Mémoire ✔

By kurangaqua

922K 105K 24.3K

Tangis, canda, tawa, sepi, dan kebersamaan. Semua kenangan itu akan tersimpan di dalam kepala seseorang sampa... More

Mémoire : 0. Light
Mémoire : 1. Switzerland
Mémoire : 2. Dandelion
Mémoire : 3. Dream
Mémoire : 4. Offer
Mémoire : 5. Cafeterian
Mémoire : 6. Pain
Mémoire : 7. Benzodiazepin
Mémoire : 8. Shield
Mémoire : 9. Competition
Mémoire : 10. Hurt
Mémoire : 11. Afraid
Mémoire : 12. Trophy
Mèmoire : 13. Hug
Mémoire : 14. Wrong
Mémoire : 15. Allergy
Mémoire : 16. Lonely
Mémoire : 17. Promise
Mémoire : 18. Tell
Mémoire : 19. Address
Mémoire : 20. Plan
Mémoire : 21. Flower
Mémoire : 22. Bad Reality
Mémoire : 23. Cancel
Mémoire : 24. Thunder
Mémoire : 25. Decision
Mémoire : 26. The Day
Mémoire : 27. Gift
Mémoire : 28. Dissapointed
Mémoire : 29. Difficult
Mémoire : 30. Disaster
Mémoire : 31. Down
Mémoire : 32. Meet
Mémoire : 33. Chocolate
Mémoire : 34. Lost
Mémoire : 35. Fact
Mémoire : 36. Was Revealed
Mémoire : 37. Rain
Mémoire : 38. Fire
Mémoire : 39. Search
Mémoire : 40. Come
Mémoire : 41. Talk
Mémoire : 42. Cage
Mémoire : 43. Unpredictable
Mémoire : 44. Painful
Mémoire : 45. Tears
Mémoire : 46. Sick
Mémoire : 48. She's Changed
Mémoire : 49. Them
Mémoire : 50. Useless
Mémoire : 51. Snow
Mémoire : 52. Pray
Mémoire : 53. Try To Be Strong
Mémoire : 0. Memories

Mémoire : 47. Make Memories

17.3K 1.8K 456
By kurangaqua

Bunga Dandelion yang terkurung dalam sebuah jar itu masih menjadi pemandangan menarik untuk Jennie. Entah sudah berapa lama, dia terus memandangi bunga itu dengan tangan menopang dagunya sendiri.

Satu tetes air mata tiba-tiba meluncur tanpa aba-aba. Jennie tidak berniat menghapusnya, masih memandang sendu bunga rapuh itu.

Dia sadar, tak pernah sekali pun Jennie dan ketiga saudarinya merasa benar-benar bahagia. Dulu mereka utuh, tapi hidup dalam tekanan. Beberapa bulan lalu, mereka tak tertekan lagi namun takut kehilangan Jennie. Dan sekarang, mereka utuh dan bisa melakukan hal sesuka hati. Kecuali Lisa, yang kondisinya benar-benar menakutkan untuk Jennie pikirkan.

"Seharusnya kau menyukai bunga yang lain, Lisa-ya. Bunga ini, begitu menakutkan untukku sekarang."

Jari-jari Jennie menyentuh jar kaca yang melindungi satu tangkai bunga itu. Dia ingat, Lisa berkata jika bunga itu sebenarnya sangat kuat. Lisa juga bilang, jika Jennie merasa lelah maka bunga itu akan mengingatkan Jennie untuk tetap kuat.

"Unnie harap, kau tidak memiliki pikiran untuk sama seperti bunga ini. Mereka kuat, hanya ketika terbang menjauh. Berpisah dari yang lain," ucap Jennie lirih.

Gadis berpipi mandu itu menegakkan tubuhnya. Membuka laci meja kerjanya dan meraih sebuah kamera yang tampak masih baru.

Kemudian mata kucingnya beralih menatap sebuah bingkai foto dirinya dan setiga saudarinya ketika berada di Swiss. Mereka saat itu tampak bahagia, dan Jennie tak ingin foto itu hanya menjadi kenangan.

