If You Know When [TELAH DITER...

By ItsmeIndriya_

1M 120K 15.4K

Trilogi IYKW Series Sekian lama menghilang, akhirnya Vanilla kembali dengan harapan baru untuk akhir kisah pe... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
PENGUMUMAN
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
VOTE COVER!!!
Lima Puluh Delapan
Lima Puluh Sembilan
Enam Puluh
Enam Puluh Satu
Enam Puluh Dua
Enam Puluh Tiga
Enam Puluh Empat
Enam Puluh Lima
TERIMA KASIH
PRE-ORDER IYKWHEN
LDR SERIES 1 || OBSESI ELANG
DIARY VANILLA

Lima Puluh Tiga

8.1K 1K 64
By ItsmeIndriya_

"Pa... Papa!"

Teriakan Dava menggelegar hingga terdengar ke seluruh sudut rumah. Dengan langkah tergesa-gesa, ia mencari keberadaan Ayahnya yang entah sedang berada di mana.

"Rian, ada apa? Kenapa teriak-teriak?" tanya Ibunya yang masih menggunakan apron dan muncul dari arah dapur.

"Papa mana?"

"Ada diruang kerja."

Dava tidak lagi menjawab dan langsung bergegas menuju ruangan kerja ayahnya di lantai dua. Ada sesuatu yang ingin Dava perlihatkan pada Ayahnya. Sesuatu penting menyangkut masa depan Dava.

"Pa..."

"Biasakan kalau masuk ketuk pintu dulu."

Dava menghela napas dan meminta maaf karena lancang masuk ke ruang kerja Ayahnya tanpa mengucapkan permisi atau mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Ternyata kamu masih ingat rumah," sindir Ayahnya yang sedang sibuk dengan kertas-kertas di atas meja.

"Pa, Rian mau ngomong penting sama Papa."

"Tentang perjodohan kamu dan Soraya?" tebak Ayahnya seratus persen benar.

Dava mengeluarkan ponselnya, lalu memutarkan sebuah video yang baru Dava terima beberapa saat yang lalu. Dengan tatapan heran, Ayah Dava menerima ponsel yang disodorkan oleh Dava dan melihat video apa yang di tunjukkan Dava.

"Papa yakin pandangan Papa terhadap Soraya masih sama?" ujar Dava setelah video tersebut selesai diputar.

Ayah Dava menatap Dava dengan tatapan yang tidak bisa di artikan, lalu menghela napas sembari melepas kacamata yang di pakainya. "Rian, kamu tau alasan Papa menjodohkan kalian kan? Kamu juga tau kan hubungan Papa dengan keluarga Bharmantyo tidak lagi akur sejak kejadian bertahun-tahun yang lalu."

"Pa... tapi ini demi masa depan Rian dan masa depan perusahaan juga, Pa. Papa mau punya menantu kasar yang gak bisa menghargai orang lain dan ringan tangan? Reputasi keluarga kita bisa hancur, Pa."

"Apa bedanya dengan pacar kamu?"

"Maksud Papa?" tanya Dava tidak mengerti.

"Pacar kamu punya penyakit mental yang sewaktu-waktu bisa kambuh dan menyakiti orang-orang secara tidak sadar."

"Pa!" teriak Dava murka karena merasa bahwa Ayahnya menjelekkan Vanilla. "Vanilla sudah sembuh, dan dia normal!" tegas Dava.

Untuk kedua kalinya Ayah Dava menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. "Soraya tetap pilihan yang lebih baik," ujar Ayah Dava final, menandakan bahwa tidak ada lagi yang perlu di bahas.

Rasanya Dava ingin mengamuk karena Ayahnya tidak pernah memberikan pilihan untuk Dava menjalani kehidupannya sendiri. Dava sudah merelakan impiannya untuk bekerja di lapangan, hanya demi melanjutkan bisnis keluarga yang sudah di bangun susah payah. Sekarang Dava tidak ingin merelakan masa depannya hanya untuk menikahi seorang wanita atas dasar bisnis.

"Papa gak punya pilihan lain," kata Ayah Dava setelah hening beberapa saat. "Kalau perjodohan ini batal, keluarga kita akan bangkrut. Papa mau yang terbaik untuk anak-anak Papa."

