"Aku belum pernah kencan sebelumnya," kata Harry memulai percakapan.
Hermione terlihat bersemangat, dia meletakan pena bulunya dan duduk bersama Ron dan Harry di dekat perapian. "Well, Harry, kau harus membuatnya terkesan dalam kencan pertama.."
Ron kebingungan, begitu pun Harry. "Apa yang harus kuperbuat untuknya?"
Dia mencoba membayangkan pergi ke suatu tempat bersama Wednesday-- Madam Puddifoot, mungkin -- dan sendirian dengannya selama berjam-jam untuk suatu waktu. Ya, dia sudah suka Wednesday semenjak melihatnya main di Quiddicth, dia membayangkan adegan yang melibatkan mereka berdua selalu menampilkan Wednesday yang sedang bersenang-senang, tapi bagaimana caranya Harry bisa membuat dia senang nanti?
Hermione menghela napas, "Puisi.. Puisi Valentine.. mungkin?"
"Puisi?" tanya Ron. Ron sedikit terkikik karena membayangkan Harry harus menulis puisi romantis, tapi Hermione kelihatannya serius. "Kau bercanda, kan?" Hermione melirik Ron dan Ron pun diam. Hermione seolah-olah tahu apa yang akan disukai oleh perempuan pada hari spesial itu.
"Well, er—apa yang harus kutulis?" Harry bertanya, namun dia juga merasa bodoh atas pertanyaannya.
Hermione bangkit berdiri sambil mengenggam pena bulunya lagi, "Sesuatu yang kau suka tentang dirinya.. atau hal yang menggambarkan perasaanmu padanya, mungkin?"
Di pagi tanggal empat belas itu dia berpakaian dengan hati-hati. Harry dan Ron tiba di makan pagi tepat waktu untuk kedatangan pos burung hantu. Hermione sedang menyentak sebuah surat dari paruh seekor burung hantu cokelat yang tidak dikenal ketika mereka duduk.
"Dan sudah waktunya! Kalau tidak datang hari ini ..." dia berkata, merobek amplop dengan bersemangat dan menarik keluar sepotong kecil perkamen. Matanya bergegas dari kiri ke kanan selagi dia membaca pesan itu dan ekspresi senang membentang di wajahnya.
"Dengar, Harry," Hermione berkata sambil memandangnya, "ini benar-benar penting. Apakah kaupikir kau bisa menemuiku di Three Broomsticks sekitar tengah hari?"
"Well ... aku tak tahu," kata Harry tidak yakin. "Nessie mungkin mengharapkan aku menghabiskan satu hari penuh bersamanya. Kami tidak pernah membicarakan apa yang akan kami lakukan." Harry merasa ada sedikit geli di perutnya, dia menyebut Wednesday dengan panggilan seolah mereka sudah benar-benar akrab.
"Well, bawa dia bersamamu kalau harus," kata Hermione mendesak. "Tapi maukah kau datang?"
"Well ... baiklah, tapi mengapa?"
"Aku tidak punya waktu untuk memberitahu kalian, aku harus menjawab ini cepatcepat."
Dan Hermione bergegas keluar dari Aula Besar, surat itu tergenggam di satu tangan dan sepotong roti panggang di tangan lainnya.
Ron pergi ke lapangan Quidditch dan Harry, setelah mencoba meratakan rambutnya sementara menatap bayangannya di punggung sebuah sendok teh, berjalan sendirian ke Aula Depan untuk menemui Wednesday, merasa sangat gelisah dan bertanya-tanya apa yang akan mereka perbincangkan.
Wednesday sedang menunggunya agak ke samping dari pintu-pintu depan dari kayu ek, terlihat sangat cantik dengan rambutnya diikat ke belakang membentuk ekor kuda.
Kaki Harry tampaknya terlalu besar bagi badannya selagi dia berjalan ke arahnya dan dia mendadak teringat akan lengannya dan bagaimana bodohnya lengan-lengan itu terlihat berayun-ayun di sisi tubuhnya.
"Hai," sapa Wednesday duluan, dia nampak percaya diri dan tenang.
"Hai," balas Harry.
Mereka saling bertatapan selama beberapa saat, lalu Harry berkata, "Well -- er -- kalau begitu, kita pergi?"
"Oh --ya ..."