Tapi dia hanya manusia. Dia bisa merasa kehilangan. Semuanya tidak kekal abadi. Dan kenyataan itu benar-benar menusuknya hingga Jennie sulit sekali hanya untuk menarik napas.

"Setidaknya, terbanglah saat Unnie sudah menua Lisa-ya."

...........

Langit sudah berganti suasana. Pagi hari yang cerah kini tergantikan oleh petang yang mulai datang. Matahari undur diri, dan bulan menyambut malamnya bersama pasukan bintang.

Msta cokelat itu bergerak dan terbuka perlahan. Lisa masih mengumpulkan kesadarannya sembari menatap langit-langit kamar. Ingin beranjak namun dia melenguh saat merasa tubuhnya cukup pegal di beberapa bagian.

"Sudah bangun?" suara lembut itu membuat Lisa terbelalak. Dia segera bangkit, melupakan tulang rusuknya yang masih sakit dan bergerak menyentuh kening Rosé. Ada yang aneh. Padahal tadi kakak ketiganya itu diserang demam.

"Demammu sudah turun, Unnie?" tanya Lisa bingung.

Mendapati wajah penuh tanya adiknya, Rosé mendesah lelah.
"Kau yang terlalu lama tidur. Sebenarnya, kau itu tidur atau pingsan? Demanku sampai sudah hilang."

Gadis berponi itu mengerjab. Kepalanya dengan kaku menoleh pada pintu kaca balkon kamarnya yang memperlihatkan suasana malam di luar sana.

Lisa masih ingat dengan kejadian terakhir yang dia alami. Gadis itu tertidur di pelukan Jisoo pukul delapan pagi. Tapi dia baru saja terbangun pukul enam sore.

"Kami sudah memanggil Doktermu. Dia bilang ini adalah hal wajar untuk penderita Alzheimer sepertimu," ujar Rosé parau. Perlahan, kehidupan adiknya berubah sangat drastis. Dia sulit sekali untuk menyesuailan diri dan berusaha tenang.

Lisa tidak bisa mencegah apa pun. Walau kini dia sudah mengkonsumsi banyak obat serta melakukan terapi, gejala-gejala penyakit itu akan tampak. Semua obat dan terapi yang dia terima hanya memperlambat, bukan menyembuhkan.

"Kemari." Lisa merentangkan tangannya, bermaksud memberi isyarat pada Rosé agar datang ke pelukannya.

Gadis blonde itu bergerak cepat mendekap Lisa. Dia bersungguh-sungguh, ingin menukar segala hal yang dia punya untuk kesembuhan adiknya. Rosé memang terlihat kuat. Tapi dia tidak siap.

"Unnie, kelak aku akan berubah. Aku akan sering marah-marah, aku bahkan mungkin bisa melukaimu. Yang harus kau ingat, itu bukan diriku. Sekali pun sikapku padamu nantinya sangat buruk, percayalah bahwa aku tetap adik baikmu."

Rosé meremas bagian belakang piyama adiknya hingga kusut. Kenyataan lain yang cukup menyakitkan adalah, adiknya akan berubah. Di satu waktu, Rosé pasti akan mendapati adiknya tidak lagi bersikap lembut. Adiknya yang selalu marah-marah dan bahkan bisa melukai semua orang.

"Aigoo! Manis sekali!" Seruan itu membuat Lisa dan Rosè melepaskan pelukan mereka. Rosé yang sempat menangis cepat-cepat menghapus air matanya agar tak terlihat oleh Jennie dan Jisoo yang baru datang.

"Kau membawa kamera, Unnie? Untuk apa?" tanya Lisa setelah Jennie duduk di sampingnya. Memangku sebuah kamera digital yang cukup mahal.

"Kajja, kita ke Swiss." Ucapan Jennie itu sontak membuat Lisa dan Rosé menganga. Tidak dengan Jisoo karena dia sudah tahu sebelum pergi menemui Lisa dan Rosé.

