Halo semuanya!!😋😋
Hari minggu nih, pada ngapain di rumah?, Atau malah jalan-jalan?😄😄😄
Yang pasti harus menikmati hari libur ini. 😁😁😁
Ok langsung aja
Selamat membaca 😄😄😄
****
××××
Midoriya tersenyum dari kejauhan setelah melihat Nagato mulai berinteraksi dengan anak-anak disana. Meskipun kebanyakan anak-anak itu tidak seumuran Nagato, dan kebanyakan lebih muda. Tapi Midoriya rasa Nagato lebih baik herus bermain dengan anak-anak dari pada berkeliaran sendiri.
"Deku-kun?,"
Midoriya menoleh pada panggilan itu. "Uraraka-san?,"
"Kau tinggal disini?."
"Bagaimana kau bisa sampai kesini?." Mereka berkata secara bersamaan.
"Hahaha," Midoriya tertawa canggung dengan wajah yang merona. Uraraka juga ikut tertawa.
"Bagaimana kita bisa berkata secra bersamaan?. Haha," Uraraka terdiam setelah mengatakan itu.
Hening.
Angin berhembus, meniup sedikit hawa panas menjelang musim panas. Namun ada suasana aneh diantara dua orang yang saling terdiam itu. Keheningan yang canggung.
"B-bagaimana jika kita duduk dulu." Midoriya bertanya dengan gugup.
"Ya tentu. Disana." Uraraka menunjuk kursi taman.
Mereka berdua duduk di masing-masing ujung kursi. Meskipun terasa panas, tapi tempat itu di bawah naungan pohon. Terasa nyaman setiap kali ada angin yang lewat.
"Jadi, bagaimana kau bisa sampai disini Deku-kun?. Apa kau juga tinggal di sekitar sini?." Uraraka bertanya dengan santai. Kakinya berayun-ayun di kursi taman. Terlihat sangat menikmati suasana hari minggu.
Tempat itu tidak sepi dan cukup ramai mengingat itu hari libur. Banyak juga orang yang berjalan-jalan, berolahraga, atau hanya sekedar duduk-duduk santai seperti mereka berdua.
"T-tidak, aku kesini karena alamat dari-" Midoriya seketika menutup mulutnya. Hampir saja dia mengatakan alamat All Might barusan.
Midoriya menyadari jika orang-orang disini tidak ada yang menyadari kalau All Might tinggal disini. Jika Midoriya sampai membocorkannya, lingkungan disini pasti akan sangat heboh. Mengingat All Might masih memegang peringkat sebagai hero nomor satu.
"M-maksudku, aku kesini..., Untuk menemui Nagato-kun." Midoriya dengannragu menjawab.
"Nagato-kun?, villain-, ah, maksudku, anak yang akan kita selamatkan?." Uraraka berbinar. Setelah semenjak kemarahan Aizawa-sensei dulu sebelum magang. Semua orang di kelas sudah setuju dan membulatkan tekadnya untuk membantu menarik Nagato keluar dari kegelapan.
Yah, kecuali dua orang yang pendapatnya dipertanyakan tentu saja. Bakugo dan Todoroki. Jika Bakugo menyatakan akan ikut misi Nagato dengan amarah sehingga ke-iklasannya dipertanyakan.
Sementara Todoroki..., dia berkata seperti ini. "... Akan aku pikirkan." Kemudian Todoroki keluar dari kelas dengan ekspresi biasa. Kata-kata itu artinya iya atau tidak?. Kebanyakan orang masih tidak mengetahui jawaban yang sebenarnya dari kata-kata Todoroki itu.
"Dimana dia?, Nagato-kun?." Uraraka bertanya dengan semangat.
"Yah, dia disana. Aku meminta Nagato-kun untuk bermain dengan anak-anak lain." Midoriya menunjuk taman bermain yang ada di taman itu. Dia merasa agak kewalahan dengan tatapan antisipasi Uraraka.
"Benarkah?, dimana?." Uraraka melihat ada banyak anak-anak yang bermain disana. Karena tidak menemukan sosok anak berambut merah, Uraraka menatap Midoriya meminta petunjuk.