"Tapi ini bukan yang terbaik untuk Rian, Pa."

"Rian, Papa tau kamu mencintai Vanilla sejak bertahun-tahun lalu. Tapi Papa mau sekarang kamu berpikir realistis. Apa mungkin Vanilla sama seperti Vanilla di masa lalu kamu? Setelah semua yang Vanilla lalui, semua yang Vanilla alami, pasti akan terasa berbeda."

"Kalau memang Papa terpaksa menjodohkan Rian hanya karena perusahaan, Rian bisa buktikan kalau perusahaan kita bisa stabil tanpa harus menyatukan keluarga kita dengan keluarga Soraya."

Dava langsung membalikan badan dan keluar dari ruang kerja Ayahnya dengan menggebu-gebu. Dava ingin melampiaskan amarahnya, namun sebisa mungkin ia tahan. Dava harus bisa mengontrol emosi agar tidak gampang meledak-ledak.

"Rian..." panggil Ibunya yang tersenyum melihat anak laki-lakinya pulang. "Mama tau kamu kesal, tapi jangan sampai menghilangkan sopan santun kamu pada orangtua ya."

"Ma, Rian.."

"Mama setuju sama hubungan kamu dan Vanilla," potong Ibunya membuat Dava membulatkan mata tak percaya. "Mama tidak pernah menentang hubungan kamu dengan siapapun, selama itu bisa menjadikan kamu sebagai pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Mama yakin Vanilla adalah sosok yang tepat untuk melengkapi kebahagian anak mama ini."

"Dengan semua kekurangan Vanilla?"

Ibunya menganggukkan kepala, "Mama gak mau melihat kamu menderita lagi seperti dulu saat kamu kehilangan Vanilla."

Mata Dava mulai berkaca-kaca. Selama hampir dua puluh tujuh tahun ia hidup, baru kali Dava memiliki tujuan, yaitu hidup bahagia dengan orang yang ia sayang. Siapa lagi jika bukan Vanilla.

"Karena kamu pulang, gimana kalau kita makan malam sama-sama?" ujar Ibunya penuh harap di balas anggukan dan senyuman oleh Dava.

Sejak Dava di tunjuk menjadi CEO di perusahaan keluarganya, Dava lebih memilih untuk tinggal sendiri di apartemen. Sesekali Dava pulang karena adiknya. Namun setelah Poppy melanjutkan pendidikannya di luar negri, Dava hampir tidak pernah kembali lagi ke rumah.

Setidaknya kali ini ada kemajuan. Meski Ayahnya belum setuju, Dava sudah mendapat restu dari Ibunya. Dava yakin, tak lama lagi Ayahnya pasti juga akan luluh. Asal Dava bisa membuktikan bahwa hidup tidak selalu tentang pilihan. Selama bisa mendapatkan keduanya, kenapa harus memilih?

*****

Vanilla melempar tubuhnya keatas kasur seraya menghela napas dan menatap langit-langit kamarnya. Hari ini ia memutuskan untuk menginap dirumah orangtua kandungnya, atas permintaan Vanessa yang sedang berbadan dua.

Sebenarnya Vanilla menolak, namun rengekan Vanessa membuat Vanilla mengalah dan memutuskan untuk mengiyakan permintaan Vanessa. Tidak hanya Vanilla yang harus kembali ke rumah, seluruh anggota keluarga malam ini berkumpul di kediaman Fahri Bharmantyo.

Saat Vanilla sedang asik berkelana dalam pikirannya, Vanilla mendengar suara ketukan pintu. Dengan suara pelan ia mengizinkan orang yang mengetuk pintunya untuk masuk.

"Sibuk?" Pertanyaan itu membuat Vanilla melirik dan mendapati Zero yang terlihat canggung memasuki kamar Vanilla.

Vanilla mengubah posisinya menjadi duduk diatas kasur dengan guling yang ia letakkan di atas kedua pahanya. "Ada apa?"  tanya Vanilla ikutan canggung.

Ziko memilih duduk di pinggiran kasur Vanilla, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil yang ia sembunyikan di balik punggungnya. "Kado ulang tahun lo," ucapnya.

Vanilla mengerutkan alis. Ia melirik tanggal di ponselnya yang masih menunjukkan tanggal delapan belas, sementara ulang tahunnya adalah tanggal dua puluh empat.

