Siap ketemu Vee dan Chaerul Saleh?
Siap ketemu Farah dan Chairil Anwar?
Siap ketemu Pipit dan Sodancho Supriyadi?
Siap ketemu Nafla dan Mohammad Hatta?
SIAP RAMEIN LAPAK BATAVILOVE?!
Budayakan vote dulu sebelum baca, sebagai readers yang budiman. Semisal masih menemukan typo, kami mohon maaf karena manusia tidak luput dari kesalahan. Bedakan kritik dan nyinyir. Salam akal sehat!
MERDEKA🇮🇩
°°°
Farah dan Vee menatap tak percaya pada orang di depannya yang bernama Soekarno. Farah, cewek itu menyenggol lengan Vee yang sempat terbengong.
"Vee, itu serius Soekarno Presiden pertama Indonesia?" tanyanya berbisik.
"Nggak tahu juga gue, gue nggak yakin. Masalahnya, nih Bapak Soekarnonya masih muda. Beda banget sama yang sering gue liat di versi ahjussi,"
Farah mengangguk setuju, "Nanti kita nyari kepastian! Biar pikiran kita nggak digantung sama ekspektasi yang belum jelas,"
"Bahasanyaaa. Sa ae ah lo," Vee malah tertawa seraya berjalan masuk ke dalam beriringan dengan Farah.
Keempat orang penting Indonesia itu menatap Farah dan Vee bergantian. Mereka merasa aneh, mengapa Farah dan Vee tertawa padahal tidak ada yang lucu.
Sebelum dipersilakan duduk oleh sang tuan rumah, Vee dan Farah sudah duduk terlebih dahulu.
"Yang aus, yang aus ...." Vee mengipas-ngipaskan tangannya karena merasa gerah setelah maraton dadakan tadi.
Farah menyenggol kaki Vee sedikit kencang, "Lo kayak orang miskin aja dah! Minum pake minta segala,"
Soekarno sedikit tertampar dengan ucapan Farah, padahal Farah tak bermaksud demikian, "Maafkan saya karena tidak menjamu kalian. Sebentar,"
Sedetik dari itu, Soekarno memanggil pembantu rumahnya, Sarinah. Pembantu rumah mereka datang menghampiri tidak sendiri. Wanita itu bersama seorang wanita lain yang menggendong Anak.
"Siapa dua wanita ini, Mas?"
Vee dan Farah saling melirik saat melihat wanita yang menggendong anak tersebut. Tiba-tiba Vee berdiri, "Kami bukan orang Londo, serius! Daritadi banyak orang yang ngira kami Londo. Capek kuping saya dengernya," Vee mengorek telinganya.
"Jijik anjim!" Farah menurunkan tangan Vee yang mengorek telinganya.
Chaerul menahan tawanya, sedangkan Chairil menutup setengah wajahnya dengan telapak tangan karena menahan tawa yang sedikit berbeda dari Chaerul.
Soekarno hanya tersenyum mendengar ucapan Vee, "Mereka para pendatang dari luar Jakarta, Fatma. Mereka hampir menjadi tawanan Nippon. Beruntung Bung Chaerul dan Bung Chairil yang menyalamatkan."
"Halahhh, itu juga terjadi karena perbuatan mereka! Membuat ricuh! Memancing amarah para cecunguk Nippon! Sebenarnya sia-sia saja buat ditolong!"
Serentak mata semua orang yang berada di ruangan itu beralih ke Sutan Syahrir. Ucapannya barusan berhasil menyinggung perasaan Vee dan Farah.
"Maksud lo apa ya, ngab?! Anda dari tadi ngegas mulu perasaan!" Vee langsung berdiri, menunjuk Sutan Syahrir tajam. "Iri? Bilang bos! HaHaiiii! Pa pale pa pale papale pa pale paleee..."
Bugh!
Sebuah bogeman mentah, Vee terima dari Farah yang tiba-tiba memukul kepalanya tanpa belas kasih. Vee mengaduh kesakitan. Mengusap kepalanya, seraya menatap Farah emosi. Salah dia sendiri, yang malah joged-joged tiktok. Padahal situasi sedang serius.
"Bisa ndak kau serius sekali aja, dodol? Jangan sampai tanganku ini melayang ke kepala kau ya!" ancam Farah serius. Mendadak wanita itu berbahasa batak medok, menunjukkan tangannya yang terkepal.
Farah kembali menatap Syahrir. "Gini loh, Pak, Mas, Bang Jago. Kami ini sedang membela orang yang ditindas. Apa gunanya sila ketiga di pancasila yaitu persatuan Indonesia? Bersatu pas ada yang send link doang! Mana yang katanya Negara Kesatuan Republik Indonesia?! Yang suka teriak-teriak NKRI harga mati! Percuma negara kita dapat gelar negara plus enam dua. Negara yang dikenal dengan kebar-barannya, tapi lembek pas dibentak sama kloningan pokemon!" pidato Farah panjang lebar, berhasil menghipnotis semua orang terutama Chairil Anwar.
