Suatu sore di Swiss.
"Adek, sini, Sayang."
Mama Lintang menarik kursi meja makan apartemen Oska, meminta si bungsu duduk. Seperti biasa wajahnya selalu terlihat sejuk mirip udara Swiss yang membuat siapapun akan betah tinggal di sana.
"Ada apa, Ibunda Ratu?"
"Ada yang ingin Mama bicarakan. Tante Ami cerita ke Mama..."
"Bye, Ma."
Mama segera menahan lengannya. "Jangan pergi, ini penting."
"Oska udah tahu Mama mau ngomong apa. Iya, Oska janji nggak akan nonton film gituan lagi. Waktu itu Kak Kevin ngajakin Oska sama Uwi, itu juga baru sebentar, eh udah ketahuan tante."
Mama menggeleng. "Kalian udah dewasa, akan sulit menghindari hal semacam itu, tapi bukan itu masalahny—Oskario, duduk."
Wajah sejuk itu menguap seiring terbitnya tatapan tajam. Mau tidak mau Oska menurut.
Mama mendesah, terdiam beberapa saat. Masalah ini tidak bisa dibiarkan, Oska bukan si bungsu yang polos seperti dulu. Perubahan sikap dan kelakuannya pasca operasi, dan harus hidup di negara orang, membuatnya khawatir. Ia tidak ingin anaknya salah jalan.
"Mama membebaskan anak-anak Mama menjalani hidup sesuai masa kalian, Mama nggak pernah melarang kalian pacaran—"
"Iihh, Mama, Oska kan nggak punya pacar."
"—asal bisa menjaga diri." Mama menggenggam tangan Oska, sedikit meremas, membuatnya terdiam. "Terutama untuk anak laki-laki, harus bisa mengendalikan diri dari lawan jenis. Entah itu pacar atau bukan."
Oska mengamati Mama yang melepas genggamannya, lalu menghela napas sambil mengusap tepi cangkir tehnya.
"Banyak orang berpikir tugas terberat orang tua adalah menjaga anak perempuannya, tapi bagi Mama, menjaga anak laki-laki nggak jauh beda, justru kita harus bisa mendidik mereka agar tumbuh menjadi laki-laki sejati yang memiliki tanggung jawab."
Mama menunduk sebentar. "Mama pernah mengatakan ini ke abang; jangan pernah menyakiti perempuan. Siapapun perempuan itu, jangan. Bahkan perempuan nakal sekalipun. Karena kaum perempuan nggak pantas disakiti, cuma laki-laki pengecut yang akan melakukan itu. Lebih baik menghindari jika tidak ingin berurusan."
Oska terdiam.
"Dan ini bagian paling penting." Mama berpaling padanya. "Jika suatu saat kamu sudah menemukan seseorang yang kamu sayang, perlakukan dia dengan baik, seperti kamu memperlakukan Mama dan Kak Naya. Jaga dia, lindungi dia, buat dia merasa aman saat bersama kamu. Karena laki-laki sejati nggak akan 'merusak' orang yang dia sayang. Kamu mengerti?"
Oska masih diam, mencerna kata-kata Mama.
"Ini bukan untuk Mama atau perkara menjaga nama baik keluarga. Percayalah, kebahagiaan anak-anak Mama lebih penting dari apapun. Ini untuk kebaikan kamu. Mungkin sekarang kamu menganggap omongan Mama ini hanya nasihat orang tua yang udah basi, tapi suatu saat kamu akan berterimakasih sama Mama. Bukan hanya kamu yang akan bangga dengan diri kamu sendiri, tapi pasangan kamu juga. Tanpa meminta, dia akan menyerahkan seluruh hati dan hidupnya ke kamu."
"Seperti Mama yang mempercayakan hidup Mama ke Papa?"
"Ya." Mama menyesap tehnya. "Kecuali tampangnya yang ganteng, Papa muda bukan jenis laki-laki potensial yang layak diprospek jadi suami. Jahil, galak, emosian, baperan, kere, nggak pernah mau dengerin omongan orang."
Oska menunggu kata 'tapi'.
"Tapi pengendalian diri Papa yang baik, dan cara dia menjaga Mama sampai kami menikah, akan selalu Mama ingat, dan berhasil membuat Mama jatuh cinta setiap hari."
Mama memberi jeda, kemudian menoleh. "Oska, nggak semua orang dapat merasakan keajaiban. Kamu dan Kak Naya beruntung." Pandangannya jatuh ke dada Oska sebentar. "Mama nggak minta kamu mengungkapkan rasa syukur dengan berhijrah seperti kakak, tapi Mama harap kamu nggak akan menyia-nyiakan kesempatan hidup kedua ini."