"Jangan di buka dulu. Tunggu tepat di tanggal ulang tahun lo," ucap Zero menghentikan pergerakan Vanilla yang siap membuka kotak tersebut.

"Thanks."

Zero mengangguk pelan seraya berdiri dan hendak meninggalkan Vanilla. Gelagat Zero terlihat aneh, seolah masih ada sesuatu yang ingin Zero sampaikan, namun tertahan.

"Lo mau ngomong apa?" ujar Vanilla menghentikkan langkah kaki Zero, membuat Zero menoleh dan bergumam bingung.

"Gue mau minta maaf atas---"

"Atas kejadian yang gak bisa gue ingat?" potong Vanilla membungkam Zero. Vanilla tertawa getir. "Gue gak tau apa yang pernah terjadi antara lo dan gue, gue gak bisa ingat apa-apa. Dan kenapa lo baru berani minta maaf sekarang? Disaat gue gak ingat semua perlakuan lo ke gue dulu?" Sebenarnya Vanilla tidak marah, ia hanya merasa kesal.

"Sorry."

"Mungkin kalau dulu lo minta maaf ke gue, gue bakal dengan senang hati menerima permintaan maaf lo. Tapi sekarang... gue gak tau harus bersikap gimana."

"Lo gak perlu maafin gue, karena gue---"

"Permintaan maaf lo gak akan mengubah semua yang pernah terjadi kan? Jadi gue mohon sama lo untuk stop ungkit hal yang hilang dari ingatan gue."

"Sorry."

Vanilla menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, "just forget it."

Zero mengembangkan senyum sendu, "lo di tunggu di ruang makan," ucapnya sebelum menutup pintu kamar Vanilla.

Vanilla kembali menarik napas. Ia jadi merasa agak bersalah karena bersikap ketus pada Zero, padahal niat Zero baik karena ingin meminta maaf atas apa yang pernah terjadi di masa lalu. Lagi pula Vanilla tidak mengingat apapun.

Entah mengapa belakangan ini Vanilla merasa dirinya sedikit tempramental. Mungkin karena banyak kejadian tidak mengenakkan dalam hidup Vanilla sampai-sampai ia bosan untuk bersikap biasa saja, jadi Vanilla sedikit membuat perubahan.

Setidaknya Vanilla berharap, perubahaannya bisa membawa dirinya ke akhir yang bahagia.

*****

Untuk kedua kalinya Vanilla berkumpul dengan seluruh keluarga besarnya. Kedua orangtuanya, Vanessa dan Antonio, Zero, Ferrio dan Britney serta kedua anak mereka, dan juga Vanilla. Sebenarnya Vanilla senang, hanya saja ia menyimpan kesenangan tersebut dalam hatinya sendiri. Ia tidak mau menunjukkan bahwa ia bahagia karena bisa berkumpul dengan keluarganya.

"Gimana pekerjaan kamu Vanilla?" tanya Fahri Bharmantyo, kepala kelurga sekaligus ayah kandung Vanilla.

"Lancar," jawab Vanilla singkat sembari memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya.

"Hubungan kamu dan Dava?"

Vanilla menghentikan kunyahannya, "gitu-gitu aja," jawab Vanilla. Tak tahu mengapa, saat ini Vanilla sedang tidak ingin membicarakan perihal hubungannya dengan Dava.

"Sudah punya rencana untuk ke jenjang yang lebih serius?"

Kepastian aja belum dapat.

"Dad, i don't wanna talk about this, okay? Dan stop nanya ini itu. "

"Kamu kan jarang pulang ke rumah sayang. Wajar kalau Papa kamu nanya ini itu," sahut Ibunya membela sang Ayah.

"Mom, jangankan ke jenjang yang lebih serius, kepastian aja Vanilla belum dapat. Gara-gara si cewek itu tuh, bikin Vanilla darah tinggi mulu." Akhirnya Vanilla mengoceh, mengeluarkan segala kekesalannya.

"The old Vanilla is back," gumam Britney.

"Mau gue bantuin gak?" tanya Vanessa yang duduk persis di sebelah Vanilla.

