"Aku rindu senyuman itu, rindu tawa renyah itu, rindu sifat menyebalkan itu. Benarkah kini hatiku telah menjadi milikmu?"
Jihan Makaila Fakhirah
_My Future_
***
Jihan tengah termenung di balkon kamarnya sembari menatap rinai hujan yang sedari tadi tak ingin berhenti. Ia termenung memikirkan sifat Arfan akhir-akhir ini berubah menjadi cuek dan dingin padanya.
Ia memang belum sepenuhnya mencintai Arfan, tapi rasa tak ingin kehilangan itu hadir dalam hati Jihan, mengingat belakangan ini Arfan mulai menjauhinya.
Ia menghela napas sejenak, menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan terjadi, ia terus berpikir positif.
"Ya Allah, ada apa dengan suami hamba belakangan ini? Kenapa sikapnya berubah pada hamba?" gumam Jihan dengan kedua bola mata yang sudah siap meluncurkan butiran airnya.
Ponselnya berdering pertanda sebuah panggilan masuk, ia melihat nama Abil yang tertera di layar panggilannya. Segera ia menggeser icon berwarna hijau untuk menerima panggilan tersebut.
"Halo, Jihan! Assalamualaikum." Suara Abil terdengar seperti seseorang yang tengah gelisah.
"Iya. Waalaikumsalam, ada apa, Kak?" tanya Jihan penasaran.
"Kamu, sama Arfan lagi baik-baik saja kan?"
Jihan terdiam mendengar pernyataan Abil, nyatanya hubungannya dengan sang suami akhir-akhir ini merenggang. Ia bingung harus menjawabnya bagaiman, hingga panggilan Abil dari seberang sana kembali menyadarkannya.
"Halo! Jihan, kamu masih di sana kan?"
"Eh, i-iya Kak, kita baik-baik saja kok, malahan Mas Arfan sangat romantis," ujar Jihan beralibi, ia tak mau kerenggangan hubungannya dengan Arfan terdengar oleh orang lain. Helaan napas Abil terdengar oleh Jihan, membuatnya gelisah apalagi setelah mendengar pertanyaan Abil tadi.
"Syukurlah," gumam Abil pelan, akan tetapi masih bisa didengar oleh indra pendengaran Jihan.
"Memangnya kenapa, Kak?" tanya Jihan dengan ragu. Abil terdengar menghela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Jihan.
"Enggak, mungkin aku salah lihat."
"Lihat apa, Kak?" tanya Jihan dengan was-was.
"Seseorang yang mungkin mirip sama Arfan sedang bersama seorang perempuan. Tapi, ya enggak mungkin lah itu Arfan kan, aku tahu banget bagaimana Arfan itu." Mendengar penuturan Abil membuat kedua kaki Jihan lemas seketika. Berbagai macam pikiran negatif mulai menghampirinya.
"I-iya, Kak."
"Ya sudah, saya hanya mau memastikan kalau penglihatan saya tadi salah. Saya tutup, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Jihan terduduk lemas di pinggir kasur, kakinya tiba-tiba lemas bersamaan dengan air matanya yang sudah meluruh membentuk aliran sungai kecil di pipinya.
"
Mas, sebenarnya ada apa denganmu?" gumam Jihan dengan lirih. Ia takut, kilasan bayang-bayang masa lalu kembali hadir saat paman dan bibinya bertengkar hebat dan berakhir pada sebuah perpisahan.
***
"Kamu, mau kan bantu saya? Saya mohon!" pinta Arfan yang terus saja memohon pada wanita di depannya itu.
"Tapi," ucap wanita itu menggantung.
"Pliss!" pinta Arfan memohon.
"Bagaimana dengan dia?"
"Dia akan baik-baik saja, percayalah! Aku mohon, ya?"
Wanita tersebut menghela napasnya pelan, setelah itu mengangguk pelan. Ia tak tahu apakah keputusannya ini baik atau tidak ke depannya, ia menatap iba ke arah pria rapuh di depannya ini.
Sebenarnya ia sangat enggan untuk melaksanakan permintaan pria di depannya ini, tapi … ia tak tega saat mendapati wajah sayu yang tengah memohon padanya itu.
"Kamu yakin, keputusanmu sudah tepat?" tanya wanita tersebut untuk meyakinkan.
"Aku yakin, karena aku nggak mau lagi memaksakan dua hati yang sulit untuk disatukan," ujarnya sendu, bahkan penampilannya itu tampak begitu kacau.
Wanita itu adalah Sandra, teman dekatnya sekaligus tetangga barunya dulu ketika ia dan keluarga baru saja pindah rumah.
Rumah mereka bersebelahan, jadi tak ayal kalau mereka begitu dekat, apalagi mengingat Sandra itu adalah cewek yang mudah sekali bergaul dengan siapapun termasuk kaum adam, tetapi meski begitu ia mampu menjaga batasan pertemanan antara perempuan dan laki-laki.
Sandra menatap prihatin ke arah Arfan, sosok pahlawan baginya itu. Pria di depannya itu akan maju di depan ketika ada yang mau mengganggunya.
"Kamu nggak mau perjuangin dia lagi? Bukankah dari awal kamu mengatakan bahwa di memang sedang mencintai orang lain, dan kamu akan mengambil posisi itu?" tanya Sandra mengingatkan. Arfan terdiam sejenak, setelahnya ia hanya menggelengkan kepalanya pelan.
"Dulu memang seperti itu, tapi nyatanya sampai saat ini dia masih saja membohongi perasaannya, aku tak mau menyakitinya lebih jauh lagi. Makanya, aku akan mengakhirinya," ucap Arfan sembari menunduk menyembunyikan air matanya yang sedari tadi berdesakan ingin keluar
Sandra menatap ke arah Arfan tak percaya, seorang Arfan berucap sedemikian rupanya? Rasanya begitu sulit untuk dimengerti.
"Mengakhirinya?" gumam Sandra membeo, yang hanya dibalas dengan kebungkaman Arfan.
Sandra menggeleng tak percaya, ia kasihan pada Arfan, tapi dalam hati kecilnya ia tak bisa menyalahkan Jihan sepenuhnya.
"Tapi bukankah dia sudah berusaha untuk mencintaimu?" Arfan terdiam dan terus menunduk.
"Bukan berusaha, ia hanya menjalankan perannya saja, pura-pura," lirih Arfan sembari menahan cairan bening yang siap meluncur dari pelupuknya.
Sandra terdiam, matanya kini ikut memanas melihat seseorang yang disayanginya sejak dahulu, sebelum Arfan masuk pesantren dan jadi hero nya setelah sang ayah.
***
Abil tengah menemani Aisyah untuk berbelanja oleh-oleh karena ini adalah hari terakhirnya menginjakkan kaki di negri ini. Besok ia akan terbang kembali ke Indonesia untuk kembali ke rutinitas sedia kala.
"Kak, makan yuk!" Aisyah memohon pada Abil yanh kini tengah menatapnya jengah. Tapi tak lama kemudian Abil mengangguk membuat Aisyah tersenyum bahagia.
Saat mereka berdua hendak memasuki kafe, Aisyah terdiam mematung mendapati seseorang yang sangat familiar itu. Tapi, ia berusaha menepiskan pikirannya, mana mungkin dia akan sejahat itu.
"Ada apa, Syah?" tanya Abil penasaran, akan tetapi ia tak mengindahkan pertanyaan Abil, hingga Abil pun mengikuti arah pandangan Aisyah. Hatinya mencelos melihat seseorang di sana yang tengah tertawa tanpa tahu ada hati yang tersakiti saat mengetahui kelakuan mereka.
Itu bukannya … ah enggak mungkin, tepisnya dalam hati.
"Kak, mereka sedang baik-baik saja, kan?"
"Aku harap."
"Coba tanya ke dia!"
Abil menghela napas lelah, "Iya, sebentar."
Abil kembali mengambil napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan kasar setelah panggilan itu berakhir.
"Bagaimana, Kak?"
"Mereka baik-baik saja, kamu tenang, mungkin kita salah orang."
Aisyah mengangguk pelan, jujur saja ia masih belum bisa percaya bahwa hubungan sahabatnya itu baik-baik saja.
"Ya sudah, ayo makan!"
"Iya."
***
Waktu semakin larut, kini telah menunjukkan pukul 22.15. Namun, sampai jam segini ia belum mendapati tanda-tanda kepulangan sang suami. Ia bahkan mengabaikan rasa kantuk yang mulai menyerangnya, sudah berkali-kali ia menguap.
Tanpa Jihan sadari, ia kini sudah menuju alam mimpinya karena rasa kantuk yang sudah tak bisa ditahan lagi. Ia tertidur dengan posisi meringkuk di atas sofa tanpa bantal apalagi selimut.
Pukul 23.00 suara kendaraan masuk ke garasi, siapa lagi kalau bukan Arfan. Tapi, suara mesin kendaraan itu tak mampu membangunkan Jihan dari tidur lelapnya, hingga suara pintu terbuka dan muncul Arfan dengan wajah lelah dan sayu nya.
Arfan berjalan mendekati sang istri yang tengah terlelap, rasa kecewanya telah membuatnya tega tak membangunkan sang istri. Ia hanya melihat wajah terlelap sang istri sesaat, kemudian berjalan begitu saja tanpa mau memindahkannya atau sekedar membangunkan.
Jihan terbangun dengan sendirinya pada jam tiga dini hari, ia kelabakan sendiri. Bagaimana bisa ia malah ketiduran sebelum menyambut kepulangan suaminya.
"Astaghfirullohal'adzim! Aduh Jihan! Kenapa pakek acara ketiduran segala sih!" gerutunya kesal saat mendapati jam yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Ia merutuki kecerobohannya sendiri.
Setelah melihat jam, ia beranjak menuju ke ruang makan yang tadinya sudah ia siapkan makan malam untuk sang suami. Ia tersenyum tipis saat makanan itu telah tersentuh oleh Arfan, ia tak sia-sia menyiapkan makan malam tadi.
Akan tetapi senyuman itu kembali meredup kala Arfan tak membangunkannya atau memindahkan dirinya ke kamar seperti saat dulu, ketika ia tertidur karena menunggu kepulangan Jihan, pasti Arfan akan memindahkannya ke kamar. Mengingat itu semua, membuat Jihan rindu dengan sang suami.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak, follow, vote and comment 😇
Jadilah pembaca yang bijak ya 😉