Sejak saat itu, ucapan Mama seolah rem tak kasat mata yang berhasil menahan dirinya dari godaan. Oska selalu mengingatnya, termasuk saat menghadapi Nala dengan memilih menghindari gadis itu.
Namun bersama Ruby, Oska lupa segalanya.
Detik ini ia tak lagi ingat dengan ucapan Mama. Wajah cantik Ruby, wangi tubuhnya, tatapan sayunya yang memancarkan kerinduan sama seperti dirinya, membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
Respon Ruby memperburuk semuanya. Sentuhannya, napas beratnya, erangan lirihnya disela ciuman mereka. Oska sudah kacau balau tak terkendali. Tidak ada lagi yang ia inginkan selain memiliki Ruby seutuhnya.
****
"Mama!!!"
Setelah panggilan ketiga, sang mama akhirnya muncul. "Ada apa sih, Kak? Udah malam, jangan teriak-teriak."
"Oska nggak ada di kamar!"
Mama melongok ke balik punggungnya, membuka selimut yang menutupi guling, lalu memandangi pintu kamar mandi.
"Udah aku cek, kamar mandi kosong." Naya menaruh segelas susu cokelat di tangannya. "Tadi Oska pengen susu, terus aku suruh tunggu bentar karena lagi ngurus Wibi, pas aku kesini dia nggak ada. Jangan-jangan Oska ke villa nemuin Ruby."
"Ada apa, Nay?" Kasih muncul dengan perut buncitnya.
"Kuy, kamu lihat Oska?"
"Tadi aku lihat dia keluar rumah sambil telponan, katanya mau cari angin."
"Tuh kan, Ma!" Naya makin panik. Dia otak-atik ponselnya, dan semakin kesal karena nomor Oska tidak bisa dihubungi. "Fix, Oska pasti lagi telponan sama calon bininya, mereka diam-diam mau ketemuan. Ini nggak bener, nggak boleh dibiarin. Aku harus lapor Papa biar anak itu diseret pulang."
"Jangan." Mama menahan langkahnya. "Papa sebelas dua belas sama kamu, panikan."
"Kalau gitu aku bakal bilang Mas Natta atau Niol."
"Kak," Mama bersuara lagi. "Mereka baru aja sampai, biarkan istirahat."
"Mama, Oska sama Ruby lagi dipingit, yang artinya nggak boleh ketemu, dan—astaga, ini udah jam sembilan lewat, setan-setan udah mulai gentayangan. Bahaya kalau mereka dibiarin berdua di villa, apalagi udah berhari-hari nggak ketemu. Mama ngerti kan maksud aku?"
Mama terdiam lama.
"Mama jangan diam aja dong. Mama!"
"Tenang, Nay."
"Gimana bisa tenang, Kuy, Oska nggak ada kabar, dan dia berpotensi ngelakuin dosa. Aku nggak mungkin diam aja." Kemudian menoleh kearah Mama. "Kalau Mama nggak bolehin aku minta tolong kaum laki-laki, biar aku sendiri yang jemput dia."
"Kakak," Mama menahan lengannya. "Percaya Mama, kalau emang Oska ke tempat Ruby, adek kamu nggak mungkin macam-macam."
"Mamaku sayang, Oska itu nggak sepolos dulu lagi, aku udah sering pergokin mereka pelukan, nggak ada jaminan sekarang mereka cuma main hompimpa doang. Mama tahu sendiri akhir-akhir ini Oska uring-uringan terus karena—astagfirullah, Yaa Allah Gusti, enggak, enggak. Aku nggak berani bayangin, aku harus kesana."
"Kanaya Putri." Tegas Mama, menatapnya lurus. "Mama ini ibunya. Mama percaya anak Mama nggak mungkin melakukan sesuatu di luar batas, dan feeling Mama bilang seperti itu. Oskario, akan, tetap, jadi, anak baik."
"Gimana kalau sekarang feeling aku sebagai seorang kakak yang benar? Anak baik Mama itu bisa aja kan khilaf?"
Mama menghela napas pendek. Wanita hamil dan hormonnya. Dan wanita itu Kanaya, si keras kepala. Komplit. "Satu jam dari sekarang Oska nggak kasih kabar, Mama sendiri yang akan bertindak. Sekarang kembali ke kamar kamu."
"Kenapa harus nunggu satu jam? Kenapa nggak—"
"Kasih, tolong antarkan Naya."
"Ma—"
"Kembali ke kamar, Kanaya, sebelum Mama hilang kesabaran dan bilang ke Natta kalau tadi siang perut kamu kram karena ngeyel makan rujak pakai cabe sepuluh biji."
