Halo ... apa kabar?
Semoga sehat dan bahagia selalu ya 😁
Happy reading ....
•••
Alana menggeliat, seraya membuka mata secara perlahan. Berkedip beberapa kali, guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam netranya. Setelah itu, duduk di ranjang serba Doraemon yang empuk dan nyaman miliknya. Sekilas melirik jam weker di nakas, lalu menghela napas panjang.
"Baru jam tujuh malem. Tumben banget aku pulang cepet, padahal tadi kayanya lagi makan bakso deh. Apa doaku terkabul kali ya? Pengen jauh dari Pak Dev."
Seketika matanya terbelalak, mengingat kejadian saat membeli bakso tadi siang.
"Pak Dev!" teriaknya, melompat dari kasur kemudian berlari keluar kamar. Tergesa-gesa menuruni undakan tangga, sampai hampir terjatuh jika tangannya tidak berpegangan.
"Pelan-pelan, Nak ... nanti jatuh," tutur Nia, yang mendapati anak semata wayangnya terengah-engah di anak tangga terakhir.
"Bu, Pak Dev--"
"Oh, Nak Dev, ada di ruang tamu. Sana temuin, sekalian bawa minuman sama cemilan ini ya. Tadi kamu pingsan, dia yang nganterin. Habis maghrib dia ke sini lagi, takut kamu sakit katanya."
Wanita paruh baya itu menyerahkan nampan berisi segelas teh manis serta makanan ringan pada putrinya, dan kembali ke dapur begitu saja. Sedangkan Alana hanya bisa menghela napas berat, sebelum akhirnya melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan telapak tangan, bersama dengan jantung berdebar kencang, serta tubuh gemetar. Gugup. Entahlah, padahal ia sudah biasa bertemu dengan Devano, tetapi setelah kejadian tadi siang keberanian dalam dirinya hilang begitu saja.
Sejenak menghentikan langkah, menatap lekat pria yang tengah duduk di sofa. Sungguh, ia tidak bisa berpaling dari Devano yang tampak semakin tampan saat mengenakan kaos putih dipadu celana, jaket jeans, serta jam tangan hitam. Terpesona.
"P-pak Dev, s-si-lah-kan di-nik-ma-ti." Meletakkan minuman dan makanan di atas meja, tanpa menoleh sedikitpun ke arah pria itu. Kemudian duduk di sofa, seraya memeluk nampan. Kepalanya terus menunduk, tak berani beradu pandang dengan sang mantan. Malu-malu kucing.
"Tadi aku udah bilang sama Ibu kamu." Devano membuka pembicaraan, sambil menyeruput teh manis yang disuguhkan.
"Bi-bilang apa?" tanya Alana gagap.
"Mau ngelamar kamu."
"APA!" Gadis itu mendongak. Netranya terbelalak, terlonjak kaget mendengar pernyataan Devano. Namun, dalam hati yang terdalam, ia berharap bahwa kejadian saat ini bukanlah mimpi semata.
"Ibu udah setuju. Jadi, tinggal nunggu kamu siap, setelah itu kita nikah," balas Devano dengan entengnya, seolah tak menyadari betapa gugup gadis di depannya saat ini.
Dua puluh detik sudah berlalu, tetapi Alana tak kunjung membuka suara. Masih terdiam mematung, dengan mulut mengaga akibat terlalu terkejut. Bingung harus berekspresi seperti apa, tetapi hatinya berdesir hangat hingga rona merah menyeruak di pipi tembemnya. Ya, dia sangat bahagia melihat kesungguhan Devano, yang benar-benar meminta izin pada sang ibu untuk melamarnya. Karena terlalu bahagia, tanpa disadari air sebening embun mengalir membasahi pipi. Terharu.
"Jangan nangis," tutur Devano lembut.
"Eh?" Gadis cantik itu langsung menyeka air matanya. "M-ma-af, Pak, saya masih nggak nyangka kalo mantan sekaligus bos yang jutek, galak, nyebelin, dan dingin kaya Bapak ... tiba-tiba ngelamar saya."
Devano tersenyum tipis. "Kayanya, aku emang nggak ada bagusnya di mata kamu. Tapi, apa kamu bersedia menerima lamaran ini?"
"IYA, PAK, SAYA BERSEDIA!" teriak Alana penuh antusias, diakhiri senyuman lebar yang menggambarkan suasana hatinya saat ini.
Pria jangkung itu terkekeh kecil, melihat tingkah Alana. Sejenak menghela napas, lalu menautkan kedua tangan di paha. Menatap setiap inci wajah cantik gadis itu yang merah merona.
"Ya udah, sana siap-siap," titahnya.
Dahi Alana berkerut. "Kita mau nikah sekarang, Pak? Waduh, kalo itu saya belum si--"
"Jangan kepedean," potong Devano cepat.
