Prolog

14 3 1
                                    


Tidak ada yang lebih menyedihkan untuk kulihat saat ini,

Selain wajah Bapakku yang selalu termenung saat jam lima sore di teras belakang rumah.

Kematian ibu sudah berada di angka dua tahun

Tapi, sepertinya, Bapak tak akan pernah bisa melupakan sosok cinta sejatinya.

Bapak selalu begitu. Setiap pulang kerja, dia tak akan langsung masuk ke dalam rumah, malah menuju bagian belakang rumah dan duduk di terasnya. Dia akan menghabiskan waktu hingga menjelang magrib di sana. Duduk, memandangi aneka tanaman yang ditanamnya bersama ibu, tanpa melakukan hal lainnya.

Kalau sudah begitu, aku akan buru-buru menyeduhkan teh manis hangat dan menyuguhkan kue-kue kering atau basah di sebelahnya. Lalu, aku akan kembali ke dalam rumah setelah Bapak mengucapkan terima kasih tanpa menolehkan wajahnya.

Ritual sore seperti itu makin hening sejak kematian ibu dua tahun lalu. Dahulu, Bapak akan menghabiskan waktunya bersama ibu di teras belakang itu. Bapak melepas lelah sepulang kerja dan ibu sibuk menata atau menyiram tanamannya. Bapak hanya memandang ibu dengan segala aktivitasnya. Seolah, sosok ibu bisa menjadi obat dari segala lelahnya. Mungkin, begitulah cinta.

Saat ini, aku hanya sanggup melihatnya dari balik pintu. Aku sangat memahami kebiasaan ini dan tak pernah mengganggunya. Jika sudah masuk ke dalam rumah, Bapak akan kembali berinteraksi dengan secara wajar.

Aku, Shanum.

Anak bungsu dari pak Adhicandra, seorang Pimpinan Cabang sebuah perusahaan perbankan. Sejak kematian ibu, aku memutuskan untuk menemani Bapak dan menggantikan pekerjaan ibu mengurus rumah tangga. Beruntungnya aku yang lahir dan tinggal di Sleman, Jogjakarta. Di kanan dan kiri rumah kami adalah saudara-saudara dari pihak Bapak serta Ibu. Aku tak merasa kesepian.

Banyak keluarga yang membantuku dan Bapak saat awal-awal kepergian ibu. Apalagi kakakku satu-satunya sudah memutuskan untuk tinggal di Singapura sesuai dengan arahan tempatnya bekerja.

"Nduk, sini, duduk. Bapak mau bicara."

Aku segera mematikan kompor yang tengah menghangatkan makanan. Kalau sudah mendengar nada bicara rendah, dalam dan tegas itu, pasti ada hal yang sangat serius.

"Njih Bapak," aku mengambil tempat duduk di sebelah kanannya. Suasana meja makan itu terasa semakin sepi.

"Bapak dapat tugas di tempat baru. kita dapat rumah dinas di sana. Kalau misalnya kerjaan mengajarmu di sini tidak bisa ditinggal, ya, ndak apa-apa. Bapak sendiri saja. Lagi pula, kasihan itu anak-anak kecilnya sudah pada lengket sama kamu."

Begitulah Bapak, selalu tidak mau membuat anak-anaknya khawatir tentang keadaannya. Bapak memang masih segar di usia awal 50 an. Selalu menganggap bahwa dia sanggup melakukan apa pun sendiri.

"Bapak dipindah kemana?" tanyaku.

"Ke daerah Jawa Barat. Cikidang. Dekat kok, dari tol. Jadi kalau dihitung hanya lima jam perjalanan dari Jogja."

Aku hanya mengangguk. Bagiku, sudah harga mati untuk menemani Bapak bertugas kemana pun. 

ShanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang