A HALF HEART

By karizka94

2.9K 422 197

Hati mendesaknya untuk menjatuhkan pilihan, antara memendam lara atau menelan pahitnya menjadi orang ketiga... More

❗ATTENTION❗
INTRO
TRAILER
OUR VISUALISATION
1. Gia and Life
2. Oh My God!
3. Cowok kayak gitu jangan dianggurin!
4. Good and Bad Guy
5. Keberuntungan Beruntun
7. Antarez
8. Nirena dan Eza
9. Kerja, Keja, Ngebucin
10. Kalau Baper Sendiri Kan Nyelekit!
11. Takdir Yang Mempertemukan Kita
12. Tumbang
13. Bad News
14. Bohong Sedikit Banyak
15. Lihat-lihat
16. Ketemu
17. Rena, Eza, Gia
18. Shick Shack Shock!
19. Affair
20. Kejadian Hari Itu
21. Diantara Dua
22. Jebakan
23. Panik
24. Hancur

6. Ngedate bareng idola?

184 26 15
By karizka94

«

       CHAPTER 6 : Ngedate bareng Idola?

                           »


¦
~
¦

Gia berkali-kali memegangi dadanya yang berdentum tidak karuan, setelah mendapat tugas pertamanya, Gia tak ingin membuang waktunya untuk bersantai. Dia segera mengeksekusi naskah milik Antarez, setelah hampir dua minggu membaca dan menandai, memastikan tidak ada satupun yang terlewat, Gia memberi tahu Jane kalau naskahnya sudah selesai dan malah diberi tahu kalau Antarez sekarang mengadakan fansign di salah satu grand opening toko buku. Jehan yang kebetulan mendengar, segera melempar tugasnya untuk menjemput Antarez kepada Gia.

"Tenang Gia!" Bisik Gia pada dirinya sendiri. Sambil mencoba mengecek kembali pekerjaannya.

Tentu saja dia bisa berdiskusi secara online, tapi kata Jane, Antarez lebih suka diskusi secara langsung. Ini tak aman untuk kesehatan jantung Gia, jantungnya bisa meledak jika dibiarkan berdekatan dengan Antarez.

Lihat saja, senyumnya saat berhadapan dengan penggemar itu menghanyutkan sekali. Di balik kacamatanya, garis bulan sabit, senyum secerah mentari paginya menyilaukan mata. Ahh Gia mau pingsan! Eh tapi dia harus waras, dia datang dengan name tag sebagai staff disini.

Fansign selesai pukul setengah tiga, Antarez kelihatan capek dan senyumnya pudar, pasti lelah sekali senyum dari pagi sampai sore begini. Gia segera maju menghampiri, "Siang kak Arez, Pak Jehan ada meeting, saya di utus buat menggantikan beliau." Ia tidak tega juga mau mengatakan sekaligus diskusi karena ia editor baru.

Sementara Antarez nampak mengernyitkan keningnya, "Tunggu, kayak pernah tahu? Kamu bukannya yang sering datang ke fansign ya?"

Aduh, dinotice idola sendiri. Meleleh sekali, rasanya Gia sudah terbang tinggi dan tidak ingin dijatuhkan oleh kenyataan. "Ah, iya kak. Saya kemarin yang nggak sengaja rusakin HP kak Arez di kantor penerbitan."

Raut Ares nampak antusias, "Oooohhh! Wow, selamat!" Ia lalu sadar, teringat kalau waktu itu Gia baru interview, mengingat sekarang Gia utusan Jehan, berarti sudah resmi menjadi pegawai.

"Terima kasih kak. Sebenarnya saya yang pegang naskah kakak, cuman kalau kak Arez lagi capek kita bisa diskusi lain waktu."

"Naskah saya? Haze?" Tanya Arez.

"Iya kak, kak Jane kasih saya kepercayaan untuk menyulap naskahnya Kak Arez."