****
Tidak ada yang berniat menghentikan semuanya, Oska semakin memeluk tubuh Ruby seerat dan serapat mungkin, dua bibir itu masih beradu kuat seakan paru-paru mereka mempunyai cadangan oksigen melimpah.
Andai detik selanjutnya Oska tidak melihat foto di atas nakas—foto yang dulu terpajang manis di kamarnya, dan beberapa hari lalu dibawa Ruby, foto tiga remaja berseragam SMA—sesuatu-yang-belum-boleh-terjadi itu pasti akan terjadi.
Pandangan Oska jatuh ke tanda kemerahan di leher Ruby, ke piyamanya yang dua kancing teratas sudah terbuka, turun ke kulit perut gadis itu dimana tangannya masih menempel di sana—bersiap melakukan gerakan improvisasi lebih jauh.
Mata cantik yang sebelumnya terpejam itu perlahan terbuka, dari tatapannya Oska tahu Ruby pasti bertanya-tanya; kenapa ia tiba-tiba berhenti?
"... maaf." Oska memejamkan matanya sesaat, berpaling dari Ruby seraya menjauhkan tangan dari perutnya. "Seharusnya aku nggak ngelakuin ini. Maaf."
Ia menarik satu kakinya yang menimpa kaki Ruby, duduk di sampingnya, sebelum akhirnya mulai sibuk merapikan piyama gadis itu yang berantakan. Sekuat tenaga Oska menahan gemuruh apapun yang masih berusaha memberontak dari dalam dirinya.
"... Bi,"
"Kamu benar, harusnya aku nggak kesini. Dasar aku bodoh, lagi dipingit malah keluyuran." Ia masih belum berani menatap Ruby. Sesekali ia berdecak; hanya memasang dua kancing kenapa susah sekali?
"Bian."
Gadis itu menahan tangannya yang masih sibuk dengan kancing teratas. Ia mendongak dan menemukan tatapan itu—
"... aku,"
—tatapan kerelaan. "Aku tahu. Kita sama-sama menginginkannya."
Dari respon tubuhnya saat ciuman panas tadi, tatapan yang belum sepenuhnya redup dengan dada naik turun dan napas tak beraturan, Oska tahu Ruby tidak keberatan. Toh mereka saling mencintai dan dua hari lagi akan menikah. Sisi liar dirinya mengatakan seharusnya tidak masalah.
Ruby tidak bisa menutupi ekspresi terkejutnya. Ia terlihat sedikit salah tingkah.
Dan Oska mengerti gadisnya sedang bekerja keras menahan malu. Maka ia segera bersandar di kepala petiduran dan menariknya duduk di pangkuan. Melihat Ruby masih saja menunduk, ia tarik dagu itu dengan telunjuknya. "Jangan malu. Kita udah dewasa dan sama-sama tahu kemana kegiatan tadi akan berakhir. Tapi..."
Pandangan Ruby terlihat mengikuti gerakan tangannya yang menutup kulit pahanya dengan selimut. Sebelumnya gadis itu memang merespon baik setiap sentuhannya, tapi Oska bisa merasakan ada keraguan dan ketakutan dari getaran tubuhnya, yang membuatnya sadar, bahwa mereka tidak boleh egois, akan banyak hati yang kecewa jika ini benar-benar terjadi.
"Aku sayang kamu, Bayi, aku mau jaga kamu sampai waktunya nanti." Ia peluk pinggang ramping itu, diselipkannya rambut Ruby ke belakang telinga. Bukan hanya gadisnya yang akan rusak, kepercayaan keluarga mereka juga. Oska tidak mau itu terjadi, gadis terhormat seperti Ruby harus diperlakukan dengan baik. "Aku mau punya sesuatu yang aku tunggu-tunggu. Kamu bilang dua hari bukan waktu yang lama, bukan? Yap, aku bisa menunggu."
Saat kendalinya hampir habis, Oska merasa ada letupan aneh di dadanya. Roh mesum yang menguasainya berbisik itu adalah dorongan agar ia berbuat lebih, namun sekarang ia sadar, letupan itu mungkin peringatan dari Sachie agar ia berhenti. Sachie pasti murka melihat kelakuannya, padahal ia sudah berjanji akan menjaga sahabat kesayangannya.
Kediaman Ruby, tatapan lekatnya, genangan yang siap meledak dari sana. Oska tidak mengerti. Apa Ruby marah karena ia berhenti? Apa roh mesum kampret itu berpindah ke tubuh gadisnya? Oh tidak. Tolong jangan. Saat ini malaikat masih berbaik hati menjaga kewarasannya, tapi ia tidak yakin bisa berhenti jika godaan itu datang lagi.
