1. Scars

13.3K 1.3K 27
                                    

Note penting : Ini hanya teaser saja dari naskah yang kutaruh di Hipwee. Hipwee itu apa? Penjelasannya akan ada di bab berikutnya.

SELAMAT MEMBACA!

8 Juli 2018

13.45 P.M

JANGAN. NANGIS. TOLONG!

Entah sudah berapa kali aku memantrai diri sendiri sejak duduk di ruang tunggu Dept Gate 2F bandara Soekarno-Hatta, tetapi panas menyengat masih setia membujuk agar air mata diizinkan menuruni pipi.

Nggak papa, nggak ada yang kenal. Kira-kira seperti itu bisikan yang hilir-mudik di antara kebisingan lain, tuduhan-tuduhan yang membuatku ingin sekali membatalkan perjalanan nekat ini—menimbang-nimbang apa menyembuhkan diri di pelukan hangat Bunda lebih tepat?

Aku mendesah sembari mengeluarkan iPhone dari tote bag hitam bergambar Micky Mouse. Tampilan notifikasi yang terpampang begitu layar menyala membuatku meringis. Setumpuk pesan dari satu orang di berbagai aplikasi pesan singkat; WhatsApp, Line, bahkan Telegram? Belum lagi puluhan missed call dari dua orang berbeda. Yang lebih banyak masuk dari orang yang membombardir pesan singkat, sisanya dari Bunda, sementara Papa mengirim sekitar 10 pesan di WhatsApp. Dengan mudahnya aku membayangkan orangtuaku duduk bersebelahan di ruang keluarga rumah masa kecilku, berbagi tugas mencariku—seperti yang dilakukan sewaktu aku kabur dari rumah di umur 14 tahun.
Seketika sensasi kebas akibat terlalu panik saat berangkat ke sini memudar cepat, digantikan denyut nyeri yang dalam, disusul serangan tanpa ampun dari rasa sedih yang kuabaikan sejak tiga hari kemarin.

Selama beberapa detik aku memandangi layar ponsel, lalu menghela napas kasar.

Aku tahu ini tidak sopan.

Seharusnya aku menelepon Bunda atau Papa, bukannya mengirimkan pesan di grup keluarga dan dibaca juga oleh si kembar yang berumur di bawah dua puluh tahun. Bagaimana kalau nanti mereka mengikuti jejakku? Pengecut. Namun, ini solusi terbaik supaya kepanikan Bunda-Papa mereda, dan aku tetap di jalur yang bendar. Ketimbang aku paksakan mendengar nada memelas Bunda, bisa-bisa aku langsung keluar bandara—tanpa memikirkan uang jutaan yang kuhabiskan demi bepergian 10 hari ke Malaysia. Dan yang paling gawat, kalau Papa ikut bicara dengan nada khawatir dan patah. Sepertinya aku bukan cuma menyeret kaki ke rumah, tetapi membatalkan keputusanku yang lain.

Jadi ....

Bun, Pa, aku benar-benar butuh sendirian dulu. Setelah kondisi membaik, aku janji langsung pulang ke rumah. Jangan khawatir aku nggak aneh-aneh, kok. Aku cuma mau menenangkan diri. Maafin aku ya, Bun, Pa. Aku sayang banget sama kalian.

Setelah pesan itu terkirim, dadaku dipenuhi rasa tidak nyaman sekaligus tidak berdaya.

Maaf, aku nggak nurut Bunda dari dulu. I'm really sorry, Bunda.

Aku mengirim pesan lagi, lalu bersiap mematikan ponsel seperti rencana awal. Namun, tiba-tiba satu panggilan masuk.

Si pengirim pesan dan penelepon terbanyak. Elvan.

Dengan tangan gemetar dan diikuti rasa takut yang entah disebabkan oleh apa, aku menerima panggilan itu lalu mengarahkan ponsel ke telinga kananku. Setidaknya aku harus bicara untuk yang terakhirsekali sama cowok ini. Kami bertemu baik-baik. Walau dalam perjalanannya lebih banyak kesakitan, aku perlu memberikan perpisahan layak daripada sekadar pesan singkat yang kukirim sebelum taksi online pesananku datang; Kita berakhir di sini aja, Van. Maaf.

"Gendhis, kamu di mana? Bunda bilang kamu pamit ke bandara, tapi di mananya? Aku udah di bandara, terminal 1A. Kamu mau pergi ke mana? Serius, kamu mau naik pesawat? Sendirian?" Dia menyerbu tanpa jeda. Tidak mengizinkan aku bicara walau sapaan singkat, seperti; Halo, Van! "Ndis, jangan gini. Aku kan udah bilang, tunggu aku pulang dari dinas, baru kita bahas masalahnya. Kapan sih kamu mau percaya sama aku? Kenapa tiba-tiba putus sepihak begini? Kamu kok nggak mikirin aku, sih?"