"Wow, kalo seorang Jane Ruslan udah lampu ijo, berarti keren banget nih."

"Jangan gitu kak, nanti saya kegedean kepalanya."

Antarez tertawa, "Ya udah ngobrol sambil makan yuk! Soalnya saya lapar banget."

"Bohong kalau saya bilang nggak laper juga setelah nungguin kak Arez dari tadi."

Arez tertawa, "Kamu bawa mobil kan?" Kalau menggantikan Jehan sih harusnya iya.

"Saya bawa kok kak, mau pake mobil saya?"

"Saya mana pernah bawa mobil sendiri kalau acara." Ares menunjukkan cengiran.

"Ahh begitu. Ya udah, hari ini Gia yang supirin kak Ares, mau makan dimana kak?"

"Ohh kamu ada saran enggak?"

"Deket sini ada rumah makan masakan padang yang enak, itu kalau kak Arez mau. Ada Resto yang lumayan juga."

"Ohh boleh tuh, ada sate padangnya nggak?"

"Ada kok, biasa saya langganan disana kalau abis pulang kuliah."

"Okke gass!"

Gia tak mengira Arez bisa sesantai itu padanya. Gia pun jadi terbantu, dia tidak perlu canggung lagi. "Saya nggak ikut fansign kali ini, sayang banget sih." Ujarnya memulai obrolan saat mereka sudah berada dalam perjalanan menuju rumah makan padang.

"Loh iya saya cari-cari tadi tuh, yang punya eye smiled paling cantik kok nggak dateng."

"Bisa aja kak Arez mah. Kemarin war bukunya kak Arez nggak kebagian."

"Loh kok bisa?"

"Hpnya abis batre pas lagi war. Pas pinjem punya temen baru mau ngisi form udah ludes aja."

"Ya ampun." Antarez tertawa, lelaki itu kemudian membuka ranselnya, mengeluarkan satu buku yang sudah tidak bersegel plastik. "Aku punya kebiasaan baca ulang pas udah di launching, ini buat kamu aja!"

"Hah? Serius kak buat saya?"

"Serius, atau mau yang baru? Ada di apartemenku."

"Eh, nggak usah kak. Itu aja, makasih banget. Jadi nggak enak deh."

"Santai aja, aku senang kamu baca ceritaku."

"Makasih kak, oh iya. Boleh nggak nanti saya mau pake novelnya Kak Arez buat skripsi?"

"Waduh itu sih namanya suatu kehormatan."

"Saya tuh lupa mulu mau izin kak Arez, tapi kalau izin lewat DM pasti sangat minim buat kebaca."

"Sebenarnya kamu boleh tanpa harus izin langsung ke penulisnya."

"Iya sih kak, cuman nggak enak aja kalau belum izin."

Antarez tertawa, "Terus kalau misalnya kamu mau buat skripsi dari ceritanya J.K Rowling kamu harus terbang ke Inggris, gitu?"

"Iya juga ya. Agak bego emang kak."

Arez tertawa lagi, kali ini sambil bertepuk tangan tanpa sadar. "Kamu tuh lucu banget sih Gia!"

"Emang umur segini lagi lucu-lucunya."

"Bisa aja kamu!" Antarez makin terhibur, rasa lelahnya hilang berkat Gia.

Gia memarkirkan mobilnya di depan rumah makan masakan padang langganannya. "Sudah sampai. Untung deh nggak terlalu ramai, Kak Arez mau meja yang vip nggak?"

"Nggak usah, nggak semua orang kenal kok, kan bukan artis." Antarez memang hanya terkenal di kalangan pecinta novel saja, bagi khalayak umum dia hanya orang biasa.

"Kali aja nanti direbutin ibuk-ibuk yang pengen nyari menantu."

"Nggak deh, nanti aku digantung sama camer."

Gia tertawa, dia sedikit tertohok mendengar itu. Namun, siapa Gia yang berhak untuk menuntut sesuatu pada Antarez.