"Lagi?" tanya Rosé heran. Mereka belum lama pergi ke Swiss. Mungkin sekitar beberapa bulan lalu.

"Bukankah disana rumah kedua kita? Dan.... Ayo lebih banyak membuat kenangan."

Kedua mata Lisa memerah mendengar kalimat milik Jisoo. Dia mulai tahu untuk apa keberadaan kamera yang digenggam Jennie. Itu semua untuk mengabadikan momen mereka nanti. Dimana Lisa kelak tak akan ingat bagaimana indahnya waktu yang mereka jalani bersama.

"Unnie, semakin banyak kenangan kita. Semakin kau juga akan tersakiti nantinya," ujar Lisa sendu.

Kenangan indah yang tak dapat lagi dilakukan, adalah salah satu hal menyakitkan untuk hati manusia. Mereka hanya bisa mengenang, tanpa bisa melakukannya kembali.

Sebanyak apa pun kenangan yang mereka buat bersama, Lisa akan melupakannya. Tidak ada satu pun yang tersisa suatu hari nanti. Bukankah itu hanya akan menimbulkan luka untuk ketiga kakaknya?

"Ayo lakukan, Lisa-ya." Kini Rosé yang bersuara. Menggenggam tangan Lisa dengan erat bersama tatapan memohonnya.

"Unnie, itu akan percuma. Aku akan melupakan semuanya. Dan di saat itu tiba, aku justru memberikan kalian sebuah luka." Tatapan Lisa tidak kalah memelas. Dia tidak mau menjdi adik yang jahat. Dia tidak ingin menyakiti hati kakaknya lebih banyak lagi.

"Siapa yang peduli tentang hal itu? Seratus kali kau melupakan kenangan kita, maka seribu kali aku akan mengingatkanmu."

Jennie tidak bisa lagi menahan tetesan air matanya. Dia menatap Lisa yang kini menunduk. Ucapan gadis berponi itu memang benar. Mereka akan tersakiti dengan kenangan sendiri nantinya. Tapi waktu tidak bisa disia-siakan. Mereka hanya ingin membuat kenangan selama masih ada waktu. Sebelum semuanya terlambat.

"Sayang, waktu masih panjang. Ayo lakukan hal bahagia. Jangan pikirkan sesuatu yang menyakitkan," ujar Jisoo yang mampu menbuat kepala Lisa kembali mendongak.

Gadis berambut hitam panjang itu menatap mata kakaknya satu persatu. Mulai berusaha menampakkan sebuah senyuman di tengah rasa sesak yang menghimpit dadanya.

"Geure, kajja."

...........

Sehari setelah tiba di Zermatt, Swiss. Empat bersaudara itu memutuskan untuk pergi mengunjungi Museum Matterhorn. Salah satu tempat wisata yang menyimpan banyak sejarah kota itu.

Di Zermatt, lebih banyak tempat wisata alam yang tersedia. Tapi mereka tak mungkin melakukan itu karena kondisi Lisa sekarang. Mereka hanya memilih berjalan-jalan di kota kecil itu dengan tujuan wisata yang tak berbahaya.

Setelah menaiki angkutan umum, sisanya mereka pergi dengan berjalan kaki. Saling bergandengan tangan di jalan trotoar kota itu. Menikmati rasa dingin di sore hari yang cukup memeluk.

"Lisa-ya, apa kau senang hari ini?" tanya Jennie sembari mengarahkan kameranya pada sosok sang adik yang kini sedang memeluk lengan Jisoo.

Sejak hari itu, Jennie memang tak pernah lepas dari kameranya. Dia terus saja mengabadikan momennya bersama ketiga saudarinya yang lain. Menyimpan semua kenangan bahagia itu dalam memori kamera.

"Tentu," jawab Lisa tanpa ragu.

"Jika senang, kau harus tersenyum. Ayo, perlihatkan senyum manismu." Lisa tertawa mendengar ucapan Jennie. Menepis pelan kamera itu sampai Jennie mematikannya.