Vanilla mendengus kesal dan memasukan potongan daging yang lebih besar ke dalam mulutnya. "Makanya, lo itu jangan terlalu baik. Tegas dikit kek biar Dava kebuka pikirannya," kata Ferrio.

"Atau suruh Revan aja," timpal Britney membuat seluruh pasang mata menatapnya. "Kenapa, ada salah?"

"Otak lo yang salah," sahut Zero sarkastik.

"Kenapa Mama gak suruh Bang Zero duluan yang nikah? Kasihan tuh udah mau kepala tiga." Vanilla menyindir Zero membuat Zero menatap Vanilla dengan tatapan aneh. Bukan sinis atau tajam, tapi seperti merasa malu.

"Namanya juga gagal move on, ya gitu deh jadinya."

"Kenapa jadi sahut-sahutan sih?" Antonio yang sedari tadi diam langsung bersuara.

Tak ada lagi yang bersuara. Mereka sibuk menghabiskan makan di piring masing-masing, lalu pergi mengosongkan meja makan.

Vanilla sempat mengambil sekaleng coca cola dan juga cemilan sebelum ia kembali ke kamar. Rencananya Vanilla akan menyelesaikan pekerjaan yang tertunda agar besok ia bisa memiliki waktu luang.

Pukul sepuluh malam, Vanilla mulai mengantuk. Berulang kali mulutnya terbuka lebar untuk menguap. Akhirnya Vanilla memutuskan untuk tidur.

Baru saja Vanilla menarik selimut hingga menutupi kakinya, suara ketukan pintu mengalihkan pandangan Vanilla. Ketika pintu tersebut di buka, Vanilla melihat Ibunya yang masuk dengan tersenyum.

"Sudah mau tidur?" tanya Dila duduk di pinggiran kasur Vanilla.

Vanilla hanya menganggukkan kepala sembari mencari posisi tidur yang enak.

"Mama senang kamu mau pulang ke rumah," ucap Dila dengan mata berkaca-kaca sembari mengusap rambut Vanilla. "You always be my little girl."

Melihat Ibunya yang bersedih, membuat Vanilla ikut bersedih. Selama ini Vanilla tidak pernah ingat bagaimana hangatnya kasih sayang orangtua. Apa ini yang sedari dulu Vanilla cari, sampai-sampai hampir kehilangan nyawa.

"Mama tau, apa yang Mama dan Papa lakukan ke lamu sama sekali gak pantas untuk di maafkan. Tapi satu hal yang harus Vanilla tau, Mama selalu sayang sama kamu."

"I know."

"Andai Mama bisa memutar waktu, Mama akan kembali ke masa dimana Mama masih memiliki kamu..."

"Mom, stop it." Vanilla memotong kalimat Dila yang menggantung. Vanilla tidak ingin melihat ibunya menangis karena menyesal. "Berhenti untuk minta maaf dan berhenti untuk menyesal. Semua udah jadi masa lalu, Ma. Masa lalu yang sama sekali gak bisa Vanilla ingat."

"Sampai kapan pun penyesalan itu selalu ada di benak Mama dan Papa."

Vanilla bangkit dari posisi tidurnya sembari memegang kedua tangan Ibu. "Ma, apapun yang terjadi di masa lalu itu sudah menjadi masa lalu. Sekarang Vanilla disini, Vanilla kembali, dan Vanilla gak mau melihat penyesalan kalian. Vanilla gak mau ada drama lagi di kehidupan Vanilla. Yang Vanilla mau saat ini hanyalah akhir yang bahagia."

Dila hendak kembali bersuara, namun di interupsi oleh suara ketukan pintu. Secara bersamaan mereka mengarahkan pandangan kearah pintu dan mendapati Vanessa sedang mengintip di baliknya. "May i?" ujar Vanessa tersenyum saat Vanilla menganggukkan kepala.

Dengan raut wajah gembira, Vanessa langsung naik ke atas kasur Vanilla, mengambil posisi persis di samping Vanilla.  "Malam ini gue mau tidur sama lo," ujar Vanessa menyelimuti dirinya.

Vanilla agak merasa aneh dengan kelakuan Vanessa, namun pada akhirnya Vanilla hanya mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut.

"Waktu memang berlalu begitu cepat." Dila menatap kedua putrinya dengan raut sendu. "Mama rasa baru kemarin melihat kalian bermain bersama. Sekarang putri mama yang cantik-cantik ini sudah bisa menentukan kehidupan masing-masing."