Mereka bergabung dengan antrian orang-orang yang sedang ditandai oleh Filch, terkadang saling bertatapan satu sama lain dan menyengir dengan segan, tetapi tidak berbicara kepada satu sama lain.
Harry lega ketika mereka mencapai udara segar, mendapati lebih mudah untuk berjalan bersama dalam keheningan daripada cuma berdiri di tempat terlihat canggung.
Hari itu segar, berangin sepoi-sepoi dan ketika mereka melewati stadiun Quidditch Harry melihat Ron dan Ginny sekilas sedang meluncur di atas tribun dan merasakan kepedihan mengerikan bahwa dia tidak ada di atas sana bersama mereka.
"Kau tidak ikut bermain, Harry?" tanya Wednesday. Dia memandang berkeliling dan melihatnya sedang mengamatinya.
"Tidak hari ini," kata Harry sambil menghela napas. "Ginny sedang mencoba berlatih, dia mau bergabung jadi hari ini dia mengisi posisiku,"
"Oh begitu,"
"Yeah," kata Harry sambil nyengir. "Kau sendiri?"
"Well, aku sebenarnya bukan pemain, kan, kau tahu, hanya pengganti Malfoy. Walaupun setelah itu Flint mengajakku masuk tim, tapi kubilang aku sibuk dan akan mencobanya tahun depan,"
Subyek tentang Quidditch membawa mereka sepanjang jalan kereta dan keluar melalui gerbang. Harry hampir tidak bisa percaya betapa mudahnya berbicara dengannya -- tidak lebih sulit, kenyataannya, daripada berbicara dengan Ron dan Hermione.
Harry tidak bisa memikirkan hal lain untuk dikatakan kecuali tentang Quidditch, dan Wednesday, sedang mengamati kakinya.
"Jadi... ke mana kau mau pergi?" Harry bertanya ketika mereka memasuki Hogsmeade. High Street penuh dengan murid-murid yang berjalan ke sana ke mari, mengintip ke dalam toko-toko dan bermain-main bersama di trotoar.
"Um ... apakah kita melihat-lihat di toko-toko saja atau apapun?"
Mereka berjalan menuju Honeydukes dan disana Wednesday membeli beberapa sugar quills.
Ketika mereka lewat Scrivenshaft sudah mulai hujan; tetes-tetes air yang dingin dan berat terus mengenai wajah Harry dan belakang lehernya.
"Apakah kau mau minum kopi?" kata Wednesday ingin tahu, ketika hujan mulai turun semakin deras.
"Yeah, baiklah," kata Harry sambil memandang ke sekitarnya. "Di mana?"
"Madam Puddifoot?" dia berkata dengan cerah, sambil menuntunnya ke jalan samping dan ke dalam sebuah kedai teh kecil yang belum pernah diperhatikan Harry sebelumnya.
Itu adalah tempat yang sesak dan penuh uap di mana semua hal kelihatannya dihiasi dengan jumbai-jumbai atau pita.
"Lihat, dia menghiasnya untuk Hari Valentine!" kata Wednesday sambil menunjuk sejumlah anak kecil bersayap yang berwarna keemasan yang sedang melayang-layang di atas setiap meja bundar kecil, terkadang melemparkan konfeti merah jambu ke atas para pengguna meja.
Wednesday mendengar tempat itu dari beberapa anak perempuan di ruang rekreasi Slytherin tadi pagi. Mereka sedang membicarakan kencan dan menyebut-nyebut tempat itu jadi Wednesday pikir itu tempat yang cocok.. mungkin...
Mereka duduk di meja terakhir yang tersisa, yang berada di samping jendela buram.
Pemandangan sekitar kedai teh itu membuat Wednesday merasa tidak nyaman, dia melihat tempat itu penuh dengan pasangan- pasangan, semuanya sedang berpegangan tangan. Mungkin Harry akan mengharapkan untuk memegang tangannya.
"Apa yang bisa kuambilkan untuk kalian, sayangku?" kata Madam Puddifoot, seorang wanita yang sangat gemuk dengan sanggul hitam berkilat, sambil menyelinap ke meja mereka.
"Tolong dua kopi," kata Wednesday.
Wednesday merasa wajahnya memanas ketika melihat dua orang yang duduk disebelah mereka berciuman, dan dia langsung mencoba menatap ke luar jendela, tetapi jendela itu begitu buram sehingga dia tidak bisa melihat jalan di luar.