"Saat kembali ke sini lagi, kita harus mengajak Eomma dan Appa." Itu kalimat yang keluar dari mulut Jisoo ketika mereka sedang bediri menunggu lampu pejalan kaki berubah berwarna hijau.

Semuanya mengangguk setuju. Kemudian larut dalam keheningan menatap angka yang berhitung mundur pada lampu lalu lintas. Suatu hal yang semakin ditunggu, akan semakin lama terjadi.

Sampai rasa bosan itu hadir. Mereka mendesah lega melihat lampu pejalan kaki kini menjadi berwarna hijau. Hendak melangkah tapi saat menyadari sesuatu yang hilang, mereka panik.

Lisa menghilang. Padahal sosok tubuh kurus dengan balutan jaket berwarna abu itu semula ada di tengah-tengah mereka. Apakah mereka terlalu melamunkan sesuatu sehingga tak menyadari bahwa Lisa sudah melangkah pergi entah kemana?

Dalam rasa panik, Rosé mengeluarkan ponselnya dari dalam saku mantel. Menekan nomor adiknya menggunakan jari-jari yang gemetar ketakutan.

"Ah, shit!" Rosé menggeram marah ketika panggilannya tak dijawab oleh Lisa.

"K-Kita harus berpencar. Siapa yang menemukan Lisa lebih dulu harus menelepon. Bagaimana?" Jennie tidak bisa mengendalikan suaranya yang bergetar. Memandang frustasi suasana di sekitar mereka yang cukup ramai karena ini adalah sore hari.

Rosé dan Jisoo setuju. Maka mereka mulai bergerak berbeda arah. Menajamkan penglihatan untuk mencari adik bungsu mereka. Dalam perasaan panik yang dia rasakan, Jennie merutuki diri sendiri. Seharusnya dia setuju dengan usulan Jisoo untuk mengikat tangan Lisa bersama salah satu tangan mereka tadi.

Sesungguhnya, penderita Alzheimer tidak bisa berada di keramaian. Mereka akan tergerak untuk menjelajahi keramaian itu. Tentu tanpa arah dan tanpa tujuan yang pasti. Hingga akhirnya penderita merasa ketakutan karena berjalan terlalu jauh.

Jennie mengusap wajahnya frustasi. Gadis berpipi mandu itu masih ingat bagaimana terakhir kali Lisa pergi jalan-jalan bersama Jisoo. Adik mereka tertabrak mobil, mengakibatkan tulang rusuknya patah. Kini, Jennie tak mau hal buruk kembali terjadi pada Lisa.

"Lisa!" Gadis itu mencoba memanggil Lisa di tengah keramaian. Berharap adiknya muncul dan memberikannya senyuman bodoh seperti biasa.

"Lisa! Come to Unnie, please!"

"Lisa! Please, come here!"

Dia tak peduli jika banyak orang yang menoleh karena teriakannya. Jennie benar-benar merasa frustasi sampai harus meremas rambutnya dengan kasar bersama air mata yang mengalir.

Sampai dimana kaki itu berhenti melangkah. Mata kucingnya menangkap sosok itu. Yang kini sedang memeluk lututnya sendiri di samping sebuah bangunan.

Jennie tertawa lega, tapi dia juga menangis. Melangkah tanpa ragu mendekati Lisa yang kini sedang ketakutan. Jennie cukup bersyukur karena Lisa memilih berhenti melangkah setelah dia sadar jika sedang tersesat.

"Hey, look at me." Jennie ikut berjongkok di hadapan Lisa. Menangkupkan kedua sisi pipi adiknya hingga mata cokelat itu menatapnya.

"U-Unnie."

"Hm, ini Unnie." Jennie sungguh merasa lega. Sampai dia mencurahkannya dengan mencium seluruh bagian wajah Lisa.

"M-Maaf, aku---"

"Ssstt~ Sekarang Lisa sudah bersama Unnie. Jadi jangan takut, hm?" tanya Jennie lembut. Dijawab hanya dengan anggukan oleh Lisa.