Saat tangannya bergerak ingin menangkup wajah Ruby, sekonyong-konyong tubuhnya terpaku saat gadis itu tiba-tiba memeluk lehernya. Tangan Oska mengambang di udara, merasakan tubuh itu bergetar. Dia menangis?
"Bayi," Ragu Oska mengusap punggung itu. "Maaf kalau aku ngecewain kamu. Aku bukannya nggak suka dengan tubuh kam—astaga." Oska menjatuhkan dagunya di bahu Ruby seraya memeluknya gemas. "Demi apapun, hanya berdekatan dengan kamu aja aku harus tahan napas dan tahan yang lain, tapi ini demi kebaikan kita. Aku nggak mau kamu—kita, menyesal, aku nggak mau ngecewain keluarga, aku nggak mau ngotorin cerita kita. Aku mau lihat senyum malu-malu tapi mau kamu waktu kita masuk kamar pengantin, dan di pagi harinya aku mau lihat kamu bangun dengan tatapan penuh cinta dan senyum bangga, karena kita berhasil melawan godaan syaiton nirojim dan akhirnya sukses melewati malam panas yang menyenangkan setelah kita sah."
Seakan tak peduli dengan ocehan panjangnya, Ruby justru semakin memeluknya erat. Tubuhnya semakin bergetar, dan Oska merasakan bahunya basah.
"Baby..." Mulutnya kembali rapat saat merasakan sesuatu yang lembut tiba-tiba menyentuh pipi. Ia menoleh, Ruby kembali mencium pipinya, turun ke sudut bibir, lalu mempertemukan kening mereka dan menangkup wajahnya.
"Makasih." Tangannya bergerak ke belakang lehernya lagi. "Aku terharu dan bangga dengan pertahanan kamu. Aku juga sayang kamu, Bi, nggak ada keraguan lagi untuk menyerahkan seluruh hati dan hidup aku ... hanya untuk kamu."
Oska terpaku. "Kamu makin yakin sama aku? Beneran?" Tangan Oska masih melingkar di pinggang itu. "Kamu nggak marah aku berhenti?"
"Aku nggak semesum kamu." Tolong ingatkan Ruby, siapa tadi yang mencium duluan sebelum mereka hampir kehilangan kendali.
"Jadi kamu udah siap selamanya jadi Nyonya Fabian?"
Ia tersenyum lebar sebelum mengangguk. "Aku nggak sabar pakai nama belakang baru. Ruby Fabian."
Oska tersenyum tipis, satu tetes jatuh dari matanya sebelum memeluk gadisnya lebih erat dari sebelumnya, membiarkan Ruby menangis, lagi. Ia ciumi wajah gadis itu dan merapatkan tubuh mereka lagi. Sungguh, ia sangat menyayangi perempuan ini.
Ia bukan manusia sempurna, setengah malaikat pun tidak. Namun dengan segala kekurangannya, Oska berjanji akan menjaga dan membahagiakan Ruby.
Mama, terimakasih.
Sachie, aku janji akan jaga sahabat kamu.
****
Menjadi pasangan seorang Oskario Fabian berarti harus siap dengan sifatnya yang suka berubah-ubah. Jika dulu perubahannya antara polos dan tegas, kini Ruby harus menghadapi mode-nya yang kadang serius dan kadang—
"Bayiii~ kok susunya yang itu? Siapa sih yang kerja shift malam? Siap-siap aja bakal aku kasih teguran karena nggak becus layanin pelanggan, walaupun kamu yang pesan harusnya mereka tahu kamu itu calon istri aku, bukan pelanggan biasa di villa ini."
—childish.
Ruby datang membawa selimut karena mereka berpindah duduk di luar kamar, kemudian menekan kedua bahu Oska yang siap beranjak. "Tujuan kamu kesini itu aku atau pegawai villa yang membawakan pesanan kita?"
"Ya kamu lah, tapi ini nggak sesuai—"
"Bukan waktunya meributkan masalah sepele, oke?" Ruby menaruh kelima jarinya di bibir Oska yang siap protes. "Pegawai kamu nggak berniat lalai. Stok Milo kosong, dan aku mengijinkan mereka menggantinya dengan Ultra. Sekarang duduk lagi ya."
"Tapi—"
"Calon suami, duduk."
"Calon emak-emak cerewet." Oska menyambar susu kotak itu dan selimut dengan mulut yang masih saja mengoceh.
Ruby mendesah. Lihatlah, pria yang beberapa menit lalu terlihat gentleman karena pengendalian diri yang membuatnya terpukau, sekarang ia kembali lagi dengan sisi manjanya. Jika diibaratkan warna, Oska ini seperti black dan pink, dalam satu tubuh mempunyai dua sisi yang bertolak belakang.