Tapi, perasaan kagum mereka semua, dikalahkan oleh rasa heran sebab pidato Farah sempat memberi petunjuk tentang kemerdekaan Indonesia. Hanya Vee yang sadar atas kesalahan Farah itu.
"Heh, Far! Kenapa lo spoiler, tolol!" bisik Vee. Matanya melirik panik orang-orang yang sudah berekspresi kebingungan.
"Oh, iya, yak?! Aishh, santuylah! Mereka gak akan sadar!" bisik Farah balik, mengibas tangannya acuh.
"Aku suka pidato gadis itu, Bung. Berapi-api. Bisa dijadikan inspirasi tulisanku kedepan." bisik Chairil, layaknya Vee dan Farah di seberang.
"Bung suka pidatonya, atau gadisnya?"
Seketika Chairil terbelalak oleh ucapan Chaerul yang sebenarnya cuma bercanda.
"Aku bilang pidatonya, Bung. Bukan gadisnya! Mana mungkin aku menyukai gadis yang baru ku kenal. Terlebih gadis aneh semacam dirinya." Chairil membuang muka, ketika ucapannya merujuk pada Farah. Menunjukkan ia benar-benar tidak minat dengan Farah, seperti apa yang Chaerul tuduhkan.
"Hahaha, santai, Bung. Aku hanya bercanda tadi. Mengapa Bung nampak emosi sekali?"
Chairil memutar bola mata malas. Ucapan Chaerul, tidak Chairil beri balasan.
"Apa maksudnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia?" tanya Syahrir curiga.
Vee melototkan mata. Ia menyikut Farah pelan. "Mampos! Kan gue udah bilang, Far!"
"Hih, diem deh lo! Dari pada nyalahin gue, mending lo bantu gue!"
"Bisa jelaskan kepada kami, Nona-nona? Apa maksud Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Anda maksud? Saya sebagai penyambung lidah rakyat, tidak pernah menyebut Indonesia sebagai negara yang namanya Nona sebutkan tadi. Tolong jangan menyebar hal yang menyebabkan kemarahan Jepang lagi." kali ini Soekarno ikut andil berbicara. Membuat Farah bertambah cemas. Apalagi raut wajah Bapak Proklamator itu terlihat tidak senang.
"Hayoloh, Far... Ha, ha, ha, tak tahu."
"Bisa diem gak sih, lo!" bentak Farah geram, lantaran lagi-lagi Vee memojokkannya. Farah meneguk saliva susah payah, menatap Soekarno di depan. "It... Itu, Pak. Anu... Indonesia..."
"LONTOONGG! EH, TOLOL! EH, MAKSUDNYA TOLOONGGG!"
Teriakan seseorang mengintruksi mereka semua. Pipit datang dengan tergopoh-gopoh. Wanita itu datang tidak sendiri. Di belakangnya, ada seorang pria yang membawa koper-kopernya.
"PIPIT!" seru Vee dan Farah serempak. Mereka langsung mendekati Pipit.
"Alhamdulillah yah sesuatu! Ternyata lo gak meninggoy! Gak jadi deh, makan rendang malem ini." kata Farah tidak ada akhlak.
Sejurus dari itu, Pipit melayangkan pukulan di lengan Farah. "Kurang ajar, lo! Gue gak mau rendang, gue maunya dendeng balado!"
"Wanjer!" umpat Vee. Ia sangka Pipit akan marah.
"Duduk dulu, Bung." suruh Chaerul, menyediakan satu kursi kosong untuk Supriyadi yang baru datang.
"Terima kasih, Bung."
"Ternyata Bung bersama wanita yang lainnya. Ku pikir, Bung bersama Bung Syahrir dan Bung Karno di sini." ujar Chaerul yang dua detik dari itu disusul lontaran pertanyaan Chairil Anwar.
"Bagaimana ceritanya Bung bisa bersama wanita itu?"
Mendapati pertanyaan Chairil, Supriyadi menghela napas berat. "Ceritanya panjang dan sangat melelahkan."
"Kita sama-sama kelelahan di sini." sela Chaerul Saleh. Kakinya mati rasa, akibat berlari menghindari pasukan Nippon.
Pandangan Soekarno mengedar ke segala arah. Tampak mencari-cari kehadiran seseorang. "Di mana Bung Hatta?"