Harry juga sama gugupnya, untuk menunda waktu ketika dia harus memandang Wednesday, dia memandang langit-langit seolah-olah memeriksa catnya dan menerima segenggam konfeti di wajahnya dari anak kecil bersayap mereka yang melayang-layang.
"Er ... dengar, apakah kau mau datang bersamaku ke Three Broomsticks pada saat makan siang? Aku akan menemui Hermione Granger di sana."
Wednesday mengangkat alisnya. "Kau akan menemui Hermione Granger?" Wednesday pikir ini bagus, dia pasti bisa mengorek banyak informasi penting.
"Yeah. Well, dia minta aku, jadi kukira akan kulakukan. Apakah kau mau datang bersamaku? Dia bilang tidak masalah kalau kau ikut."
"Oh ... aku akan senang sekali," jawab Wednesday, tersenyum. Harry merasa lega.
Beberapa menit berlalu, tangan Wednesday sedang tergeletak di atas meja di samping kopinya dan Harry merasakan tekanan memuncak untuk memegangnya.
Lakukan saja, dia memberitahu dirinya sendiri, ketika campuran rasa panik dan bersemangat menggelora di dalam dadanya, ulurkan dan raih saja.
Menakjubkan, betapa lebih sulitnya mengulurkan lengannya dua belas inci untuk menyentuhnya daripada untuk menyambar sebuah Snitch yang sedang ngebut dari udara ...
Tetapi persis ketika dia menggerakkan tangannya ke depan, Wednesday memindahkan tangannya dari meja. Wednesday mengambil sesuatu dari tasnya, sebuah kotak cokelat yang telah dihias nuansa Valentine, dia tadi membelinya di Honeydukes diam-diam.
"Ini untukmu, Harry," tanpa basa basi dia langsung menyerahkannya di atas meja. Harry tersipu, tak lama setelah menerimanya, Harry merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan sebuah amplop. "Ini.. untukmu juga.." kata Harry.
Wednesday segera membuka isi amplop itu dan melihat secarik kertas di dalamnya.
Disana tertulis :
Rambut cokelat gelap seperti langit di malam hari, sepasang mata berwarna cokelat yang berkilau seperti bintang
Dan keindahan dari semuanya
Adalah saat aku menatapnya
Untuk membuat pelangi itu dalam pikiranku
Saat dimana aku memikirkanmu
Dan aku ingin menghabiskan waktu denganmu
Hanya kita berdua
Wednesday membacanya dalam hati sambil senyum-senyum dan Harry merasa jantungnya merosot lewat tempatnya yang biasa dan diam di suatu tempat di sekitar pusarnya. "Umm.. aku bukan penulis yang hebat.. tapi—"
"Ini bagus sekali, Harry! Aku suka sekali!" kata Wednesday tepat setelah dia selesai membacanya. Harry kembali tersipu.
"Trims," kata Harry dengan canggung.
Mereka saling berpandangan untuk waktu yang lama. Harry merasakan desakan membara untuk lari dari kedai itu dan, pada saat yang sama, sama sekali tidak mampu menggerakkan kakinya.
Otaknya terasa seperti sudah di-Bekukan.
"Aku benar-benar suka kamu, Nessie," Harry berkata. Dia merasa hatinya sendiri yang bersuara untuk mengeluarkan kalimat itu. Wednesday membeku.
Dia tidak bisa berpikir. Sebuah perasaan geli menjalar di tubuhnya, melumpuhkan lengan, kaki dan otaknya. Harry bergerak maju semakin dekat sampai Wednesday bisa melihat dengan jelas mata hijaunya.
Dalam waktu sekitar satu detik yang dibutuhkannya untuk mengerti, Harry menciumnya.
Wednesday tidak seharusnya merasakan ini. Tidak, memang tidak seharusnya. Dia hanya bersandiwara, tapi mengapa sekarang rasanya seperti memiliki sesuatu, rasanya ada yang bergejolak di dadanya, benar-benar nyata. Terasa hidup. Tapi dia tidak boleh seperti ini.
Dan kemudian, tanpa peringatan apa pun, bekas luka Harry mendadak luar biasa sakitnya. Penderitaan seperti itu seumur hidup belum pernah dialaminya. Kepalanya serasa mau pecah hanya karena kepala itu berada dengan jarak sangat dekat—bahkan mungkin tidak berjarak lagi, dengan gadis yang ada dihadapannya.
—