Melihat Oska yang melebarkan kaki dan selimut yang membungkusnya, Ruby bergerak duduk di depannya untuk menerima pelukan dari belakang. Jika menolak, pasti akan terjadi perdebatan lagi.
Beberapa menit mereka hanya menikmati langit malam sambil bertukar susu kotak.
Lalu Ruby ingat jika tadi ponselnya sempat berbunyi beberapa kali. "Mama Lintang missed call aku banyak banget. Beliau pasti udah sadar kamu kabur." Ia mendongak, dan menemukan Oska yang sibuk menyeruput susu kotak dengan pandangan lurus ke depan. "Ck. Pasti mama khawatir, aku harus kasih kabar."
Tangan Oska tiba-tiba menurunkan ponsel di tangannya. "Aku udah kirim pesan, mama kasih aku waktu sampai jam sebelas."
Sekarang hampir jam 10. "Berarti waktu kita nggak banyak."
"Makanya kamu diam aja, kita nikmati sisa waktu malam ini."
Ruby tersenyum merasakan kehangatan itu, pelukan Oska dan selimut yang membungkus mereka.
Dirasakannya Oska menciumi kepalanya dan memuji wangi shamponya. "Krucil-krucil di rumah kecewa lihat rambut baru kamu, Sena ngamuk-ngamuk nggak jelas, katanya dia kehilangan 'Elsa'-nya."
"Bilang pada mereka, ini hanya untuk keperluan pernikahan, tiga bulan lagi 'Elsa' akan kembali." Lalu menoleh kearah Oska. "Boleh kan aku warnain lagi?"
Oska tersenyum mengusap rambutnya. "Aku suka apapun warna rambut kamu."
Setelahnya Ruby teringat sesuatu. "Bi, katanya ada dua hal lain yang mau kamu omongin."
"Bener-bener ya, bersama kamu aku lupa segalanya." Tiga detik Oska mendekapnya gemas, kemudian melonggar. "Tolong ambilkan jaket aku."
Ruby beranjak masuk kamar dan kembali dengan jaket bomber hijau army. Setelah kembali ke posisi semula—duduk diantara dua kaki Oska dan memunggunginya—ia mengikuti perintah Oska yang menyuruhnya mengambil benda di dalam saku. Katanya ada sesuatu spesial untuk dirinya.
"Alpukat?" Keningnya mengerut, Ruby sedikit bergeser. "Ini prank ya? Kamu tahu aku nggak suka alpukat terus ngeprank aku suruh makan ini?"
Tidak suka tapi piyamanya motif alpukat.
"Aku cerita pernah memakai alpukat untuk campuran masakan, bukan berarti aku suka. Itu cuma buat keperluan dap—"
Kecupan singkat Oska membuatnya terbungkam dan membeku.
"Kamu itu susah banget diromantisin sih. Alpukatnya aku pakaiin pita cantik kayak gini berarti ada something di dalamnya." Oska membuka pita yang melingkari kulit buah itu. Ternyata si alpukat sudah terbelah menjadi dua, lubang yang seharusnya berisi biji sudah digantikan dengan sesuatu yang berkilau. "Untuk kamu."
Ruby mengambilnya hati-hati. "Kalung?" Air mukanya tiba-tiba berubah. "Bian, berapa kali aku bilang, aku nggak masalah dengan cincin tunangan titanium. Kamu nggak perlu buang-buang duit buat beli ini."
"Bawel ya. Siapa bilang aku beli." Oska merebutnya halus, membersihkan kalung itu dengan tisu basah. "Aku dapat dari mama. Kamu lihat bandulnya."
Ruby melihat ada inisial huruf L di belakang bandul bentuk bintang.
"Kalung turun temurun, papa dapat dari mendiang nenek—ibunya, dan diberikan ke mama. Kalung ini yang menyatukan mereka, ada sejarahnya, suatu saat aku ceritain. Dan iya, beberapa hari yang lalu mama nurunin ini ke aku."
Ruby menoleh dengan tatapan bertanya-tanya.
Dari senyum tipisnya, sepertinya Oska mengerti. "Sama seperti kamu, kemarin aku juga nanya; kenapa aku, bukan abang El atau kak Naya yang anak perempuan satu-satunya? Jawabannya, karena aku anak spesial."
Ruby ikut mengusap bandul itu, lalu membiarkan Oska memasangkannya.