"Terus?"
"Cuma pengen ngajak calon istri, makan malam di luar."
Degh.
Rasanya jantung Alana seakan berhenti berdetak, tepat setelah Devano menyebutnya sebagai calon istri. Sungguh, rasanya ia ingin melompat seraya berteriak agar dunia mengetahui kebahagiannya. Kata-kata sederhana yang diucapkan oleh pria berparas tampan itu, selalu mampu membuat hatinya berdesir hangat. Andaikan bisa, dirinya ingin menghentikan waktu agar momen indah ini tidak pernah berakhir.
"Ya udah, a-aku siap-siap dulu ya, Calon Suami," balasnya malu-malu, kemudian berlari meninggalkan Devano yang tersenyum samar melihat tingkahnya. Lucu sekali.
•••
Setelah makan malam di luar bersama Nia, kini Devano dan Alana duduk berdampingan di taman belakang rumah berlantai dua itu ditemani obrolan ringan yang sesekali mengundang tawa.
"Makasih ya, Pak, udah ngajak saya sama ibu makan malam," ujar Alana.
"Jangan manggil 'Pak', kecuali di kantor," titah Devano.
Gadis itu tersenyum kikuk, seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Salah tingkah. "Maaf, belum terbiasa. Hehe ... kalau manggil, "Mas", boleh?"
Devano berdehem, mengiyakan pertanyaan calon istri. "Boleh. Oiya, satu lagi, nggak usah bicara formal, selain di kantor."
"Iya, Mas," jawab Alana, setelahnya merunduk merasa malu.
Rasanya, ia ingin jungkir balik akibat terlalu bahagia. Sungguh, dirinya sangat bersyukur mendapatkan calon suami seperti Devano, yang tidak hanya menyayanginya, tetapi juga sang ibu. Bahkan pria itu mengajak ibunya ikut serta makan malam di restoran, agar tidak kesepian di rumah seorang diri. Idaman setiap wanita.
"Bagus. Ini baru namanya calon istri penurut." Devano tersenyum manis, sambil mengacak akar rambut Alana. Gemas.
"Mas ...," rengek Alana.
"Hm."
"Bisa tolong geser ke sana, nggak?" tanya Alana.
Pria itu mengerutkan dahi. "Kenapa?"
"Aku takut jantungan, kalo deket kamu."
Alih-alih mendengarkan ucapan Alana, Devano justru terkekeh geli kemudian berbaring di pangkuannya. Tak peduli meski harus mendengar omelan dan sumpah serapah, ia sudah kebal. Senang rasanya, bisa menikmati keindahan langit malam yang bertabur bintang bersama gadis yang selama ini sangat dicintainya. Walaupun tahu, mungkin saja esok hari akan ada masalah dan rintangan yang menggoyahkan hubungan mereka, tetapi dirinya akan berusaha untuk mempertahankan hubungan ini. Tidak ingin kejadian di masa lalu terulang kembali.
Bibir gadis itu melengkung membentuk senyuman indah bak bulan sabit, kala melihat Devano tertidur di pangkuannya. Perlahan tangannya terulur mengusap lembut rambut hitam pria itu, seraya memperhatikan setiap inci wajah tampannya yang tampak polos saat terlelap. Menggemaskan.
"Maaf ya, aku belum bisa nikah sama kamu, sebelum Ayah balik lagi kaya dulu. Karena impianku adalah pengen banget didampingi Ayah, disaat kita akan menikah suatu hari nanti. Semoga kamu sabar ya, nunggu sampe waktu itu tiba. Makasih juga, udah mau nerima aku apa adanya. Dan maaf juga, karena udah pernah nuduh dan benci sama kamu gara-gara keegoisanku. Aku sayang kamu." Tersenyum tipis, lalu mengecup lembut kening Devano.
'Aku juga sayang kamu,' batin Devano.
•••
Jam dinding menunjukkan pukul 08.30 pagi, Alana berlari tergesa-gesa keluar dari dalam lift menuju ruangan CEO. Sial. Lagi-lagi ia terlambat masuk kerja, karena bangun kesiangan. Akibat terlalu bahagia, semalam tidurnya jadi sangat pulas. Hingga berakhir dengan bangun kesiangan, padahal sudah dibangunkan oleh sang ibu berkali-kali.
Tangannya terulur membuka pintu secara perlahan, kemudian masuk ke dalam ruangan. Menghentikan langkah tepat di depan meja kerja Devano, dengan napas tersengal-sengal serta peluh membasahi wajah cantiknya.