"Ayo kak!" Gia turun lebih dulu.

Antarez turun dari mobil, mereka memesan makanan, sembari menunggu pesanan datang, cukup banyak obrolan santai yang tertukar. Keduanya memiliki selera jokes yang sama sehingga membuat mereka mudah akrab satu sama lain.

-o0o-

Bekerja itu kalau udah passion-nya, hidup jadi terasa mudah dan ringan. Kalau seperti ini Gia tidak ada bosannya. Bagaimana dia bisa bosan kalau naskah garapan pertamanya adalah milik Antarez, naskah bertajuk 'HAZE' itu berkisah tentang seorang pengidap kanker otak yang bertemu dengan cinta lamanya, lalu mereka berdua berjuang untuk menyelesaikan konflik bersama sebelum si tokoh pria direnggut bom yang bersarang di kepalanya.

Genre romance selalu menjadi best seller dari buku-buku Antarez. Pria itu pandai membuat konflik yang oustanding dan sangat jungkir balik, mampu mengaduk perasaan dan menguras emosi. Tapi jujur, kalau Gia pribadi, dia suka cerita apapun yang ditulis oleh Antarez.

Sejak keluarganya terpecah belah, mamanya meninggal dan papanya yang---yah begitulah. Berkat buku-buku Antarez, Gia bisa melewati waktu sulit dalam hidupnya. Gia menjadikan kepedihan dari kisah tragis dalam novel-novel Antarez untuk melampiaskan tangisnya, membuat Gia merasa ia sudah melepaskan satu masalah kehidupannya setiap menuntaskan satu bacaan.

Jemari Gia bergerak di atas keyboard, sesekali menandai saat menemukan bagian yang kurang luwes dan harus di perbaiki. Gia bisa merasakan perasaan yang mendalam tertuang di dalam cerita Antarez, perasaan cinta yang kuat, bahkan takdir yang tidak bisa memutus cinta si tokoh meski konflik kehidupan mereka begitu berat.

Gia mengucek matanya, sudah cukup lelah. Sebelum pergi membersihkan wajahnya dari sisa make up, Gia melihat banyak pesan yang masuk ke ponselnya, paling banyak dari Wen yang lagi-lagi tentang Gusti.

"Dasar!" Mengurungkan niatnya ke kamar mandi, Gia merebahkan diri ke sofa lalu menghubungi Wenanda, dia butuh asupan cerewet Wen yang belum dia dengar hari ini.

"Gi! Mampuusss, si Gusti kenapa makin hari makin mempesona aja sih? Bikin hati hayati nggak kuat aja." Baru juga tersambung Gia sudah mendapatkan sambaran teriakan pujian Wenanda terhadap sosok bernama Gusti. Ya, kalau dipikir-pikir sih Gusti emang ganteng, tidak heran kalau Wenanda tergila-gila sama manusia satu itu. Sama halnya dengan Gia yang tergila-gila dengan Antarez mungkin?

Gia mendecak menanggapi Wenanda yang sedang asik dengan euforianya di seberang sana. "Kalau nggak kuat sumbangin aja, donorin! Banyak tuh yang butuh donor hati."

"Gila! Lo mau kehilangan temen yang langka kek gue? Nggak yakin lo bisa bertahan hidup tanpa gue." Ucapan Wen cukup membuat Gia tertohok, pasalnya yang selama ini membantunya bertahan ya memang Wenanda, jadi wajar jika Wen sepercaya diri itu.

"Idihh, dah lah. Btw, Wen kenapa sih Antarez itu kalau bikin cerita, nggak pernah nggak bagus, bisa masuk ke jiwa dan sanubari gitu looh! Otaknya terbuat dari apa ya?" Mengalihkan topik dari Gusti, kini giliran Gia yang memulai sesi perbucinannya. Yang menjadi lawan bicara pun mendecak mendengarnya, sebenarnya mereka berdua ini sama saja. Bedanya, kalau Wenanda masih mungkin untuk bisa bersama Gusti, sedangkan Gia sangat tidak mungkin bisa menggapai Antarez, benar-benar tidak mungkin.