"Sejak aku lahir, mama nggak pernah berani berharap jauh tentang hidup aku, yang dia lakukan hanya bersyukur saat anak bungsunya ini masih bisa membuka mata di pagi hari, dan menangis tersedu-sedu di setiap pertambahan umur aku. Siapa sangka sebentar lagi si bocah penyakitan ini bisa sampai ke tahap terpenting dalam hidup, menikah. Kamu bisa bayangin sekejer apa mama nangis waktu ngasih ini ke aku. Dijaga baik-baik ya, karena kalung ini juga mama ijinin aku di sini sampai satu jam ke depan. Mama nggak keberatan kamu yang merawatnya."
"Makasih." Ruby menghadiahi Oska sebuah kecupan di pipi, lalu menunduk, meraba kalung yang sudah menggantung manis di lehernya. "Nanti aku akan berterimakasih ke mama juga."
"Benar kan kata-kata aku dulu waktu kita nunggu ujan di ruangan kaca. Kamu itu mirip mama. Kamu mau berterimakasih, mama juga selalu berterimakasih ke kamu karena udah nerima anaknya yang nggak sempurna ini. Kalian sama-sama wanita istimewaku."
"Jangan lupa aku juga punya kekurangan—yang mungkin keluarga kamu belum tahu."
"Tahu kok."
Ruby menoleh cepat. Terkejut luar biasa. Jangan bilang...
"Aku udah cerita."
Ruby memeluk lututnya sendiri, dan sepertinya Oska bisa merasakan kegelisahannya, karena lengan itu kembali memeluknya dari belakang. "Jangan khawatir, seperti yang aku bilang tadi, mama dan semua keluarga aku nggak pernah berekspektasi tinggi tentang aku. Hal utama yang mereka syukuri adalah aku masih diberi kesehatan sampai detik ini. Di situ titik amannya. Kita sama, Bayi, dua orang yang sedang menjalani keajaiban berupa kesempatan hidup kedua."
Ruby diam.
Oska mendaratkan dagunya di bahu. "Anggap aja kita bisa sampai ke fase menikah adalah bonus, kalau suatu saat—bismillah—diberi kepercayaan anak, berarti itu double bonus. Jadi, kalau apesnya kita nggak dapat bonus sama sekali, seenggaknya kita sudah berada di titik aman, kan? Hidup sehat. Apapun rahasia yang disimpan hidup, harus kita jalani dan syukuri, sampai keajaiban kita benar-benar habis."
Ruby masih diam.
Oska menempelkan pipi ke pipinya. "Nggak tahu kenapa aku percaya masih banyak keajaiban yang menanti kita di masa depan. Menurut kamu gimana?"
****
Sepertinya Oska salah bicara. Keterdiaman Ruby membuatnya sadar ia sudah menyinggung sesuatu yang sensitif, terutama bagi kaum perempuan. Tidak seharusnya ia membicarakan masalah kekurangan yang menjurus ke anak. Dasar mulut perusak mood.
"Eh, ngomong-ngomong soal ruangan kaca, aku jadi ingat yang ketiga."
Ruby hanya menoleh dengan tatapan datar. Tidak ada pancaran antusias seperti tadi.
Bahu Oska melorot, mood gadisnya benar-benar drop. Ia segera menyingkap selimut, melompat dari kursi, dan berjongkok di depannya. "Naik."
Dari balik bahunya, Oska bisa melihat raut kebingungan gadis itu. Tanpa banyak bicara, ia membawa lengan Ruby melingkar di bahu, dan menggendong di punggung untuk meninggalkan villa, melewati jalan bebatuan dan berhenti di parkiran.
Di sana Oska melihat telapak kaki Ruby ternyata polos. Sadar ini kelalaiannya, ia hanya tersenyum geli, mengacak-acak rambut gadis itu, lalu melepas alas kaki miliknya. Mengingat pelataran parkir ini sedikit kasar dan mungkin saja ada kerikil liar, ia tidak mau Ruby sampai terluka.
Sandal jepit yang sempat ia maki-maki selama perjalanan dari rumah karena terburu-buru itu, akhirnya berguna juga.
"Kamu nggak tanya, kenapa aku ajak kesini?"
Ruby masih dengan wajah datarnya. "Kenapa kamu ajak aku kesini?"
Baiklah, ternyata bayinya masih badmood. Maka Oska raih jemari itu, ia janji akan meminta maaf, tapi nanti, sekarang ada yang lebih penting. Semoga saja apa yang akan ia tunjukkan bisa mengembalikan senyum Ruby.
Mengabaikan kerikil-kerikil imut yang sesekali menusuk telapak kaki, Oska mengajak Ruby berjalan lagi. Gadis yang memakai sandal jepit kebesarannya sesekali bertanya, dan Oska hanya menjawab dengan senyum. Ruby pasti bingung karena ia terus berjalan, bahkan saat melewati mobilnya yang bertengger di parkiran khusus staff.
