Bab 2 - Bima

38 5 1
                                    

"Papi senyum-senyum sendiri dari tadi," tegur Daisy. Sekilas kulihat dia melirikku dari kaca spion tengah lalu kembali memusatkan perhatian pada jalanan di depannya. "Kayak habis ketemu pacar lama. Apa ... Tante Kin bekas pacar Papi?"

Aku masih tersenyum, memandang jalanan di depan yang dipenuhi kendaraan. Sesekali sepeda motor menyelip mencari jalan di tengah-tengah padatnya kendaraan roda empat. "Awas! Fokus!" ucapku saat melihat sepeda motor yang dikendarai seorang wanita menyalip dari sebelah kanan.

Daisy menekan klakson satu kali dan menggerutu. "Nggak paham aturan lalu lintas, nyetir sembarangan! Memangnya dia kucing?"

"Sabar ..." Aku menepuk lengan putriku. "Begitulah jalanan. Kita sudah hati-hati, tapi orang lain nyetirnya nggak bener. Kamu harus bener-bener konsen kalau lagi nyetir."

Selama beberapa saat, Daisy seperti melupakan pertanyaannya tentang hubunganku dengan Kinasih. Aku merasa lega saat akhirnya mobil kami tiba di rumah. Untuk sementara, aku terbebas dari keharusan menjawab pertanyaannya tentang Kinasih. Daisy langsung masuk ke kamarnya dan baru keluar saat makan malam.

"Papi masih ingat dulu Tante Kin seperti apa?" tanya Daisy sambil meletakkan sendok dan garpunya bersilang di piring bekas pakainya. Laras—ibunya, mantan istriku—yang mengajarkannya sejak dia kanak-kanak, dan kebiasaan itu bertahan hingga saat ini.

Ada perasaan kaget yang menyelinap mendengar pertanyaan itu. Aku mengangkat wajah sejenak dari ponsel di tangan kananku yang sedang terbuka di salah satu portal berita. Daisy tengah menatapku.

"Seperti apa, maksudmu?" tanyaku, lalu berpaling kembali pada ponsel. Jemariku menggulir layar tanpa benar-benar memperhatikan judul berita yang bermunculan.

"Hmm ... misalnya ... apa dia baik? Apa dia teman yang menyenangkan? Apa ... apalagi, ya?"

Aku mendongak. Kulihat Daisy setengah melamun—tatapan matanya tidak benar-benar fokus padaku atau sesuatu di belakangku. "Des, kenapa kamu tanya begitu?"

Daisy mengangkat bahu. "Mungkin ... aku dengar cerita-cerita nggak enak dari Ira."

"Ira? Ira siapa?"

"Ira yang dulu suka main ke rumah, Pi. Waktu SMA."

Aku tidak ingat siapa saja teman Daisy, tapi aku tidak mengatakannya. "Ada apa dengan Ira?"

"Ya ... gitu, deh. Mertuanya galak. Dia kan, tinggal serumah sama mertua dan satu ipar. Iparnya suka kepo-kepo, gitu."

Aku tersenyum. "Seingat Papi, Kin ... eh, maksudnya Tante Kinasih, dulu biasa aja. Kalau sekarang, entahlah. Ingat, Papi dan Tante Kin sudah lama nggak ketemu." Aku diam sejenak, lalu terpikir untuk menggoda putriku. "Kalau, misalnya, Tante Kin galak, kamu nggak jadi nikah sama Jay?"

"Nggak gitu juga ceritanya, Pi." Daisy mengerucutkan hidung dan bibirnya. "Mau galak atau nggak, Daisy tetap mau nikah sama Jay."

"Kalau begitu, beres kan?" Aku menutup ponsel lalu bangkit dari kursi, tapi duduk kembali saat tiba-tiba aku mengingat sesuatu. "Oya, tadi siang Papi nggak lihat papinya Jay."

"Orang tuanya Jay sudah cerai, kan." Daisy menatapku dengan bibir cemberut. "Masa Papi lupa? Tadi, Papi kan, ingat sama Kris."

"Papi nggak lupa kalau orang tua Jay sudah cerai. Tapi, Papi pikir rembukan kapan lamaran ada papinya Jay juga."

"Nggak. Daisy nggak minta Jay undang papinya karena Mami juga nggak bisa datang, kan?" Daisy mengangkat bahu, lalu berdiri. "Biar kelihatannya adil, gitu. Sama-sama single parent."

Setelah Daisy berlalu kembali ke kamarnya di lantai dua, sesaat aku tercenung mengingat ucapannya barusan. Rasa sakit akibat perceraianku dengan ibunya tampaknya masih membekas dalam di hatinya, meskipun kejadiannya sudah berlalu belasan tahun lalu, saat umurnya masih sembilan atau sepuluh tahun. Aku menghela napas dalam-dalam. Setidaknya, Daisy tahu, bukan aku yang meminta perceraian itu.

"Pak, kopinya mau di sini?" Suara Bik Sum mengagetkanku. Tangannya memegang nampan dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas.

"Di teras belakang aja, Bik."

Aku berdiri, berjalan menuju teras belakang, dan mengenyakkan pantat di bantalan kursi rotan. Setelah Bik Sum meletakkan cangkir di meja, aku menyandarkan kepala di punggung kursi, dan mendengarkan suara air mengalir dari air terjun tiruan di sudut taman yang menenangkan.

Sebentar saja kepalaku dipenuhi ingatan masa-masa tiga puluh tahun yang lalu.

***

KEMBALI CINTAWhere stories live. Discover now