"Mulai deh, mulaii! Dasar, bucin!" Wen mengolok Gia, tak sadar dengan dirinya sendiri yang sama saja.

"Ngaca sista! Tapi Wen, kayaknya gue pake hoki gue seumur hidup gue dengan diterima kerja di HS dan dapet naskahnya Antarez deh, hoki gue habis disini keknya, tapi jangan dulu deh, Jeno masih mau kuliah." Kalau saja Wen dekat dengan Gia, pasti Wen sudah menoyor kepala temannya itu keras-keras agar sadar diri.

"Mampuss loh! Tapi kayaknya nggak lah, Gi. Secara kinerja lo emang bagus dan otak lo juga mumpuni, jadi ya hoki lo nggak semuanya lo pake. Lagian penerbit gede kayak gitu pastinya juga nyari yang terbaik, nggak mungkin mereka asal pilih aja."

Gia mengangguk-anggukan kepalanya mendengarkan serentetan apa yang Wen katakan. Ada benarnya juga, mungkin berkat suka membaca juga dia jadi bisa lebih memahami alur dan seluk beluk kepenulisan, walaupun jika dia diminta untuk menulis cerita belum tentu Gia bisa dengan mudah menyelesaikannya. Pasti dia butuh berbulan-bulan atau bahkan tahunan untuk menyelesaikannya.

"Tumben banget related ngomongnya? Tapi kenapa skripsi gue nggak kelar-kelar ya? Masa iya gue harus pinjem otaknya Nathan?" Mengingat tugas pentingnya Gia ingin sekali menjedotkan kepalanya di dinding. Namun, sayangnya Gia masih butuh kepalanya untuk bekerja, mau makan apa nanti kalau kepalanya makin kosong setelah dia jedotkan?

"Ceileh, Nathan nih, Nathan! Lampu ijo, nggak nih?" Wen melayangkan godaannya. Harusnya Gia tidak menyebut nama satu itu, Wen kan orang garda terdepan yang mendukungnya bersama Jonathan.

"Apaan sih? Orang cuman nyebut namanya doang." Elak Gia tak terima, dia bisa mendengar gelak tawa Wen di seberang sana. Gia pun mendengkus, lagi-lagi Wenanda jadi menyebalkan.

"Iya-iya percaya, dikasih lampu ijo juga nggak apa-apa, Gi!"

"Nggak ada ya!" Gia memekik kesal, membuat tawa Wen kembali berderai.

"Aduuhh, parah lo, Gi! Eh, besok shoping yuk! Gabut gue di rumah, lo free kan besok? Apa mau ke kantor?" Obrolan keduanya berlanjut dari yang berawal bucin, menjadi saling ejek dan berlanjut dengan topik-topik tidak penting lainnya.

Calon ibu-ibu emang begitu yagesya?

Selamat malam wahai penghuni lapak🙏
Buat pembaca lama, aku lupa nih kemaren versi lama sampek chapter 6 gak si?
Tapi serius, kalian lebih suka versi lama atau versi baru?
Kayak bener-bener nggak ada yang sama ya? Wkwkwkwk

Dah laahh, happy friday night!

Continue Reading

You'll Also Like

2M 159K 52
[Ganti judul dari I'm Not Your Wife jadi Second Life Of Selena] Ini hanya cerita fantasi karangan author, tidak ada sangkut pautnya dengan dunia nyat...
15.7M 183K 31
" Aku bisa membantumu, tapi dengan satu syarat. " Harva " Mm..Apa syaratnya? " Nesha " Layani aku setiap aku mau dan selama masa kuliah kita. " Harva...
199K 25.9K 33
"Hampir setahun tanpa gue, gimana rasanya?" Sequel ff idol. Warning gxg! harsh words © ddeulgisoo, 2018