"Bukannya dia bersama, Bung?" Syahrir menyahut. Ia juga baru menyadari sosok Hatta hilang, setelah Supriyadi datang. Berarti, tinggal Hatta yang belum berkumpul di sini.
"Sewaktu di pasar, dia memang bersamaku. Tapi, setelah kericuhan terjadi, kita terpencar bukan? Dari situ, aku tidak melihat keberadaan Hatta."
"Eh, Nafla mana Nafla?" celetuk Pipit. Gara-gara para rekan pejuang mencari keberadaan Hatta, ia jadi teringat sosok Nafla juga tidak ada nampak.
"Nah! That's my question! Tinggal Nafla yang belum ketemu!" seru Vee berkacak pinggang.
Nama seseorang yang menjadi topik obrolan tiga wanita itu, menarik perhatian Bung Karno. Tiba-tiba Bung Karno tanpa sadar langsung melontarkan pertanyaan.
"Nafla siapa?"
"Itu loh, Pak. Nafla yang mukanya cantik kayak boneka barbie, tapi kelakuannya kayak boneka santet." jawab Farah santai. Entah mengapa, Vee yang mendengar merasa de-javu.
"Bukan!" ralat Pipit. "Nafla yang cantik, tapi masih cantikan gue!"
Mendengar jawaban percaya diri Pipit, ditambah pula wajah sombong wanita itu ketika berucap, membuat Farah dan Vee ingin muntah. Mereka pun menunjukkan itu terang-terangan dengan ekspresi wajah pura-pura ingin muntah.
"Ini nih, akibat sering foto pakek kamera be enem dua belas!" cibir Farah memutar bola mata.
"Bukan maen lagi pake be enem dua belas, gue pake snepcet biar makin badas!" Pipit mengibaskan rambutnya sombong.
Vee dan Farah sontak bergidik dan sedikit bergeser menjauh dari Pipit. Pipit tak peduli, dia saat ini merasa tenggorokannya membutuhkan air terjun buatan alias minum. Saat melihat minuman di atas meja dia segera menyambarnya dan meminum hingga tandas.
Ctak!
Suara gelas yang diletakkan di atas meja membuat mereka sadar, bahwa sedari tadi mereka memperhatikan Pipit yang tengah minum.
"Tenggorokan gue ... Ah lega banget. Tapi lebih legah lagi kalo ada cendol dawet, beuhhh... Ah, mantap!"
"Lo kira ini lagi di pasar Senen yang ada cendol dawet?"
"Lo kenapa sih, Far? Sensi amat sama gue, udah kayak Mas-mas yang maraton sama gue tadi," lalu Pipit melirik ke arah Supriyadi yang enggan menatapnya, "Oh iya, Mas bro, nama lo sape? Gue lupa nanya."
"Supriyadi," Syahrir menyahut.
"Yang ditanya siapa, yang jawab siapa," cibir Vee.
Lalu suasana hening sejenak, karena mereka, Vee, Farah dan Pipit menggunakan bahasa mata untuk berkomunikasi.
"Aku mengkhawatirkan Hatta sekarang, semoga saja Nippon tidak melukainya," ucap Soekarno sambil memijat pelipisnya.
"Kau tahu Bung Hatta seperti apa, Bung. Jangan terlalu khawatir," timpal Supriyadi, berupaya menenangkan kegelisahan hati Bung Karno.
Mereka semua tahu, seberapa dekat tali pertemanan antara Soekarno dan Hatta. Sangat erat bagaikan saudara kandung meskipun tak ada ikatan darah.
"Gue yakin, bentar lagi si Napla dateng sama si Hatta itu, " bisik Pipit kepada Vee dan Farah.
"Gue juga yakin tuh. Tapi lebih dari itu, moga aja Nafla kagak kenapa-kenapa. Gue masih liat lo berdua rebutan napas aja udah alhamdulillah, seenggaknya lo pada kagak ninggalin gue sendirian disini,"
Pipit mendengus sebal mendengar penuturan Farah yang sedari tadi mengesalkan hati. Dari pada meladeni Farah yang nanti malah membuat kesal, Pipit pun memilih diam. Mengambil duduk di salah satu kursi. Kakinya ia selonjorkan.
"Apa perlu saya yang mencari Bung Hatta, Bung?" celetuk Supriyadi mengajukan diri. Suasana sunyi beberapa detik lalu, langsung terisi semula oleh percakapan kecil.
"Tidak perlu. Nanti malah Bung yang menghilang. Tetap di sini saja." tolak Bung Karno. Pelipis pria itu masih terasa berdenyut. Fatma di sebelah menenangkan kegelisahan suaminya.
"Ada yang lebih penting dari ini semua." sahut Syahrir serius. Otomatis, orang-orang jadi memasang sikap serius pula. "Nippon. Mereka pasti akan kemari, karena tawanan mereka ada di sini. Pikirkan masalah itu. Apa yang mesti kita perbuat?"