Wajah Midoriya memerah seakan dia kepanasan saat melihat Uraraka menatapnya dengan antisipasi. Karena itu dia melihat sekeliling menghindari tatapan Uraraka.
"Dimana Nagato-kun, Deku-kun. Aku tidak bisa menemukannya."
"I-itu tadi, Nagato-kun ada disana." Dengan kikuk Midoriya juga melihat ke arah taman bermain untuk mencari keberadaan Nagato.
"Midoriya, ternyata kau disini. Dimana Nagato-kun?, ini sudah hampir waktunya makan siang." Grand Torino tiba-tiba muncul di hadapan Midoriya dan Uraraka.
"G-grand Torino!," Midoriya terkejut dengan Grand Torino yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Begitupun juga dengan Uraraka.
"Apa yang sedang kau lakukan disini?, Dengan seorang anak gadis?." Grand Torino memandang Uraraka dengan senyum khas orang tua.
"I-ini tidak seperti yang kau pikirkan, Grand Torino. Aku tidak sedang apa-apa. Kami hanya duduk disini dan bicara." Midoriya menjawab dengan terbata.
"Deku-kun, siapa kakek ini?." Uraraka dengan ramah mengembalikan senyum Grand Torino sebelum berbisik pada Midoriya.
Mendengar bisikan gadis disampingnya membuat wajah Midoriya semakin memerah tomat.
"Y-ya, I-ini Grand Torino. Dia adalah pro hero yang membimbingku saat magang." Midoriya merasa berkeringat deras karena gugup akibat ulah Uraraka.
"Oh begitu?, Maafkan aku sebelumnya Grand Torino. Aku tidak mengenalmu. Namaku Uraraka Ocako, aku teman sekelas Deku-kun." Uraraka mengenalkan dirinya dengan energik namun sopan.
Grand Torino mengangguk. Diam-diam mengamati karakter Uraraka. "Teman sekelas ya?, Baguslah, aku pikir dengan sifat Midoriya, dia tidak akan punya keberanian untuk berteman dengan perempuan." Dengan wajah senyum orang tua tanpa dosa Grand Torino mengatakan itu dengan blak-blakan.
"B-bagaimana mungkin Grand Torino bisa mengatakan hal seperti itu?." Midoriya membantah. Apalagi di depan Uraraka-san. Dia merasa nyawanya berkurang satu.
"Tapi, meski begitu, Aku yakin aku tadi sempat mendengar jika kau yang akan menjaga Nagato-kun sejenak, Midoriya. Sekarang dimana Nagato-kun?. Hmm?," Grand Torino melihat Midoriya dengan senyum yang masih sama. Tapi intuisi Midoriya mengatakan jika senyum itu agak menyeramkan.
"Nagato-kun sedang bermain bersama anak-anak di taman sana." Midoriya menunjuk taman bermain dengan tangannya. Tapi kemudian jari telunjuk yang menunjuk kesana mengendur. Karena tempat itu sekarang kosong.
Dan Nagato sama sekali tidak terlihat disana.
Midoriya tiba-tiba berdiri. "D-dia tadi ada disana!, aku sendiri yang memintanya untuk mencoba berteman dengan anak-anak lain." Suaranya terdengar panik saat menjelaskan.
"Tenanglah Deku-kun, mungkin Nagato-kun ikut terbawa anak-anak lain. Aku tahu kebanyakan anak disana adalah anak panti. Mungkin Nagato-kun mengikuti anak-anak itu ke panti asuhan. Kita bisa mengeceknya." Uraraka mengusulkan.
Grand Torino mengangguk. "Temanmu benar Midoriya, aku akan bertanya pada pengurus panti. Kau mencari di antara anak-anak." Setelah mengatakan itu, Grand Torino melompat pergi.
Midoriya dan Uraraka juga mengangguk lalu menuju ke arah panti asuhan.
Tapi belum sampai mereka disana. Di perjalanan Midoriya dan Uraraka dihentikan oleh seorang anak.
"Tunggu!, Nii-san! Nee-san!,"
Midoriya berhenti dan melihat anak yang memanggilnya.