"Bi, kita mau kemana? Itu mobil kamu di sana."
Wajah datar itu perlahan berubah penasaran. Itu bagus, pertanda mood gadisnya mulai membaik. Mereka berhenti di depan sebuah benda besar yang terbungkus kain silver, belum sempat Ruby bertanya, Oska sudah memintanya untuk membuka.
Seketika Ruby terbelalak. Ada kertas bertuliskan 'Do you miss me?' menempel di sana.
Oska mendekat dan berbisik. "Say hi to Vesby."
Ruby menggeleng tak percaya, memandangi vespa matic warna merah di depannya, lalu berpindah pada Oska, dan berulang sampai beberapa kali.
"Setelah menemukan kamu di Jogja, aku minta tolong Aji untuk mencari Vesby, yang ternyata udah jadi rongsokan di kantor polisi. Pikiran sederhana aku, kalau kamu nggak terima dengan kenyataan yang ada, seenggaknya aku bisa mengembalikan kenangan kamu bersama Sachie. Untungnya kamu terima aku, dan dua hari yang lalu Vesby sembuh setelah mendapat sentuhan serius di bengkel. Dan yup, dia akan jadi kendaraan pertama kita setelah menikah."
Bibir Ruby terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali rapat.
"Oh ya," Oska merangkulnya. "Kita punya banyak kenangan di ruangan kaca, jadi aku pinjam ruangan itu untuk dijadikan kamar pengantin, dan mama mengijinkan, bahkan mereka akan mengosongkan rumah selama dua hari agar kita punya privasi. Kabar baiknya tadi siang semua udah beres, dan semua dekornya sesuai dengan keinginan kamu. Setelah pesta selesai, kita dan Vesby akan membelah jalanan Bali dengan status baru menuju rum—" Pandangan Oska menemukan jemari itu memilin ujung piyamanya.
Sial. Lagi-lagi dia mengoceh tanpa menyadari perubahan ekspresi Ruby.
"Bayi, kamu nggak senang Vesby kembali?"
"S—senang, tapi..."
Ruby berpaling, dan Oska segera menarik pipinya. "Lihat aku. Kamu takut? Masih trauma?"
Gadis itu tidak menjawab, tangannya bergerak gelisah.
"Berarti Aji bohong." Oska menangkup pipi Ruby dengan tatapan cemas. "Dia bilang selama di sini kamu sama Mas Rai menghabiskan sore dengan keliling villa pakai motor dia. Aku pikir Mas Rai udah bisa hilangin trauma kamu, makanya aku minta orang bengkel percepat beresin Vesby. Ternyata—"
"Mas Aji nggak bohong." Ruby memberanikan diri mengangkat wajahnya. "Trauma itu emang masih ada, sedikit. Aku udah berani naik motor tapi bukan nyetir."
Oska ternganga, dan akhirnya tergelak. "Mbak Ruby-ku sayang, nggak ada yang nyuruh kamu nyetir. Kodok-kodok di sawah bisa mati kesurupan kalau lihat perempuan cantik pakai gaun pengantin ngendarain motor. Aku yang bawa, kamu tinggal duduk di belakang, peluk perut aku, dan—"
"Aku tahu." Ruby mengalungkan lengan ke lehernya. "Tapi bukan itu masalahnya."
"Lalu apa?" Oska merangkul pinggangnya.
"Kamu."
Oska mengangkat sebelah alisnya. "Aku?"
"Kenapa kamu melakukan ini, Bi? Apa diam-diam kamu mempunyai kemampuan membaca pikiran orang?"
"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa? Emangnya aku melakukan apa? Bayi, aku bingung."
"Kakek Abe kasih kita hadiah pernikahan berupa mobil baru, Mama Lintang kalung paling berharga miliknya, Kak Naya paket bulan madu, Mama Sania kitchen set—"
"Kamu mau bilang hadiah dari aku adalah hadiah yang paling murah dari yang lain—motor rongsok yang banyak baret sana sini. Ya, aku tahu."
Ruby menarik pipi Oska yang berpaling. "Kamu nggak akan bayangin hadiah apa yang Raiden kasih. Dua buah mie goreng dan telur mentah. Katanya kita akan kelaparan setelah malam per—lupakan."
"Maksud kamu malam pertama?"
Ruby mengabaikan. "Dari semua hadiah mewah itu, pemberian dari kamu yang selalu membuat aku kehabisan kata-kata. Sejak pertama kita ketemu, kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan. Kenapa? Bahkan aku nggak pernah kasih apa-apa ke kamu."
