Bab 1 - Kinasih

118 12 6
                                    

Setelah lebih dari dua puluh lima tahun, aku kembali melihat dirinya. Wajah persegi dengan alis tebal, bibir tipis, dan tubuh tinggi kekar tanpa tumpukan lemak di perut. Tidak ada yang berubah, kecuali kacamata tipis yang bertengger di atas hidungnya. Rambutnya masih tebal dan tidak beruban—tidak seperti rambutku yang mulai rontok dan harus dicat setiap enam bulan sekali supaya aku tidak dipanggil Oma oleh anak-anak kecil di sekitar rumahku.

Jantungku seketika berdebar cepat saat pertama kali melihat sosoknya melewati ambang pintu depan, berjalan mendekat, dan berhenti tak sampai satu meter dariku. Seperti diriku yang terkejut melihatnya, dia pun terpana sejenak saat melihatku.

"Bima?" Aku memanggil namanya, bersamaan dengan bibirnya mengucap namaku.

"Kinasih?"

"Lho, Papi kenal?" Daisy yang berdiri di sebelahnya berpaling, menatap Bima sejenak lalu beralih padaku dan Jay yang berdiri di samping kiriku.

Seperti Daisy, Jay pun terkejut. "Mama kenal Om Bima?" Dia menyentuh lenganku.

Bima mengulurkan tangan kanannya padaku. "Kin, apa kabar?"

Aku merasakan genggaman tangannya yang kuat dan hangat, sementara matanya menatapku lekat. Debaran di dadaku bahkan semakin kencang. Aku berusaha tersenyum. "Aku ... baik, seperti yang kamu lihat," kataku canggung. "Silakan duduk."

Kulambaikan tangan ke arah kursi. Hanya ada empat orang—aku dan Jay serta Bima dan Daisy—yang duduk melingkari meja makan bulat yang cukup untuk sepuluh orang.

"Papi kenal Tante Kin di mana?" tanya Daisy. Dia terlihat antusias.

Bima menoleh ke arah putrinya. "Dulu kami ... teman kuliah."

Bibir Daisy membentuk huruf o, lalu memandang padaku dan Jay. "Nggak nyangka," katanya.

Kini aku tersenyum padanya. Aku pun tak pernah menyangka anakku satu-satunya akan menjalin hubungan dengan putri seseorang yang pernah begitu dekat denganku. Bima pasti demikian juga.

"Mau makan sekarang?" tanyaku pada Jay. Sebetulnya tawaranku ini hanya untuk mengusir perasaan canggung yang timbul sejak melihat Bima memasuki ruangan VIP ini.

"Des?" Jay malah mengajukan pertanyaan itu pada Daisy.

Aku bisa melihat kebingungan di wajah Daisy saat dia menatapku dan Jay bergantian. "Sekarang? Nggak ngobrol dulu?"

"Ngobrolnya bisa sambil makan." Bima menengahi—sepertinya dia memahami apa yang kurasakan. Dia menoleh pada pramusaji yang berdiri di dekat pintu. "Mbak, mau pesan sekarang."

"Aku sudah pesan," kataku, lalu berpaling pada pramusaji itu. "Mbak, makanannya bisa disajikan sekarang."

Gadis muda itu mengangguk, berbisik pada rekannya sebelum keluar dari ruangan. Setelah itu gadis yang satu lagi menghampiri kami dan mencatat pesanan minuman. Bima memesan air mineral dan secangkir kopi hitam—pilihan minumannya masih sama seperti saat berkencan denganku dulu.

"Adiknya Jay nggak ikut?" tanya Bima setelah si gadis pramusaji berlalu.

"Nggak, Om. Dia ada acara sama teman-temannya." Jay yang menjawab.

Bima mengangguk-angguk, lalu menatapku. Aku balas menatapnya, hanya dua detik, lalu mengalihkan pandangan pada piring dan mangkuk kecil siap pakai yang ditumpuk di tengah meja. Cukup dua detik sebelum hatiku hangus terbakar.

"Eh, Papi sama Tante Kin kuliah di jurusan yang sama?" tanya Daisy memecah keheningan yang sesaat hadir.

"Iya," jawab Bima.

"Gimana rasanya kuliah sama Papi, Tante? Apa dia memang selalu sok tahu?" tanya Daisy padaku.

Sesaat aku tercengang dengan pertanyaan itu.

"Heh, sok tahu apa?" sergah Bima. "Jangan ngarang!" Pria itu menatapku kembali. "Papi sama Kin ... eh, maksudnya Tante Kinasih ... beda tahun. Tiga tingkat, ya?" Setelah melihatku mengangguk, Bima melanjutkan, "Mana tahu Papi ini sok tahu apa nggak kalau nggak pernah sekelas. Eh, kita pernah satu kelas nggak, ya?"

"Pernah, di kelasnya Pak Hasan. Dan kamu dihukum, nggak boleh masuk kelas karena telat."

Bima terkekeh, sementara otakku menarik semua ingatan yang masih tersisa setelah berpuluh tahun lewat.

***

KEMBALI CINTAWhere stories live. Discover now