My Own Way

4 0 0
                                    


Ibu mengetuk pintu kamar Risa perlahan. Tidak ada jawaban. Tampaknya, penghuni kamar itu sedang memberlakukan mode silent. Mulutnya sengaja dijahit untuk menahan amarah, supaya luapan emosinya tidak benar-benar meledak. Untungnya, pintu kamar Risa tidak pernah dikunci. Orangtua Risa memang tidak pernah memperbolehkan anaknya mengunci kamar. Mereka takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi Ibunya yang sangat khawatir gara-gara sering melihat adegan gadis bunuh diri di sinetron-sinetron. Tampak Risa sedang tengkurap di atas tempat tidur bersprei putih. Ibunya menghampiri dengan perlahan.

"Maafkan Ayah dan Ibu. Kami tidak pernah bermaksud membatasi kebebasanmu." Ibu membuka percakapan setelah menggeser kursi meja belajar Risa dan mendudukinya, mendekati posisi anak semata wayangnya yang sedang meluruskan tulang punggungnya. Risa mengangguk. Sepertinya gadis itu sudah mulai stabil emosinya.

"Ingat Ibu sama Ayah dulu tidak pernah memiliki kesempatan untuk kuliah, kami jadi nggak ingin semuanya terulang pada Kamu. Kamu adalah malaikat di keluarga kecil ini." Ibu tampak berusaha menyentuh hati Risa. Dia ingin mendengarkan keluh kesah anak gadisnya itu. Mendapat jawaban dari alasan mengapa Risa tidak mau kuliah.

"Risa nggak suka sekolah, Bu. Risa punya rencana sendiri untuk sukses. Bukankah sukses itu artinya bisa bahagia di kemudian hari? Risa yakin kuliah bukan satu-satunya cara. Banyak orang yang punya ijasah sarjana tapi pengangguran. Sebaliknya, banyak juga yang nggak kuliah tinggi tapi bisa menjadi milyarder, Risa cuma ingin bisa bermanfaat bagi orang banyak. Bisa beramal dan berbagi, memudahkan hidup orang lain."

Aduh, Kamu kan bukan pejabat pemerintahan Risa. Buat apa mikirin nasib orang lain? Batin Ibu. Wanita berpostur tubuh langsing itu hanya bisa menghela nafas panjang. Entah dia harus bangga atau sedih dengan sikap anaknya ini.

"Ibu terharu, Nak. Kamu selalu ingin membahagiakan orang di sekelilingmu. Kami pun bangga punya anak seperti Kamu. Tapi, apa Kamu tega melihat orangtuamu kecewa karena merasa belum menjadi orangtua sepenuhnya? Kami merasa belum bisa melancarkan jalan suksesmu jika Kamu tidak mau kuliah. Ah, Ibumu yang egois ini pasti akan menyalahkan diri sendiri sampai maut menjemput." Drama dimulai. Ibu Risa mengeluarkan tisu yang dari tadi telah tergenggam di tangannya. Dia menunggu Respon Risa. Biasanya, gadis itu tidak pernah tega melihat airmata orangtuanya keluar. Apalagi dikarenakan dirinya. Ibu mulai menghitung, 1... 2... 3... 4... Risa tetap bergeming.

"Atau mungkin Kamu bisa kuliah sambil merintis usaha? Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Kami senang, Kamu senang, tidak akan ada yang kecewa." Airmata Ibu langsung mengering. Aktingnya memang sudah tidak sebagus dulu yang bisa menangis selama berjam-jam.

"Nanti Risa pikirkan lagi."

"Ibu tunggu jawabannya saat makan malam nanti ya, Sayang. Selamat berpikir. Jangan lupa tanya sama Allah." Ibu segera beranjak dari duduknya, menutup pelan pintu kamar Risa yang sejak tadi terbuka. Ternyata Ayahnya telah mengawasi apa yang sedang terjadi.

"Sudah, Bu? Sepertinya nggak akan berhasil." Ayah tampak putus asa.

"Tenang, Yah. Masih ada rencana kedua. Kalau nggak berhasil juga, mungkin memang Allah memilih jalan terbaik untuk kita semua. Pasrah saja."

*****

Motor Risa melaju perlahan di jalanan. Gadis itu sedang dilanda kegundahan yang dahsyat. Dia butuh bercerita, tetapi Gavin sedang sibuk mempersiapkan daftar ulang. Sementara Gya, tidak akan pernah bisa diajak bicara untuk mencari solusi. Gerbang pelabuhan telah dilaluinya. Risa memarkir motornya di tempat seperti biasa. Dia segera mencari batu besar yang selalu menjadi tempat berkeluh kesahnya. Ah, ketemu. Tapi, kali ini ada sedikit keanehan. Selain ukiran tangan Risa beberapa waktu lalu, ada seuntai kalimat yang terukir sebagai jawaban. Wow, apakah batu ini bisa memberi solusi untukku? Mungkin dia memang sengaja dikirim Allah. Atau, Gavin yang melakukan semua ini? Risa mencoba berspekulasi. Bisa juga cuma orang iseng yang kurang kerjaan. Penasaran, Risa mencoba kembali menulis di permukaan batu tersebut. Berharap akan selalu ada jawaban.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 26, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Perfect StormWhere stories live. Discover now