Ketika menyebutkan kata tawanan, Syahrir menatap tiga orang wanita yang sedari sudah diam. Sekali lagi, ucapan Syahrir mampu menyulut emosi Farah dan Vee. Termasuk Pipit yang baru sampai, tidak tahu apa-apa.
"Itu juga yang aku pikirkan, Bung." Chairil Anwar membenarkan. Alhasil, tiga orang wanita yang memiliki niatan untuk menimpali ucapan Syahrir, jadi mengurungkan niat.
"Nippon lagi Nippon lagi..." Vee bersuara, mengalihkan perhatian semua orang.
"Iya, uy! Nippon ini kek anggota DPR anjir!" greget Pipit.
"DPR! Dewan Perwakilan Rakyat!"
Tiba-tiba Farah bersuara. Suaranya pakai nada. Benar, Farah bernyanyi. Membuat Vee yang memang suka bernyanyi, spontan menyahut. Kebetulan Vee tahu nyanyian yang Farah lantunkan.
"Wakil rakyat naik Mercy!"
"Rakyatnya jalan kaki!" sambung Farah balik.
"Wakil rakyat makan sate!"
"Rakyatnya makan tempe!"
Terjadi lah aksi saling sahut menyahut nyanyian. Sadar lagu hampir habis, buru-buru Pipit menyela.
"Woi, woi! Jatah gue lagi!" bentak Pipit langsung berdiri. Ia pun melanjutkan dua bait lagu tersebut. "Wakil rakyat numpuk utang, rakyatnya suruh bayar!"
"Ini yang dinamakan?" tanya Farah yang langsung mendapatkan sahutan Pipit dan Vee bersama.
"Merdeka tapi bingung!"
"Ini yang dinamakan?" sekali lagi Farah bertanya.
"Bingung tapi merdeka!"
"Yeeaaayyy!" bersamaan Pipit, Vee, dan Farah bertepuk tangan heboh.
"Kalian biasa di luaarrr!" teriak Pipit menggila.
"DPR itu apa?" bingung Soekarno yang menyimak nyanyian tiga wanita itu sampai selesai.
Tetapi, bukannya mendapat jawaban. Soekarno malah mendapat pertanyaan balik dari Pipit. Sengaja Pipit bertanya demikian, karena ia kesal tidak mendapat jawaban memuaskan tentang Nippon dari orang-orang ini. Padahal ia sudah tahu apa itu Nippon.
"Nippon itu apa?"
"Jepang lah, bodoh!" jawab Syahrir ngegas.
"Yaudah! DPR ya, Dewan Perwakilan Rakyat lah! Kok ngamok?!"
Syahrir dibuat bungkam seketika. Ia kalah telak. Pipit pintar membalikkan ucapan. Menyadari ekspresi kaku Syahrir itu, Pipit tersenyum miring. Senang sudah memenangkan adu mulut antara ia dan Syahrir barusan.
"DPR? Apalagi sekarang? Mereka suka sekali berkata aneh." desah Chaerul pelan. Jengah mendengar bahasa aneh yang Vee dan rekan katakan.
"Memangnya ada bahasa aneh lain yang mereka ucapkan, selain DPR tadi?" tanya Supriyadi penasaran, mengingat ia baru saja datang.
"Banyak sekali, Bung. Si wanita yang aku selamatkan itu," Chaerul menunjuk sosok Vee. "Di perjalanan, ia berkata TNI, POLRI, dan TK."
Supriyadi terkekeh, "Apalagi itu, ya Tuhan..."
"Kata wanita itu, TNI adalah Tentara Nasional Indonesia. Polri adalah Polisi Republik Indonesia. Tk adalah Taman Kanak-kanak. Tadi, mereka juga bilang NKRI. Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Kepala Supriyadi menggeleng tak habis pikir, mendengar cerita Chaerul Saleh. Chaerul pun sama. Seraya menggeleng, sorot mata pria itu menuju Vee selaku orang yang dia ceritakan.
"Tapi, ku rasa nyanyian mereka yang merujuk pada kata DPR itu, seolah menyindir suatu organisasi. Apa namanya? Dewan Perwakilan Rakyat? Maksud DPR ini, adalah suatu badan yang mewakilkan rakyat. Berarti seperti Bung Karno, sang penyambung lidah rakyat." ujar Chairil Anwar, menarik kesimpulan berdasarkan analisisnya.
Supriyadi dan Chaerul saling mengangguk membenarkan. Analisis Chairil masuk akal. Bisa mereka terima secara logis. Tidak dipungkiri lagi, Chairil Anwar pandai menganalisis sesuatu makna yang orang-orang sembunyikan. Baik lewat lisan, maupun tulisan. Keahilannya pun, ia tuangkan dalam bentuk karya-karya tulisan berupa puisi.
"Woilah! Di sini macam tahun empat lima aja perasaan! Pakek segala acara ada Jepang!" pekik Pipit murka. Wanita itu menjambak rambutnya.
"Apa maksudmu tahun empat lima? Ini masih di tahun seribu sembilan ratus empat puluh empat."
Jawaban Soekarno, spontan membuat Pipit melongo. Bukan hanya Pipit. Vee dan Farah juga. Di situ, Farah menepuk pundak Vee.
"Tuh kan, Vee! Apa gue bilang! Ini beneran Soekarno yang itu!"
"Anjay! Berarti kita ada di tahun Indonesia belum merdeka dong?!"
Kedua temannya sibuk berceloteh, namun Pipit hanya diam sejak Soekarno menyahut. Mengenai tahun sekarang. Yang kata pria itu, tahun tempatnya berpijak adalah tahun seribu sembilan ratus empat puluh empat. Artinya ia berada di zaman satu tahun sebelum kemerdekaan.
Tercipta lipatan di dahi Soekarno, saat mendengar Vee berucap. "Apa maksud kalian dengan tahun Indonesia belum merdeka? Kalian ini sangat membingungkan!"
Tapi, sayang lontaran pertanyaan Soekarno tidak mendapat jawaban. Pria itu malah di beri pertanyaan lain.
"Pak, jangan bohong deh! Mana buktinya ini tahun seribu sembilan ratus empat puluh empat?" tanya Vee, meminta bukti.
Harus ada bukti, baru ia bisa percaya. Bisa jadi ia di tipu. Mungkin saja orang-orang yang mengaku sebagai pelaku sejarah kemerdekaan Indonesia ini, hanya aktor bayaran.
Soekarno berdecak. Ia lalu memanggil istrinya, Fatmawati. "Tolong ambilkan kalender. Tiga wanita ini secara tidak langsung menuduhku pembohong."
Perintah Soekarno itu, dituruti oleh Fatmawati. Segera Ibu penjahit bendera sang saka merah putih tersebut, mengambil kalender yang tergantung di dinding kamar.
"Silahkan baca sendiri." Soekarno menyerahkan kalender yang setelah sebelumnya Fatmawati berikan.
Vee menerima kalender itu. Dengan seksama, Farah dan Vee membaca tahun yang tertera. Dan setelah di baca, angka yang tertulis di kalender itu adalah 1944.
"What the... Demi kegantengan Mas Aldebaran lakiknya Mbak Andin! Are you fucking kidding me?!" syock Vee luar biasa. Napasnya hampir hilang, menerima kenyataan yang Tuhan beri padanya.
"Berarti... Anda memang Soekarno..." ucap Farah dengan napas melengos. Farah menunjuk Soekarno yang terheran-heran.
Telunjuk Farah kemudian mengarah ke dua orang yang berada di ruangan itu. Dua orang yang wajahnya tidak asing di ingatan.
"Bu Fatmawati. Dan Anda, Sutan Syahrir kan?"
Begitu jari telunjuk Farah mengarah padanya, Sutan Syahrir membung muka tidak minat. Bisa-bisanya ada orang yang mengaku rakyat Indonesia, tapi tidak mengenal dirinya.
"Pit! Pit! Liat! Tahun empat-empat, Pit!"
Vee mengguncang-guncang lengan Pipit. Kalender yang berada di genggamannya, turut ia tunjukkan ke Pipit. Namun, Pipit tidak memberikan respons apapun. Wanita itu masih saja diam. Nyawanya seperti terlepas dari jasad.
Dari arah pintu, muncul dua sosok yang mengintruksi orang-orang di rumah Soekarno. Orang itu adalah Nafla dan Hatta. Dua orang yang dicari-cari.
"Hatta!" seru Bung Karno, terburu-buru mendekat ke Hatta.
"Duduk dulu, Pak. Kakinya di lurusin, jangan ditekuk." ucap Nafla, membantu Hatta duduk di salah satu kursi. Melihat Hatta yang nampak kesakitan, menimbulkan tanda tanya besar bagi semua orang.
"Hatta, kau kenapa?" tanya Soekarno khawatir. Sorot mata Soekarno langsung mengarah ke perban yang membalut kaki Hatta. "Kakimu terluka? Karena apa?"
"Oh, kau kan terkena tembakan sewaktu di pasar tadi!" sahut Sutan Syahrir baru ingat.
"Tidak apa, No. Aku baik-baik saja. Hanya luka kecil. Untung lah, sudah di obati oleh Dokter ini." tatapan Hatta yang mengarah ke Nafla, diikuti oleh Soekarno dan rekan sekalian.