"Mungkin takdir tahu kalau kamu rumah aku." Oska menautkan jemarinya di belakang pinggang Ruby. "Kamu udah percayakan hati kamu untuk aku, itu udah cukup. Kamu nggak perlu kasih apa-apa lagi, aku yang akan kasih segalanya untuk kamu, mulai hari ini."
Dalam senyumnya, satu tetes jatuh dari mata Ruby.
Oska segera mengusapnya. "Kamu tahu hal apa yang membuat aku sangat tidak sabar saat ini?"
"Mencium aku?"
"Memanggil kamu istri. Yup, aku nggak sabar mencium kening kamu setiap bangun pagi, memberi setangkai bunga mawar setiap ulang tahun kamu, dan menggendong kamu ke kamar setiap malam."
Ruby tertawa haru, dan lagi-lagi pipinya basah.
"Happy tears?"
Ia mengangguk. "Happy tears and happy life."
Oska langsung menyambar tubuh ramping itu dengan memeluknya erat, meremasnya kuat dan mencium rambutnya. Jantungnya berdegup kencang, hatinya berdebar dan pandangannya mengabur terhalang genangan, namun semua itu terasa indah.
Ia akan selalu ingat hari ini.
Sama seperti ia akan terus mengingat saat pertama kali melihat Ruby di depan toilet, saat Ruby tertawa, saat Ruby menangis, saat Ruby menciumnya dan saat Ruby akhirnya menerima dirinya sebagai pendamping hidup. Ia akan mengingat semuanya sampai selamanya.
Malam ini ia memeluk Ruby di parkiran villa yang dingin dan sepi, dan akan terus memeluknya untuk 51 tahun ke depan sampai keajaiban untuknya habis, yang memaksanya menutup mata di rumah mereka yang nyaman.
Ya. Hidup tidak akan memberitahu sebuah rahasia besar bahwa jantung Sachie akan bertahan selama 51 tahun. Sebuah keajaiban. Dan keajaiban-keajaiban lain akan menemani tahun-tahun luar biasanya bersama Ruby.
Tiga bulan setelah penikahan, ia akan mengijinkan Ruby menerima tawaran sebagai bintang tamu chef, dan beberapa bulan kemudian Ruby mendapat kontrak sebagai juri untuk acara kompetisi memasak salah satu televisi swasta di Jakarta.
Ruby akan bertanya saat ia mengantarnya ke apartemen. "Kamu nggak papa aku pulang ke Bali seminggu sekali?"
"Nanti aku yang akan sering kesini, yang penting kamu ada kegiatan biar nggak kepikiran."
"Harusnya aku senang lihat Kak Naya melahirkan, bukannya sedih begini. Pengendalian diri aku buruk, maaf."
"Aku akan bilang ke Kak Naya agar kamu bisa bawa Wibi kesini setiap selesai syuting. Dia pasti repot ngurus baby Aghnia."
Dan keajaiban datang 2,5 tahun setelah pernikahan, dimana Ruby akan melahirkan bayi perempuan cantik, sehat, pipi tembam dan mata sipit, yang diberi nama Auriga Keiko Fabiana. Satu setengah tahun kemudian, Kei akan mendapat adik laki-laki tampan, Auriga Kenjiro Fabian.
Mereka sepakat mengambil bagian nama Sachie—Auriga—yang berarti Bintang. Dua anak itu, Kei dan Ken, ibarat bintang yang akan selalu menyinari hidup orang tuanya, terutama Ruby.
Saat anak-anak masuk SD, sepenuhnya ia akan menggantikan Mama mengelola villa, memberikan orang tuanya masa tua yang indah dengan menghabiskan waktu bersama cucu-cucu di rumah.
Dan yang paling penting, ia akan menjadi suami paling baik untuk Ruby. Ia akan mencium kening dan pipinya setiap bangun tidur, mencuri satu kecupan saat Ruby memasak, mengajaknya berkeliling dengan Vesby tua untuk sekedar belanja ke pasar atau membeli es kelapa di depan sekolah, dan akan selalu memeluknya saat tidur setelah mereka tertawa bersama anak-anak.
Hari-hari bahagia akan ia jalani bersama orang-orang yang dicintai. Sungguh, tidak ada kekurangan satu apapun, karena bersama mereka, ia merasa cukup.
Hidup akan menyimpan rapat semua rahasianya, dan hanya tersenyum menatap sunyi saat Oskario Fabian memeluk Ruby Yamazakura di parkiran villa—dengan piyama alpukat, sandal jepit kebesaran dan Vesby yang berada di samping mereka.
Dua manusia yang saling mencintai itu akan memulai petualangan baru mereka, hari ini.
-THE END-