Namaku Rosa. Mungkin kalian sudah tahu artinya, yaitu mawar. Bukankah nama ini terlihat indah? Haha aku tidak peduli sama sekali. Dan aku tidak peduli arti namaku. Bahkan aku juga tidak peduli siapa yang memberi nama ini padaku. Apa dia adalah ayahku? Atau ibuku? Aku bahkan tak ingin tahu. Lagipula, aku tidak tahu mereka. Kenapa? Karena sedari kecil aku tak melihat keberadaannya. Apa aku peduli? Tidak! Tidak sama sekali, seperti mereka yang menganggapku sampah ini.
Aku hidup bersama kakakku, namanya Dion. Dia satu-satunya orang yang peduli padaku. Padahal, aku sering tak mempedulikan dia. Mungkin aku bisa disebut manusia bodoh yang tak tahu terima kasih. Tapi ini aku dan aku tak peduli itu. Karena hatiku sudah abu, semenjak aku tahu, aku hanya sekedar 'sampah' yang masih diberi kesempatan untuk hidup.
Aku masih duduk di kelas 12 SMA. Kegiatan sehari-hari menuntut ilmu tak seperti orang pada umumnya. Prinsipku datang, dengarkan, tulis, kerjakan, pulang. Aku tak akan bertanya kalau tidak disuruh. Aku juga tak akan bicara kalau tidak diajak bicara. Apa aku bisu? Tidak! Aku tidak bisu. Hanya saja aku bukan orang yang banyak bicara. Apa aku punya teman? Tak ada yang mau berteman denganku. Mungkin mereka tak suka dengan sikapku yang aneh dan cuek ini. Apa aku peduli? Tidak, aku lebih memilih untuk tidir daripada mempedulikan hal semacam itu.
Aku penghuni pojokan kelas, sendiri dan selalu sendiri. Apa aku sedih? Tentu saja tidak. Karena kesendirian ini adalah zona nyamanku. Ada beberapa temanku yang mendekatiku, mungkin mereka berniat untuk mencoba berteman denganku. Tapi aku tak meresponnya. Mungkin mereka membenciku. Terbukti, esoknya tempat dudukku penuh dengan kertas cacian, umpatan dan tak lupa berbagai macam sampah tercecer di mejaku.
Aku Rosa, bukan mawar yang indah. Seperti hidupku yang penuh dengan 'sampah'.
[Brothership, Familyship, & Bromance Area]
[Not BL!]
.
.
.
Perlakuan kasar juga sikap acuh tak acuh menjadi landasan penyesalan mereka saat melihat tubuh itu terbaring kaku di ranjang pesakitan setelah sebelumnya di tangani oleh dokter. Satu kalimat yang keluar menyentak begitu dalam relung hati mengingat semua duka yang tertoreh pada sosok lembut itu.
"Tuan muda telah tiada."
Begitu katanya.
Sangat singkat namun kalimat itu tidak pernah ingin mereka dengar. Tidak sekali pun dalam hidup mereka.
Jika saja kesempatan kedua itu ada, maka izinkan mereka untuk menebusnya. Memberikan kehidupan lebih baik padanya yang mengulas luka penyesalan paling dalam bahkan tanpa sebuah kata.
"Mendekat lah, papa ingin mendengar detak jantung mu."
"Jangan makan makanan tidak sehat! Bawa bekal saja dari rumah."
"Jika berani bergadang, aku akan tidur sembari memelukmu hingga pagi."
"Diam saja di sana, olahraga berat tidak baik untuk tubuh mu yang lemah."
"Kenapa kalian semua bertingkah aneh seperti aku orang tua berusia seratus tahun?"
.
.
.
Bunga Hyacinth melambangkan duka, penyesalan, kecemburuan dan iri hati. Dalam mitosnya Hyacinth tumbuh dari darah seorang pemuda yang sangat di sayangi oleh Apollo dan Zephyr, dan dia terbunuh karena rasa iri Zephyr pada kedekatan antara si pemuda dan Apollo. Tetapi di sisi lain, Hyacinth juga memiliki makna pengampunan atas kesalahan orang lain.