Sorot mata Soekarno beralih menatap Hatta. "Wanita ini Dokter, Bung?"
Hatta mengangguki pertanyaan Soekarno. Teman-teman Nafla langsung mendekati wanita itu yang berdiri tak jauh dari kursi Hatta.
"Naf, lo gak papa kan? Syukur lah, gak meninggoy!" tanya Vee, menggantikan pertanyaan mengesalkan Farah yang sebelumnya terlontar ke Pipit.
Nafla menunjukkan senyum masamnya, lantas wanita itu berucap dengan nada lembut namun menusuk hingga ke hati. "Vee, lo ikutan kek Pak Hatta deh. Lurusin kaki lo, kasian otaknya ketekuk!"
Tidak diduga-duga, Sutan Syahrir tertawa. Seketik orang-orang melongo melihat kejadian langka itu. Sutan Syahrir yang wajahnya masam tanpa senyum, bisa juga tertawa terbahak-bahak.
"Naf! Lo obatin kaki dia, tapi sikut temen sendiri kagak lo obatin!" sebal Pipit, menunjuk luka baret yang lumayan panjang di sikutnya.
"Loh? Udah gak kesurupan lagi dia?" bisik Vee ke Farah. Padahal mereka ingat betul, Pipit diam bak mayat hidup beberapa menit lalu.
"Kesurupannya hiatus dulu."
"Heh, luka karena apa?!" tanya Nafla terkejut.
Dagu Pipit terangkat mengarah ke Supriyadi. Pipit mengadu kepada Nafla. Memberi tahu pelaku yang menyebabkan tangannya terluka.
Setelah tahu siapa pelakunya, Nafla pun mendatangi Supriyadi. Nafla menatap Supriyadi marah. "Jahat bat sih, lo! Dia itu cewek! Kasar bat lo jadi cowok! Lo cowok atau laki-laki?!"
Alis Supriyadi terangkat. Bingung dengan ucapan Nafla. Sedangkan Nafla, sadar bahwa ucapannya tadi salah. Cepat-cepat ia meralat.
"Eh! Mon maap, typo mulut gue! Maksudnya, lo itu perempuan atau laki-laki hah?!"
"Menurutmu?" tanya Supriyadi singkat. Sedikitpun tidak terlihat raut wajah takut. Supriyadi menanggapi ocehan Nafla dengan tenang.
"Dia pria," jawab Chaerul makin ngaco. Sebenarnya lucu, tapi wajah pria itu datar saat berkata. Jadi terkesan kaku.
"Denger ye, Mas! Kalo lo gak bisa baik, setidaknya jangan jahatin orang dong! Lo itu hidup di dunia bukan buat gantiin tugasnya setan!"
"Wow, jinja pedas!" timpal Vee tidak menyangka mendengar lontaran ucapan Nafla pada Supriadi.
Nafla berbalik. Di saat berbalik, ia sengaja mengibaskan rambutnya. Menyebabkan rambutnya menampar wajah Supriyadi. Mata Supriyadi sontak terpejam. Chairil Anwar dan Chaerul Saleh yang melihat, berupaya menahan tawa mati-matian. Ekspresi Supriyadi sangat mengenaskan.
Nafla membuka kotak P3K nya. Ia berniat mengobati luka Pipit. Aktivitas Nafla yang sedang melakukan pertolongan medis, menarik perhatian semua orang. Fokus orang-orang jadi mengarah padanya. Terutama Hatta. Mendadak Nafla menjadi objek menarik di pandangan Hatta, tatkala menjalankan tugasnya sebagai seorang Dokter.
"Tolongin saya ya, Bu Dokter. Mhuhehehe,"
"Bawa kartu BPJS gak lo?"
Pipit terbelalak, "Wanjer! Sempet-sempetnya lo Saodah! Gak mungkin gue bawa kartu begituan, buat apa cobaaa?!"
"Kartu BPJS buat berobat, lah! Gak mungkin buat syarat lolos SBMPTN jalur corona!"
"Terus gue harus gimana, Naf?!"
"Katakan PETA! Katakan PETA!" jeda tiga detik Nafla memberi jawaban, ia lantas melanjutkan. "Bukan PETA organisasi kelen ya, wahai sobat pedjoeang! Ini PETA yang denah lokasi itu loh..."
Supriyadi selaku komandan PETA memutar bola mata malas, mendengar ucapan Nafla itu. Kata organisasi PETA yang Nafla sebutkan, menarik perhatian Vee. Ia jadi teringat permasalahan yang tengah menimpa mereka.
Vee mendekat. Gadis itu bersuara pelan, "Naf, lo udah tau?"
