Rekaman 017

12 3 0
                                    

Kemuning, 25 Agustus 1968, Pukul 13:12

-----


[Suara hidung menarik ingus]

[Suara isak tangis]

[Suara gesekan korek api]

[Suara rokok dibakar]

[Suara isak tangis berlanjut selama empat puluh tiga detik]


Hamba

Astagfirullahaladzim. Astagfirullahaladzim. Astagfirullahaladzim. Ampuni aku. Ampuni aku. Ampuni aku! Apa yang telah aku perbuat? Molly, apa yang telah aku perbuat? Semuanya terjadi begitu saja. Semuanya terjadi begitu saja! Aku... Aku dengan... dengan... Elok. Semua terjadi begitu saja.

Ampuni aku. Ampuni aku atas segala dosa yang kuperbuat. Ampuni aku. Aku sudah tidak suci lagi. Aku terjebak melakukan dosa besar. Dosa besar! Dan aku... aku... tidak. Aku tidak mau mengakui. Aku tidak sudi mengakui. Tidak. Aku tidak suka. Aku tidak menyenangi malam kemarin. Malam kemarin adalah malam laknat. Malam biadab. Suka dan nikmat yang aku alami adalah napsu. Bisikan setan. Yang menggodaku untuk mengkhianati semua imanku. Tidak. Tidak. Tidak... aku tidak sudi.

Molly, kenapa aku melakukan ini? Kenapa aku sudi melakukan ini? Ini di luar nalar. Ini di luar iman. Aku tidak peduli kisah tentara lain yang menemukan ketenangan di tempat secelaka ini. Aku tidak peduli dengan kemampuanku untuk tahan diuji seperti yang Pak Maut bicarakan! Aku hanya peduli imanku. Hanya peduli hubunganku dengan Yang Maha Kuasa. Kepada Tuhanku, dan aku mengkhianati-Nya. Aku mengkhianati ajaran-Nya. Semua demi apa? Demi negara? Demi bangsaku? Aku kehilangan semuanya; rumahku, sawahku, tetanggaku, temanku, guruku, kakak-kakakku, ayahku... ibuku. Hanya agama yang kupunya. Hanya Tuhan yang belum aku tinggalkan. Dan malam itu, aku meninggalkan-Nya. Aku mengkhianati-Nya.

Ampuni aku. Ampuni aku. Dosaku terlalu besar. Terlalu luas. Terlalu dalam. Bagaimana aku bisa hidup tanpa-Mu? Aku tidak dapat lagi menginjak sajadah. Tidak dapat lagi bermandi air wudhu. Tidak dapat lagi tenang di setiap doa. Tidak dapat lagi. Tidak akan lagi. Semua hilang. Semua musnah. Aku tidak punya apa-apa lagi. Tidak punya siapa-siapa lagi. Aku telah meninggalkan satu-satunya Zat yang menjagaku di dunia ini.

Molly. Molly. Iya, Molly. Molly. Masih ada kamu, Molly. Masih ada kamu. Molly, kucingku. Berbentuk alat aneh. Tersambung ke alat yang tidak kalah anehnya. Untuk didengar oleh orang-orang aneh. Namun itu tidak penting. Yang penting adalah kamu, Molly. Temanku satu-satunya. Yang belum meninggalkanku, meski aku telah meninggalkan semuanya. Molly, Molly sayangku. Molly cintaku.

Aku telah mengkhianati-Nya, Molly. Kini aku tidak lagi pantas untuk menginjak surga-Nya. Aku tidak lagi pantas untuk mendapat rahmat-Nya, rangkulan-Nya, kedamaian-Nya. Aku sudah menodai diriku sendiri. Aku sudah mencelakakan diriku sendiri. Apa pun yang aku lakukan tidak akan lagi berguna, tidak akan lagi berkah. Tidak akan lagi. Tidak akan lagi, Molly.

Tidak akan ada lagi pengampunan untukku. Dan hidupku tidak akan lagi direstui hingga akhir hayat. Tidak akan lagi. Tidak akan lagi.

Molly, bantu aku berdamai. Bantu aku berdamai, Molly. Bantu aku. Aku tidak akan lagi hidup. Aku tidak akan lagi mati. Dosaku terlalu besar. Pengorbananku juga. Hanya ada kamu di hidupku. Maka bantulah aku berdamai, Molly. Bantulah aku menjalani hidup yang hina ini. Bantu aku, Molly, bantu aku.


Sembari Menunggu HambaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang