Menurut pesan yang ia terima pagi ini, Rangga setuju menemuinya di Poppy jam 5 sore. Setelah membaca pesan itu, barulah Gina bisa tenang dan bernapas lega pasalnya semalam ia menunggu konfirmasi dari Rangga tapi manusia kutu(b) itu tidak kunjung memberikan konfirmasi.
Untungnya Manusia kutub itu masih punya sedikit hati nurani karena bersedia datang.
Gina lantas menghubungi Tante Minjung dan memberitahu kabar bahagia itu. Tidak lupa ia menyiapkan jaket mahal Rangga yang sudah ia cuci baik-baik. Selain itu Gina juga menggunakan banyak pewangi biar Rangga mabuk saat menghirupnya. Rasain.
"Mas Rangga apa kabar?"
Rangga terdiam beberapa saat tepat saat Gina menanyakan kabarnya. Ia menyilangkan kedua lengannya sambil menatap Gina.
"Lumayan. Kalau lo? Sehat?" Tanya Rangga balik. Wajar Rangga bertanya sebab Gina kelihatan memaksakan senyum dengan sorot mata cemas.
"Hah?" Kini giliran Gina yang tercengang, "Kayaknya sih, baik." Lanjutnya. Tidak tahu untuk beberapa menit ke depan. Sambungnya dalam hati. Bola matanya beberapa kali bergerak ke sana kemari tidak tentu arah.
Rangga masih menganggap ada sesuatu yang janggal dengan Gina. Selain kelihatan gugup, Gina juga kedapatan beberapa kali memeriksa hape, "Lo nggak ngerasa aneh nanya kabar gue?"
Gina mendongak dengan mata melebar, "Emangnya aneh?"
Rangga mengangguk. Entah apa maksudnya.
"Tuh, kan. Gue pikir juga apa? Pasti aneh banget." Ujar Gina sambil menunduk
Seharusnya ia tidak perlu menanyakan kabar Rangga segala. Melihat Rangga datang dengan penampilan paripurna-nya sudah menunjukkan bahwa keadaan Rangga lebih dari baik. Lagian mereka juga tidak pernah saling menanyakan kabar saat bertemu.
Maafkan Gina. Ia hanya sedang gugup saja dan tidak tahu harus bicara apa sampai tante Minjung datang. Ia juga tidak bisa langsung mengembalikan jaket Rangga atau Rangga akan cepat pulang sebelum bertemu dengan Mamanya.
"Jaket gue mana?" Tanya Rangga akhirnya saat Gina bengong cukup lama. Mungkin saat ini Gina sedang banyak pikiran makanya sedikit aneh, pikir Rangga. Saking anehnya perempuan ini menjadi perempuan pendiam dan tenang.
"Hah? Jaket?" Gina membulatkan matanya. "Jaket Mas Rangga, yah?" Jaket yang ia simpan ke dalam paper bag itu ia letakkan persis di bawah mejanya.
"Lo beneran sehat, kan? Kenapa lo tegang dan gugup kayak gini? Gue cuma nanyain jaket doang. Mana jaket gue?" Sambung Rangga sambil meletakkan kedua sikunya di atas meja.
"Mas Rangga buru-buru?" Tanya Gina lagi. Bisa gawat kalau Rangga mau pulang sekarang.
Rangga mengerutkan dahi lantas melihat jamnya yang sudah menunjukkan pukul 5 lewat 15 menit, "Nggak juga sih, tapi gue mau mampir ke apotek dulu beli obat maag, takut kelupaan." Kata Rangga.
"Mas Rangga sakit lambung?" Pertanyaan yang bisa mengulur waktu. Bagus, Gina.
"Iya. Buruan jaket gue." Ia menandaskan kopinya lalu melanjutkan, "Sekalian gue antar lo pulang." Kata Rangga. Lagi pula hari ini ia memakai mobil dan bukan motor yang Gina sebut motor aneh.
"Gimana kalau kita duduk di sini dulu 5 sampai 10 menit lagi? Mas Rangga nggak ngerasa hari ini suasana kafe ini bagus banget nggak?"
Kerutan di dahi Rangga semakin dalam, "Lo kenapa sih sebenarnya? Sumpah lo aneh banget." Rasanya sedikit canggung saat tiba-tiba Gina memintanya tetap di sini 10 menit lagi apa lagi membawa-bawa suasana kafe segala.
"Saya minta maaf sama Mas Rangga."
"Minta maaf buat?" Sungguh. Rangga benar-benar tidak mengerti dengan situasi ini. Untuk apa lagi minta maaf.
"Pokoknya saya minta maaf." Ujar Gina lagi. Gina lalu menggigit bibirnya saat ia melihat Mama Rangga sudah melangkah masuk ke dalam kafe.
Okay, setidaknya sekarang Gina menepati janji untuk membantu Minjung menemui Rangga.
"Rangga? Ka...mu benar Rangga, kan?"
Sosok perempuan berkulit putih itu kini sudah berdiri di hadapan Rangga. Ia menatap Rangga dengan isyarat penuh kerinduan. Tangan kurusnya nyaris memeluk Rangga tapi ia urungkan. Meski Minjung sangat ingin, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu.
Rangga mendongak sebentar untuk melihat perempuan itu. Rahang Rangga mengeras saat ia langsung mengenali perempuan itu. Perempuan yang sepertinya sudah semakin tua sejak terakhir kali Rangga melihatnya. Yaitu ketika perempuan itu menerobos masuk ke rumah mereka dan hendak membawa paksa Rangga keluar dari rumah Papa dan Mamanya.
"Saya mau bicara sebentar sama kamu. Bisa, kan? Sebentar saja." Tanya Minjung lalu meraih tangan Rangga setelah mempertimbangankan namun malah dihempas oleh Rangga. Sudah Minjung duga kalau Rangga masih membencinya sebesar dulu. Bahkan setelah 20 tahun lebih, Rangga masih tidak bisa memaafkan dirinya.
Seharusnya Minjung sadar akan itu saat Rangga sama sekali tidak membalas pesan darinya dan bahkan memblokir nomornya sesaat setelah Rangga tahu bahwa Minjung-lah yang menghubunginya.
"Saya nggak kenal kamu." Kata Rangga dingin dan bahkan sama sekali tidak mau memandang wanita itu. Kalau ini bukan tempat umum, Rangga pasti sudah mengamuk apa lagi dengan temperemennya yang buruk.
"Saya kangen banget sama kamu, setidaknya biarkan saya peluk kamu sebentar saja. Saya mohon."
Lagi-lagi Rangga menghindar saat Minjung mencoba mendekatimya, "Saya bilang saya nggak kenal sama kamu!" Bentak Rangga yang pada akhirnya tetap membentak walau ia sudah menahan diri. Sekarang mereka sukses menjadi pusat perhatian.
"Ayo balik!" Rangga lantas menarik tangan Gina agar bisa pergi dari tempat ini tanpa harus melihat wajah perempuan itu, perempuan yang bisa dalam sekejab memunculkan kebencian Rangga pada dirinya sendiri.
"Ga! Kamu nggak boleh kasar gitu sama Mama kamu!" Giliran Gina yang mengempaskan tangan Rangga. Sungguh, sudah cukup ia melihat bagaimana Rangga tidak mengakui Minjung sebagai Mamanya dan bahkan sampai membentaknya di depan banyak orang. Dimana hati, Rangga sebenarnya?
Rangga mengerutkan kening, "Bagaimana lo bisa tahu kalau dia..."
Maksud Rangga, tidak ada siapapun yang tahu hubungan Rangga dengan perempuan itu kecuali keluarga Papa dan Mamanya. Lantas bagaimana bisa Gina tahu masalah sensitif, rahasia juga bahkan Rangga anggap adalah sebuah aib ini?
"Dia cuma mau minta maaf dan ketemu kamu aja. Apa itu terlalu sulit?" Kata Gina saat melihat mata Tante Minjung mulai berkaca-kaca. Tapi Rangga rupanya tetap keras kepala.
"Bentar. Kenapa kalian bisa...?" Rangga butuh penjelasan untuk semua ini. Perempuan itu dan Gina, bagaimana mereka bisa...
"Tante Minjung nggak apa-apa, kan?" Gina bertanya kepada Minjung dengan sorot kuatir dan Minjung hanya bisa mengangguk dan interaksi mereka tidak luput dari pengawasan Rangga.
"Apa lo yang bawa dia ke sini?"
Gina mendelik, "Apa itu penting sekarang? Saya cuma..."
"Jadi alasan lo ngebet ngajak gue datang ke sini adalah untuk perempuan ini?" Rangga menunjuk Minjung dengan jarinya yang semakin membuat perempuan kurus itu berderai air mata. Tangisannya bahkan semakin keras.
"Ini bukan salah Gina. Saya yang minta dia mengajak kamu ke sini jadi saya mohon kamu jangan marah sama dia. Semua ini salah saya." Minjung membela Gina tapi dengan cepat disela oleh Gina.
"Tante Minjung itu Mama Mas Rangga! Jangan menyebutnya dengan sebutan perempuan itu. Setidaknya sopanlah sedikit. Dia datang jauh-jauh ke sini dan Mas Rangga malah kasar sama ibu Mas Rangga sendiri. Mas Rangga tega."
Rangga menyerigai, tidak menyangka bahwa Gina dan perempuan itu saling kenal.
"Memangnya lo siapa, huh? Jangan bertingkah seolah‐seolah lo tahu semua hal tentang gue."
Gina memang bukan siapa-siapa di mata Rangga kecuali seorang teman dan seseorang yang memberinya bayaran karena nyanyiannya di Flip. Namun memang beginilah dirinya, seseorang yang suka ikut campur masalah orang lain walau di kasus sebelumnya membuktikan bahwa ikut campur masalah orang hanya akan membawa dirinya masuk dalam masalah itu. Dan itu tidak membawa keuntungan apa-apa baginya tapi justru penyesalan di akhir.
"Sebagai teman, saya cuma..."
Rangga memotong sebelum Gina menyelesaikan kalimatnya, "Lo nggak berhak memberi gue saran apapun, baik tentang apa yang harus dan nggak harus gue lakuin karena lo nggak tahu apa yang gue alamin. Hanya karena gue nganggap lo teman, itu nggak ngasih lo hak mengkritik perilaku gue." Jelas Rangga.
Kalimat Rangga jelaslah membuat Jantung Gina terasa ditusuk belati tajam meski kalimat itu ada benarnya juga. Tapi sebagai sama-sama anak yang dilahirkan oleh perempuan, Gina tidak bisa berdiam diri dengan apa yang dilihat dan didengarnya langsung. Itu sangat mengganggu nuraninya.
"Mas Rangga boleh marah sama saya, bentak atau kasar sama saya tapi please jangan begitu sama Mama Mas Rangga. Setidaknya kasih Tante Minjung kesempatan buat ngomong sebentar aja. Memangnya itu sulit? Tidak, kan?" Ujar Gina mengabaikan ujaran pedas yang baru saja Rangga tujukan padanya.
"Perempuan itu bukan Mama gue."
.
Selamat datang di SMALS lagi. Semoga kalian tidak lupa dengan cerita ini, maklum aku update lamaaaaaa banget padahal di blurb aku tulis twice a week. Tapi the fact is....
I wonder how... i wonder why... yesterday i told you bout the blue blue sky... (me: apaan sih?)
Sori yeh!
.