Seorang anak laki-laki berambut coklat dengan mata orange, Tobi. Anak yang belum lama ini mulai berteman bersama Nagato.
"Nii-san!, tunggu!." Tobi kesulitan mendekati Midoriya dan Uraraka karena membawa Saku.
Kepala Saku menunduk terlihat lemas dan seperti tidak sanggup berdiri sendiri.
"A-apa yang terjadi padanya?. Apa kalian baik-baik saja?." Midoriya pasti juga menyadari kondisi abnormal Saku yang setengah ditahan Tobi supaya bisa berjalan.
Midoriya dan Uraraka mendekati dua anak laki-laki dengan cemas.
"Apa dia baik-baik saja?." Uraraka bertanya dengan prihatin. Matanya juga melihat Saku.
"Nagato!," Tobi berteriak. Mata Tobi mulai memerah dan berkaca-kaca seakan mau menangis.
"Apa Nagato-kun yang melakukan ini?!." Midoriya bertanya dengan ragu saat melihat Saku.
Tapi Tobi menggeleng dengan keras. "Tidak!, bukan Nagato!. Aku tidak tahu mengapa Saku seperti ini. Tapi Nagato memintaku untuk mencari Nii-san!."
"Dimana Nagato-kun?." Meskipun masih belum terlalu memahami situasi yang dimaksud Tobi. Namun prioritas pertama adalah menemukan Nagato segera.
"Nagato pergi mencari Rin-chan!."
"Siapa Rin-chan?." Uraraka bertanya saat mencoba membantu Tobi membawa Saku.
"Teman kami, Rin-chan menghilang!. Kami ingin mencarinya tapi Saku tiba-tiba seperti ini. Jadi Nagato memintaku membawa Saku kembali lalu mencari Nii-san berambut hijau yang datang bersamanya!. Nagato pergi lebih dulu mencari Rin-chan!." Tobi menjelaskannya dengan mata berair seakan mau menangis. Tapi air mata tidak pernah menetes dari matanya.
Midoriya mengangguk. Sekarang dia paham. Saat bermain, Nagato bertemu dengan tiga anak ini. Tapi salah satu anak menghilang, jadi mereka hendak mencarinya. Namun kemudian anak bernama Saku ini tiba-tiba memiliki keadaan seperti ini. Dan Nagato meminta mereka berdua kembali dan mencari Midoriya karena mungkin ini bisa menjadi keadaan mendesak.
"Midoriya, pengurus panti berkata memang ada beberapa anak yang belum kembali. Tiga anak, dua anak laki-laki, satu anak perempuan." Grand Torino tiba-tiba datang dan berbicara.
"Grand Torino," Midoriya mengangguk setelah mendengar Grand Torino. "Mungkin dua anak ini salah satunya."
Grand Torino juga melihat keadaan dua anak laki-laki. Secara khusus matanya menatap Saku untuk beberapa waktu sebelum mengernyit. "Apa yang terjadi padanya?."
"Aku akan jelaskan di jalan. Uraraka-san, bisa kau bawa mereka kembali ke panti?. Kami yang akan pergi mencari Nagato dan anak yang hilang." Midoriya meminta bantuan.
Uraraka mengangguk. "Serahkan saja mereka berdua padaku."
"Ke arah mana Nagato pergi?." Midoriya bertanya pada Tobi.
"Kesana," Tobi menunjuk ke arah jalan keluar taman. Jika tidak salah, tempat itu menuju distrik perumahan kelas menengah.
"Ayo Midoriya," Grand Torino melompat pergi lebih dulu.
"Baik, Uraraka-san, tolong jaga mereka." Midoriya berpamitan kemudian menggunakan one for all dan mengikuti di belakang Grand Torino.
"Apa anak yang hilang itu ada hubungannya dengan Nagato-kun?." Dalam pencarian Grand Torino menyempatkan bertanya.
"Tidak, bukan seperti itu. Tapi memang ada hubungannya dengan Nagato-kun." Midoriya kemudian menjelaskan apa yang sudah dipelajarinya melalui informasi yang didapat dari Tobi.
Grand Torino juga mulai mengerti. "Begitu?," Tapi dia masih agak ragu dengan Nagato. Apa anak itu benar-benar mulai berubah?.
