannya.
"Jen. Besok aku diajak mba Yuna ke pengajian. Boleh ngga?" Tanyaku meminta izin.
"Boleh. Asal anak-anak jangan kamu tinggal. Kerjaan rumah juga harus sudah beres."
"Aku titip abang Lim sama ibu boleh? Soalnya abang suka bosan kalau aku ajak."
"Memangnya mengajinya mau berapa lama sampe harus titip abang? Mengaji gak perlu lama-lama bisakan? Ngga usah ikutan ngerumpi dan lain-lainnya kalau memang tujuan kamu mau mengaji. Apa kamu cuma mau ngumpul-ngumpul sama ibu-ibu aja? Mendingan kamu mengaji di rumah dari pada buang-buang waktu yang nggak manfaat" Cerocos Jen.
Aku pun diam tak membantah. Jen tidak ingin aku merepotkan kedua orang tuanya.
"Ya sudah, aku mengaji di rumah saja kalau begitu."
"Kasian ibu dan ayah sudah tua. Jangan biasakan menitip anak. Masih bagus mereka lebih milih tinggal di rumah mereka sendiri. Kalau harus tinggal sama kita kamu pasti kerepotan kan? Oh iya jangan lupa besok kamu mampir ke rumah ibu. Bawakan sembako yang sudah aku beli tadi."
Rasanya mulut ini ingin sekali mengatakan kalau aku juga punya orang tua yang ingin kukunjungi, ingin kuperhatikan seperti dia memperlakukan orang tuanya.
Meskipun aku seorang istri yang harus mengikuti kepala rumah tangga, tetapi tak dapat kupungkiri aku juga seorang anak yang memiliki ikatan batin dengan orangtuaku. Sudah 7 tahun batinku menjerit menahan rindu.
Setelah selesai memijat aku menyiapkan keperluan sekolah untuk abang Lim besok. Aku temani Lim sampai ia tertidur di kamarnya. Barulah aku bisa tidur mengistirahatkan tubuhku. Karena terlalu letih malam itu akupun bermimpi aneh.
Di dalam mimpi aku pergi mengunjungi kampung halamanku seorang diri. Anehnya aku menyadari bahwa ini hanya mimpi.
Aku seperti terbang melesat dalam waktu singkat. Kemudian kembali ke rumah melihat diriku yang tertidur. Tubuhku meringkuk keletihan sementara Jen tertidur pulas di sampingku.
Aku terkejut ketika melihat sosok perempuan bergaun merah sedang mencumbui Jen. Ia memeluk Jen sambil menciuminya. Aku berteriak marah pada sosok itu.
"Jangan ganggu Jen-ku! Siapa kau!" Pekikku
Perempuan itu menjilati leher Jen dengan lidahnya yang panjang. Matanya melotot ke arahku. Kemudian dia terlihat marah lalu terbang melayang menghampiri ku.
Aku ketakutan lalu berusaha bangun dari mimpi yang menyeramkan. Kubaca doa-doa yang kuhafal. Lalu aku pun terbangun dan membuka mata.
Segera aku mengecek Jen. Sosok itu sudah tak ada di sampingnya. Tetapi aku terkejut, sosok itu sudah berada di atas tubuhku. Dia menindihku dan mencekik leherku.
Aku tak bisa nafas. Aku meronta berusaha membangunkan Jen tetapi sia-sia. Kemudian aku sadar aku masih bermimpi. Kemudian aku berdoa lagi agar aku bisa benar-benar tersadar kali ini.
Syukurlah aku bisa tersadar dan mendengar suara ayam yang berkokok~ membuatku bangun dari ranjang dan melakukan tugasku.
.
.
.
.
Bersambung
Jum'at, 27 November 2020
Kembali lagi nih dengan cerita Jensoo yang modelnya kaya begini, hahahaha