Satu tanganku menekan perut kuat-kuat, lalu makian panjang menggema dalam benakku, Sialan! Udah seperti ini masih saja memikirkan diri sendiri. Kenapa harus gue terus yang mikirin lo? Kapan lo mau mikirin gue?

Hatiku mencelus. Gue salah pilih langkah lagi, erangku dalam hati.

Sekuat tenaga aku menolak keinginan mengerjap, atau air mata yang kurasakan sedang berebut mau keluar di belakang kelopak mata—bakal bebas. Seperti biasa, ujung-ujungnya aku selalu berkawan dengan rasa menyesal. Seharusnya kubiarkan saja panggilan telepon ini tadi. Seharusnya aku langsung mematikan ponsel begitu pesan terkirim. Seharusnya aku tidak pernah memercayakan hati ini ke dia ....

Dan masih banyak kalimat yang diawali kata seharusnya.

Karena sudah tidak tahan lagi, aku mengakhiri telepon secara sepihak, lalu mematikan ponsel secara total dan mengembalikan benda itu ke dalam tas.

Untuk beberapa saat aku terdiam sembari mengedarkan pandangan ke ruangan yang mulai terlihat lebih ramai daripada awal aku masuk. Kemudian, aku mengembuskan napas kasar dan tertunduk. Setahun terakhir aku sadar bahwa hubunganku dengan Elvan layaknya batu yang perlahan tenggelam di dasar lautan paling dalam, hanya saja kemarin-kemarin aku coba berenang demi menyelamatkan batu itu, tetapi akhirnya kelelahan sendiri.

Walau Elvan adalah semua yang pertama bagiku, terus mengikutinya berpotensi mematikan jiwaku.

"Ini tepat!" bisikku, tanpa menggeser pandangan dari kepalan tangan yang terus menekan-nekan paha.

Aku tidak biasa bicara sendirian begini, tetapi tuduhan-tuduhan dalam kepala kian liar, sampai-sampai rasa bersalah dengan santainya memasuki hatiku. Jadi, aku butuh penegasan, bahwa siapa pun yang menyuarakan gagasan dalam kepalaku—salah besar.

Perpisahan aku dan Elvan.

Kenekatanku pergi jauh.

Ini sudah benar!

Setelah berhasil menenangkan diri, aku mengangkat kepala dan terlonjak begitu orang yang duduk persis di depanku mengarahkan telunjuk ke arahku dengan semangat.

"Benar kan dugaan gue!" seru orang itu. "Gokil, gue pikir cuma mirip. Tadi gue duduk lumayan jauh, terus gue sengaja pindah—eh, ini beneran lo."

Dia mengarahkan satu jari ke barisan kursi di serong kiriku, lalu menaruh telunjuk di bagian bawah bibir kiri wajahnya. Spontan, aku ikut menaruh di bagian sama dari wajahku. Tahi lalat kecil milikku.

"Long time no see, Gendhis."

Tahu yang konyol? Aku tidak dapat mencegah lonjakan dari detak jantungku. Sudah sangat lama, aku tidak berhubungan sama orang-orang di masa lalu. Kalaupun ada, lima jari saja tidak genap. Dan orang ini, salah satu dari masa lalu yang lama hilang, tetapi tidak terlupakan setiap detailnya.

Dia terlihat menunggu reaksiku sembari menyugar rambut hitam tebal dan ikal yang dimodel medium length curls; tidak gondrong, tidak juga pendek. Alih-alih mengeluarkan satu kata sapaan, aku justru sibuk mengamati sejauh mana dia berubah setelah sepuluh tahun berlalu.

Tidak banyak yang berubah ....

Dia tetap cowok dengan senyum paling memesona yang pernah kutemui. Elvan saja tidak bisa disandingkan! Fisiknya jauh lebih maskulin dan berotot, tulang rahangnya makin tajam, kulitnya lebih cokelat, dan kuyakin lebih banyak menarik cewek-cewek mengelilinginya. Dulu saja dia selalu jadi yang terbanyak menerima cokelat valentine, apalagi sekarang?.

"Seriously? Lo nggak ngenalin gue?" Dia bersuara lagi, dengan menaruh tangan yang menengadah di bawah dagu—seolah memintaku mengingat-ingat wajahnya. "Wah. Kemarin gue juga nggak sengaja ketemu teman sekelas yang lain, dan dia masih ngenalin gue. Lo. Wah. Okelah. Gue—"

"Ghandi Taslim, hai," potongku. "Masih bawel aja."

Searching For SomedayWhere stories live. Discover now