"Apanya?"
"Kalo ini di tahun---"
"Udah." potong Nafla. Santai sekali wanita itu berujar tadi, sembari tangannya menutup luka Pipit dengan perban.
"Dari siapa?! Kok lo santai banget, kek di pantai?!" cerocos Vee emosi.
"Dari Pak Hatta."
Terdapat jeda di ucapan Nafla, lantaran wanita itu memasukkan kotak P3Knya ke dalam tas. Yang di mana letak posisi tasnya itu ada di dekat kursi Hatta duduk bersama rekan pejuang.
Sampai di sana, Nafla baru melanjutkan. "Terus, mau gimana lagi? Panik gak akan nyelesein masalah kan? Selesai masalah kagak, bengek malah iya."
"Lah, iya, masuk di akal juga."
Vee menoleh ke Farah yang bergumam barusan. "Lo ada akal, Far?"
"Ada dong. Barusan gue install."
"Njir."
"Kalian ini sebenarnya dari mana?" tanya Bung Karno, kepada empat wanita yang hadir di rumahnya. "Tidak tahu Jepang, tidak tahu kami, dan tidak tahu ini tahun berapa. Jujur saja, kalian memang bukan rakyat pribumi kan? Mustahil jika kalian pribumi, tapi tidak tahu Jepang sedang menjajah."
"Kami emang pribumi kok, Pak, tapi kami pas zaman Belanda pergi ke bumi eropa buat melanjutkan studi di sana."
Jawaban Nafla, sukses mengejutkan Vee, Farah, dan Pipit. Bisa-bisanya Nafla berbohong. Kenyataannya tidak begitu. Bergegas ketiga temannya mendekati. Mereka menarik tangan Nafla untuk menjauh dari para rekan pejuang.
"Naf, lo kenapa ngakunya begitu?!" bisik Farah.
Sekilas Farah melirik para pejuang yang rupanya tengah menatap penasaran ke arah mereka. Pantas mereka penasaran. Pasalnya empat wanita ini pakai bisik-bisik. Terlihat mencurigakan.
Vee mengangguk. Mendukung amarah Farah. "Hooh, Naf! Itu kan, bohong!"
"Yaelah, macam gak pernah bohong aja kelen. Makan bakwan tiga biji, tapi kelen bayarnya satu. Hayooo, jaman SMA atau kagak SMP pasti pernah begitu kan kelen? Apanya itu yang nggak bohong? Jadi, jangan solimi deh kalian."
Mendapat balasan Nafla, Farah dan Vee saling tertawa canggung. Nampaknya dua wanita itu pernah mengalami kejadian yang barusan Nafla sebutkan. Alias, mereka pelaku si pembeli bakwan yang Nafla maksud.
"Jadi ceritanya, lo udah ada rencana nih?" tanya Vee mengalihkan pembicaraan.
Nafla mengangguk. "Ikutin aja apa kata gue. Nanti gue kasih tau kalian rencana gue, tapi gak sekarang. Tunggu para pejuang nggak ada."
Jempol kanan Farah terangkat. "Oke, sip. Gue iyain aja dah."
Selesai berdiskusi, tubuh mereka berempat berbalik. Kembali menatap para rekan pejuang yang sedari tadi mengamati.
"Back to the topic ya, Pak. Sebenarnya, kami ini mahasiswi Indonesia yang ambil studi di Eropa. Dateng ke Indonesia buat menyalurkan ilmu yang udah kami dapet di sana." alibi Nafla, menjalankan rencananya sesuai yang sudah terangkai di otak.
"Artinya, kalian Londo?" gumam Soekarno.
"Loh, kok Londo? Kan, saya bilang tadi, saya dan teman saya orang Indonesia yang kuliah---"
"Iya, iya, saya tahu." sergah Soekarno. "Tapi, jika kalian sudah pernah mengambil studi di sana, secara tidak langsung kalian sudah menjadi bagian dari bangsa Eropa,"
"Gimana ceritanya bisa gitu, ya Allah..." sahut Vee menghela napas. Dadanya mendadak sesak.
"Tentu bisa, sebab kalian sudah menikmati teknologi-teknologi hebat di sana."
"Widiihh! Kita udah macam Selena Gomez aja, Pit! Tapi, kita ini Selena Gomez versi nganjuk!" takjub Farah kepada Pipit yang balik seperti semula. Berdiam dengan wajah kaku.
"Apa sih? Sebenarnya kita ini lagi bahas apa? Ini di mana? Kalian siapa? Gue siapaaa?!" tanya Pipit beruntun, layaknya orang linglung.
"Pit! Lo tuh cuma bisanya buat orang naik pitam aja yak? Sesekali buat orang naik haji kek!" cerocos Nafla. Geram dengan kelemotan otak Pipit dalam berpikir.