*Braak!
Setelah menyusuri beberapa gang. Grand Torino dan Midoriya mendengar suara keras. Kedua orang itu mengangguk lalu menuju pusat suara.
Dalam jalan kecil yang berada diantara dua gedung. Ada banyak debu yang berterbangan. Tapi kemudian ada sebuah hembusan angin kuat meniup debu itu hingga bersih.
Grand Torino dan Midoriya tiba di tempat itu tepat pada saat debu tertiup angin kuat hingga bersih. Mereka langsung terkejut begitu melihat pemandangan di depannya.
Ada seorang pria yang terpaku di tanah dengan wajah ketakutan. Dan di atas pria itu, anak berambut merah yang sejak tadi mereka cari. Nagato, dengan batang besi khas miliknya tergenggam di tangan kecilnya. Mengarahkannya pada leher pria itu.
"Nagato-kun!, Hentikan!." Secara refleks Midoriya berteriak.
Midoriya melihat Nagato perlahan menoleh padanya. Dia berada di sisi kiri Nagato, sehingga saat Nagato meliriknya.
Hanya mata rinegan yang dingin dan menyeramkan yang bisa dilihat Midoriya.
Midoriya tersentak melihat tatapan yang dingin itu.
....
Satu jam yang sebelumnya...
"Heh, anak banci sepertimu memang bisa bermain basket?." Ichi menyilangkan tangannya dengan wajah sombong.
"Bagaimana jika Kita buktikan saja. Tidak perlu banyak bicara." Nagato mulai mendribble bola menuju lapangan yang terdapat ring basket anak-anak.
Bola ini terlihat kecil untuk ukuran bola asli. Tapi ukuran ini jelas sangat cocok untuk anak-anak seumurannya.
Nagato bisa merasakan sensasi akrab saat tangannya memainkan bola. Sensasi yang sama saat dia berlatih dengan teman-temannya di dunianya dulu.
"Ayo maju, kalian semua bisa maju bersama-sama. Satu lawan lima, aku tidak keberatan." Nagato menantang.
"Oke, Jangan menangis dan menyesali perkataanmu ini anak banci." Setelah mengatakan itu Ichi bersama empat temannya menuju Nagato.
Keterampilan anak-anak yang belum berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan bisa sama dengan keterampilannya yang sudah jelas berpengalaman.
Dengan mudah Nagato mengelak dan memasukkan bola ke dalam ring. 2, 4, 6, poin milik Nagato terus bertambah.
"Kau bahkan tidak bisa merebut bola dariku." Nagato tersenyum lalu menerjang maju lagi.
Melewati kiri, kanan, berputar. Setiap celah yang dibuat Ichi dan teman-temannya dimanfaatkan Nagato dengan sebaik mungkin untuk mencetak poin. Tidak menyisakan satu pun kesempatan bagi lawannya.
"Hebat!, Nagato-kun terus maju!."
"Hajar mereka teman!!."
"Itu baru temanku!!."
Nagato juga bisa mendengar sorakan dari Rin, Tobi, dan Saku dari pinggir lapangan.
Nagato berhenti menyerang dan hanya mendribble bola. Dihadapannya sekarang ada Ichi yang terengah-engah karena kesulitan mengikuti gerakan Nagato yang jelas terampil.
"Aku rasa kata banci lebih cocok untukmu dan kelompokmu. Ichi, bukan?. Tapi sayangnya kau jelas bukan nomor satu dalam permainan ini." Nagato tersenyum sebelum melakukan shoot three point.
Lemparan three point melengkapi skor Nagato hingga genap 40.
"Woohoo!, itu hebat!, Nagato!. Aku tarik kata-kataku tentang yang menyukai warna merah itu jelek!. Tapi aku tidak akan menarik kata-kataku pada Saku!."
"Hei!, Kau ingin berkelahi!."
"Kalian berdua!, Hentikan!."
Nagato mendengar keributan tiga orang anak di pinggir lapangan saat melihat Ichi yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Sekarang siapa yang banci. Kau bahkan hampir menangis sekarang." Mungkin Nagato sekarang terlihat seperti anak nakal yang sedang membully anak lain.