"Dan sebenar lagi cucu Mama bakal nambah," timpal Vanessa dengan nada jenaka membuat semuanya tertawa.

Vanilla menatap Vanessa yang terlihat sedang menerawang jauh ke masa depan. "Kira-kira anak gue nanti cewek, cowok atau kembar ya?" tanya Vanessa pada diri sendiri, namun dengan tatapan mengarah Vanilla.

"Kata orang, kalau anak cewek mirip sama Ayahnya, kalau anak cowok mirip sama Ibunya. Berarti kalau anak lo cowok, bisa-bisa anak lo mirip sama gue," balas Vanilla.

Vanessa memutar bola mata, "yaiyalah bakal mirip sama lo juga. Lo gak sadar, muka kita 99% mirip sampai susah di bedain. Mama aja bingung yang mana Vanilla yang mana Vanessa. Iyakan Ma?"

Dila tertawa pelan sembari menganggukkan kepala. "Kalau gitu kalian sekarang istirahat." Dila berdiri dari posisi semula dan menyelimuti kedua putrinya. "Goodnight sweetheart."

"Goodnight, Mom."

Setelah pintu kamar di tutup, Vanilla langsung membalikkan badannya kearah Vanessa yang tersenyum lebar. "Thanks karena lo sudah mau kembali," ucap Vanessa.

"Gue sudah lama balik dan kalian masih aja ungkit masalah yang sudah lewat." Vanilla sedikit kesal karena sedari tadi orang-orang menghampirinya hanya untuk meminta maaf dan berterima kasih.

"Gue masih gak percaya kalau kembaran gue ada di hadapan gue sekarang." Ingatan Vanessa terlempar ke kejadian bertahun-tahun lalu. Saat ia dengan bodohnya mengorban saudara kembarnya sendiri hanya karena perasaan iri yang begitu besar.

Vanessa hampir menjadi seorang pembunuh.

"No matter what happend in our past, just forget it."

Tiba-tiba setetes air mata meluncur dari pelupuk mata Vanessa, membuat Vanilla terkejut dan segera menghampus. "It's okay. Semua orang pernah buat kesalahan yang fatal dalam hidup mereka."

"Everytime i try to forget that moment, it was like---"

"Gue gak ingat apapun Vanessa. Semuanya, gue gak ingat sedetik pun dari kejadian di masa lalu. Gue pergi bukan karena gue marah sama semua orang, tapi karena gue marah sama diri gue sendiri, kenapa gue gak bisa ingat apapun tentang kalian."

"Sorry."

"Come on, jangan sebut kata maaf lagi, dan berhenti untuk menyalahkan diri lo sendiri. Got it?"

Vanessa mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam untuk menghilangkan sesak di dadanya. Ia langsung memberikan pelukan hangat pada Vanilla. "Sebisa mungkin gue bakal bantu lo untuk mendapatkan kebahagian yang seharusnya sudah lo dapatkan sejak dulu." Vanilla membalas pelukan Vanessa seraya bergumam mengiyakan.

Senyum yang Vanilla lontarkan terlihat begitu tulus. Mungkin dirinya memang hilang ingatan, tapi ikatan batin yang begitu kuat dengan Vanessa tidak bisa ia hindari. Bagiamana pun juga, Vanilla tetap menyayangi saudara kembarnya.

Vanilla bahagia jika ia melihat orang yang ia sayang bahagia.

*****

Sabtu, 19 Desember 2020

Continue Reading

You'll Also Like

4.7M 408K 72
(Belum di revisi) Apa yang kalian pikirkan tentang Rumah sakit jiwa mungkin kalian pikir itu adalah tempat penampungan orang gila? Iya itu benar aku...
3.7M 444K 63
[TAMAT - LENGKAP] Demeter Ceysa Crusader, seorang model juga ceo brand terkenal di kota A. ia mengalami kecelakaan hingga membuatnya koma 3 tahun. sa...
4.6M 288K 31
Versi buku 80% berbeda bisa kalian baca di Karyakarsa Kamu gini Aku gitu Punya istri di usia muda apalagi saat dia masih SMA itu emang gak masalah ba...