"Sekarang kita pulang saja ya? Kau harus istirahat." Sekali lagi Lisa mengangguk. Membuat Jennie bergerak meraih ponselnya dan mengirimkan pesan pada Jisoo serta Rosé bahwa dia sudah menemukan Lisa.

Setelah memastikan pesan singkatnya terkirim, Jennie kembali memasukkan ponsel itu ke dalam jaket. Beralih merapikan rambut Lisa yang berantakan.

Sejenak dia terdiam menatap wajah polos Lisa. Lalu akhirnya berbalik memunggungi Lisa. Tentu dengan posisi masih berjongkok. Menimbulkan tanda tanya besar di kepala Lisa. Mengapa kakaknya seperti itu?

"Ayo naik."

Lisa menggeleng tegas. Tapi beberapa detik kemudian dia baru sadar jika Jennie tak bisa melihat gelengannya. Maka dia mulai mengeluarkan suaranya kembali.

"Tidak. Tubuh Unnie lebih pendek dariku. Mana bisa," ucap Lisa yang sebenarnya bukan sebuah ejekan. Tapi cukup membuat Jennie mendengus kesal mendengarnya.

"Ingatlah bahwa tinggi badan kita hanya berjarak 4 centimeter! Ingat juga bahwa berat badanku lebih banyak dari pada dirimu! Jadi, ayo naik!" Jennie berseru kesal. Sepertinya Lisa baru saja meremehkannya karena memiliki tubuh pendek.

"Aniya." Jawab Lisa tetap tak mau digendong oleh Jennie.

"Kau membantahku?" Jennie menoleh ke belakang. Menatap Lisa dengan tajam. Hal itu membuat Lisa mulai kalah. Dalam diam dia beranjak menaiki punggung Jennie. Menyembunyikan wajahnya di leher sang kakak.

Jennie hanya bisa tersenyum. Lisa memang selalu menjadi adiknya yang manis. Tak akan bisa membantah Jennie, kecuali tentang donor ginjal yang dilakukan Lisa saat itu.

"Tubuh Lisa semakin ringan. Unnie tidak suka," ujar Jennie ketika dirinya mulai berjalan dengan Lisa digendongannya.

"Aku akan makan banyak agar Unnie suka." Jawab Lisa pelan. Tampak sekali jika Lisa masih takut dengan tatapan Jennie tadi.

"Kalau begitu, katakan saja Lisa ingin makan apa. Unnie akan membuatnya untuk Lisa. Hanya untuk Lisa. Unnie janji tak akan membaginya dengan Jisoo Unnie dan Rosé."

Udara di kota itu cukup dingin karena gunung ada di beberapa tempat terdekat. Dengan Lisa yang ada digendongannya, Jennie merasa lebih hangat dari pada ketika dia berjalan sendiri.

"Rosé Unnie akan marah. Dia suka makanan," ujar Lisa mulai menatap wajah Jennie dari samping.

"Unnie akan memarahinya."

Lisa tak bisa menyembunyikan senyumannya. Jennie memang sempat membuatnya takut tadi. Tapi kakak keduanya itu akan selalu bisa kembali meluluhkan hatinya.

Tak tahan, Lisa memberikan kecupan singkat di pipi mandu kakaknya.
"Terima kasih. For everything."

Lampung, 8 Desember 2020

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 125K 44
PART 41 - 55 DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN Menjadi bagian dari Kwon, adalah hal teristimewa untuk Lisa. Tangis, canda, tawa. Semuanya dia lewat...
526K 90.4K 49
Puzzle tidak akan pernah utuh jika salah satu hilang. Seperti mereka, yang tak akan bisa menjadi utuh jika terpisah. Mereka adalah Puzzle, yang sehar...
89.8K 7.5K 37
"Yang mereka lihat bukanlah aku yang sesungguhnya" ~ Lalisa "Kurasa ayah benar......." "Aku ingin mereka bahagia"
446K 67.6K 63
Sebuah kepahitan akan terasa manis dipandangan orang lain. Itulah hidup, setiap orang tidak akan bisa memandang kehidupan secara sama. Menilai adalah...