"Pipit! Listen. To. Me!" tekan Vee di setiap kata yang akan ia lontarkan ke Pipit. "Kita ini, ada di Indonesia tahun seribu sembilan ratus empat puluh empat. Dan mereka!"
Telunjuk Vee mengarah ke para pejuang. Serentak dari itu, sorot mata Pipit mengarah pada setiap objek yang Vee tunjuk.
"Mereka itu, para pejuang kemerdekaan! Makanya banyak baca buku sejaraahh! Usapin buku sejarah ntuh di kepala lo dua kali sehari, biar inget ke otak sampe tulang sumsum!" teriak Vee tepat di telinga Pipit.
Pipit menjauhkan tubuhnya. Kupingnya berdengung hebat. "Santai dong! Gak cocok lo jadi Guru! Bisa mati tegang anak murid lo, dapat guru modelan begini!"
"Tunggu, namanya Pipit?"
Suara Supriyadi mengalihkan perhatian semua orang. Tatapan orang-orang jadi menatapnya. Pipit merapatkan tubuh. Bersembunyi di balik punggung Farah, kala Supriyadi menatapnya.
"Terus, lo maunya nama dia siapa? Makek nama anak-anak lo nanti?" sewot Nafla menjawab.
"Bukan! Maksudku, dia bilang namanya itu... Apa ya? Ck, Krys... Krystal Ju... Jung! Krystal Jung!" eja Supriyadi susah payah.
Sontak teman-teman Pipit terbelalak. Langsung saja, mereka menatap Pipit sangsi. Pipit yang ditatap begitu, nyengir kuda.
"Canda doang elahh," katanya masih dengan tawa tidak berdosa. "Selamat Mas Supriyadi! Anda kena prank! Hiyaaahaayyuu!!!"
"Apa gue bilang! Nih manusia atu cuma bisa mancing amarah orang! Lama-lama stock sabar gue tergadai!" Nafla mengelus-elus dadanya sabar.
Hendak Farah menimpali ucapan Nafla, namun tidak sempat dikarenakan kedatangan pasukan Jepang yang langsung masuk ke rumah Soekarno tanpa permisi. Sontak para rekan pejuang berdiri tegak. Mereka memberi isyarat pada empat wanita itu untuk mendekat. Jangan berjauhan.
Empat wanita itu pun menurut. Mereka langsung berlari. Nafla mendekat ke Hatta. Pipit ke Supriyadi. Farah hampir salah orang, ia pikir itu Chairil. Ternyata Chaerul Saleh. Tetapi, Vee dan Farah cepat berganti posisi. Akhirnya susunan benar. Vee bersembunyi di balik tubuh Chaerul Saleh. Farah sendiri merapat ke tubuh Chairil Anwar.
"Karera wa koko ni imasu! 4-Ri no josei shūjin ga Sukaruno no ie ni imasu! (Mereka disini! Empat tahanan wanita ada di rumah Soekarno!)" seru salah satu dari pasukan Jepang yang masuk ke dalam rumah Soekarno. Sebagian pasukan berjaga di luar.
Si ketua yang mengejar Vee dan Chaerul membuka suara. "Sukaruno-san. Korera no 4-ri no josei o watashitachi ni makasete kudasai. (Pak Soekarno. Serahkan empat wanita ini kepada kami.)"
"Tidak bisa!" tegas Soekarno menolak. "Mereka adalah tanggung jawab kami!"
"Karera wa rondodesu! Anata wa sorera ni taishite sekinin ga arimasen! Karera wa Nihon-gawa no sekinindesu!(Mereka ini Londo! Kalian tidak ada tanggung jawabnya atas mereka! Mereka menjadi tanggung jawab pihak Jepang!)"
"Justru kami yang memiliki tanggung jawab besar atas mereka!"
Telunjuk Soekarno kemudian terangkat, mengarah pada rekan-rekan seperjuangannya yang di balik punggung mereka, bersembunyi empat orang wanita target pengejaran Nippon.
"Empat wanita ini adalah kekasih mereka, para rekan seperjuanganku."
°°°
Bersambung...
Sudah di baca partnya? Gimana part kali ini? Seru?! Mau lanjut?! Vote dan Comment sebanyak-banyaknya! Pokoknya lapak harus rame, karena vote dan comment kalian adalah bentuk dukungan dan semangat buat kami! Uwu😗
Okay, see you di next chapter yak! Kalo vote dan komentar banyak, kami update cepet:v
Mhuhehehe...
Lop yu tomat readers, dari kami berempat; Nafla080803, pipit_vie, coklatastor, dhiladhsan
❤💛💚💙