Dipaksa untuk menjadi kuat. Dituntut untuk mandiri. Dicetak agar tahan banting. Karenanya, bolehlah bila saya menjadi wanita yang bukan berfikir dengan hati, tapi main logika. Menangis? Oh no. Hanya beberapa hal yang mampu menumpahkan bendungan supra orbita saya. Bukan sesuatu yang istimewa juga menghabiskan belasan tahun menjadi saudara sepersusuannya. Tapi, pada suatu kondisi. "Yowes iki maemen, aku tak sholat sek. Ngko tumbas ae yo", katanya, sambil menyodorkan sekotak nasi ayam K** yang seharusnya menjadi jatah makan siangnya. (Ternyata, dia melirik semua harganya) "Ayo wes metu. Nggak usah nek kene.", katanya mengelak. "Loh, rapopo to. Sekali-sekali maem sing rodo enak." "Enggak". Bukannya tidak lapar, tapi, dada ini sesak menahan isak, tangis.