"Kau, kau yang banci!, Aku tidak banci!, Aku tidak menangis!." Ichi berteriak lalu berlari sambil menutupi wajahnya. Anak itu bahkan lupa untuk membawa bolanya. Teman-temannya yang lain juga mengikutinya dengan ragu.
Lari sambil menangis setelah kalah. Itu adalah perilaku khas milik anak kecil.
Nagato menarik nafas dalam. Kenapa juga aku meladeni anak kecil?.
"Nagato!, Itu permainan yang hebat!."
"Dari mana kau belajar?."
Rin, Tobi, dan Saku menghampiri Nagato saat gerombolan Ichi pergi.
"Aku hanya sering memainkan ini." Nagato menjawab setengah benar.
"Itu keren!, lain kali ajari aku dan Saku!." Pinta Tobi. Nagato hanya mengangguk mengiyakan.
Kemudian Tobi terus mengoceh sementara Saku terus mengangguk setuju. Nagato mendengarkan mereka dengan kosong. Karena kebanyakan yang dikatakan Tobi hanya omong kosong anak kecil. Yah, Nagato bisa memakluminya karena pada dasarnya mereka memang bocah. Tidak seperti Nagato yang mempunyai pikiran dan mental dewasa.
"Sebentar lagi makan siang. Aku akan membereskan peralatan Kita. Kalian tunggu aku disini ya?. Tobi-kun, Saku-kun, Nagato-kun."
Nagato hanya mengangguk pada perkataan Rin dan terus mendengarkan Tobi yang masih tidak berhenti.
"Apa kau sudah selesai?. Ayo bantu Rin-chan." Bahkan Saku yang tadinya mengangguk setuju terus lama-kelamaan juga merasa jika Tobi itu sangat berisik.
"Ayo pergi." Tanpa menunggu jawaban Tobi, Nagato berjalan pergi setelah mengatakan itu. Saku juga mengikuti di belakangnya.
"Hei!, kalian meninggalkan aku?." Tobi juga mengikuti.
Namun di bagian kotak pasir, tidak ada Rin disana.
"Dimana Rin-chan?." Tobi yang datang terakhir bertanya.
"Apa Rin pergi lebih dulu?." Nagato berpendapat.
"Mana mungkin!." Tobi membantah.
Saku mengangguk. "Rin-chan selalu menunggu Kita. Dia tidak pernah pergi lebih dulu."
"Tapi barang-barang kami juga masih disini. Rin-chan biasanya juga membereskan milik Kita." Tobi menggaruk kepalanya saat melihat kotak pasir yang berantakan karena pertengkaran tadi. "Apa Rin-chan pergi ke kamar mandi?."
Saku menggeleng. "Aku yang akan mencari tahu." Dia kemudian berjongkok dan menyentuh peralatan yang berantakan di atas pasir sambil menutup matanya.
"Apa yang dia lakukan?." Nagato bingung dengan perilaku Saku.
"Ini quirk Saku!, Documentary!. Dia bisa melihat adegan sebelumnya dari tempat ini dengan menyentuh barang yang ada disini. Itu terdengar keren!. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari mata Saku!." Tobi menjelaskan dengan semangat.
Hm, itu quirk yang sangat berguna. Dia bisa bekerja sebagai penyidik kepolisian saat besar nanti. Nagato bisa memperkirakan masa depan cerah milik Saku saat besar nanti.
Saku kemudian berdiri setelah berjongkok sejenak.
"Bagaimana?." Nagato bertanya.
"Rin-chan dibawa pergi." Saku berkata sambil mengerutkan kening.
"Seorang pria asing." Saku menatap Nagato dan Tobi dengan masih mengernyit.
"Rin-chan mungkin diculik!."
.....
Tbc
***
Mungkin Kuru gak bisa double up, tapi kalau liburnya agak panjang sih🙄🙄 mungkin bisa kali ya? Hehe😅😅
Hayo~ siapa yang nungguin hari senin?😋😋😋
Karena Kuru juga😣😣😣 Yang sabar ya sehari lagi kok😌😌😌
Tetap sehat dan jangan lupa makan ya!!😄😄😄