"Saya mau, semua berkas-berkas ini selesai sebelum makan siang. Dan satu lagi, gaji kamu bulan ini akan saya potong! Saya tidak suka orang-orang yang menyepelekan masalah pekerjaan, contohnya seperti kamu. Datang ke kantor selalu terlambat, padahal jalan dari rumah ke sini tidak macet!" sindir Devano.
"T-tapi, Pak--"
"Jika kamu membantah, hukuman akan bertambah dua kali lipat!"
Gadis itu menatap Devano tajam. Napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan tangannya terkepal kuat berusaha menahan api amarah yang sudah berkobar dalam diri. Rasanya, ia ingin sekali mencakar wajah datar itu sampai puas, karena sikap sang kekasih benar-benar berbeda 180 derajat. Jika di rumah sikap pria itu sangat romantis, baik, dan menggemaskan, maka di kantor sebaliknya. Devano sangat menyebalkan, sampai dia harus Mati-matian menahan kesal.
Bagaimana bisa, CEO muda itu menyuruhnya menyelesaikan tumpukan berkas-berkas yang sangat banyak, dan harus selesai sebelum makan siang. Sialan memang. Untung sayang, coba kalau tidak? Sudah dia tendang bokongnya saat ini juga. Itu pun kalau berani.
"Iya, Pak, saya akan mengerjakannya sekarang juga."
Devano menatap Alana datar. "Harus."
"Hahahaha." Alana tertawa paksa. "Iya, Pak ... maaf, karena saya terlambat lagi. Soalnya, semalem saya bahagi--"
"Saya bukan tempat curhat," sela Devano.
Gadis itu menghela napas, guna menetralisir amarah yang menggebu-gebu. Setelah itu, mengabil setumpuk berkas di meja Devano, dan berjalan menuju meja kerjanya. Tentunya, dengan sumpah serapah yang ditujukan untuk pria itu dalam hati, karena tidak berani mengatai secara terang-terangan.
Jam 11.30 siang, Alana terus membuka lembar demi lembar berkas yang harus dikerjakan. Waktu istirahat hampir tiba, tetapi masih banyak yang belum selesai. Ah, dia benar-benar benci pada CEO perusahaan RM Group, karena selalu memarahi dan menghukumnya tanpa belas kasih.
Namun di sisi lain, dirinya bangga pada Devano. Pasalnya, pria itu bisa membedakan urusan pekerjaan dan pribadi, seolah memiliki kembaran dengan sikap yang sangat bertolak belakang. Ia suka keduanya. Sangat.
Alana menutup berkas, kemudian beranjak dari tempat duduk saat jam istirahat tiba. Segera melangkahkan kaki, tidak sabar ingin menikmati mie ayam dan es jeruk di kantin perusahaan. Ia perlu tenaga lebih, agar bisa menghadapi sikap dan tugas yang diberikan oleh Devano.
"Kemana?" tanya Devano, yang langsung membuat langkah sekretarisnya terhenti.
"Nyari udara seger. Males berbagi oksigen sama bos galak!" jawab Alana, tanpa menoleh.
"Kamu marah?"
"Ha-ha-ha! Kenapa saya harus marah? Emangnya, saya siapa? Maaf ya, Pak ... saya itu nggak berhak marah sama Bapak, tapi saya itu lagi kesel banget sama calon sua--Ups!" Alana menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. "Maaf, saya lupa kalo Bapak bukan tempat curhat. Kalo gitu, saya permisi dulu, Pak."
Tersenyum selebar mungkin, dan berlalu pergi.
Lima belas menit menit kemudian, Devano memutuskan untuk pergi menyusul Alana setelah pekerjaannya selesai. Ia hanya tersenyum tipis, saat karyawan yang berpapasan dengannya menundukkan kepala sopan.
"Pak Dev!"
Pria itu mengerutkan kening, saat baru keluar dari dalam lift tiba-tiba disambut oleh Silvi yang berdiri di hadapannya dengan napas tersengal-sengal.
"Ada apa?" tanyanya.
"A-lana."
"Alana kenapa?"
"Di luar--"
Devano langsung berjalan melewati Silvi, tanpa menunggu penjelasannya. Seketika tatapannya menajam, napas memburu, rahang mengeras, hingga urat lehernya terlihat jelas. Pun dengan tangannya yang terkepal kuat, saat melihat ....
•••
Bersambung ....
[Jangan lupa vote, komentar, dan krisannya 🙏]
Hayo ... Devano melihat apa?
Spam next sebanyak-banyaknya 💪😁
Tulis satu kalimat buat part ini.
Satu kalimat buat Devano.
Satu kalimat buat Alana.
Satu kalimat buat Silvi.
Satu kalimat buat Bu Nia.
Hua ... ada yang kangen si Tiang Listrik, nggak? Udah lama dia nggak nongol. Wkwk
Sampai jumpa di part selanjutnya 😁