Prolog

1.6K 132 15
                                    

Gadis kecil itu menangis. Air mata membasahi pipi pucat yang terlalu halus untuk disentuh. Ia tidak menangisi hidup singkatnya. Ia tidak menangisi kematian yang sudah berdiri di depan pintu, menunggu dengan tidak sabar. Ia tidak menangisi dunia yang akan ditinggalkan. Keresahannya hanya pada seorang laki-laki.

"Siapa yang akan menemani Duke? Dia akan Sebatang kara. Dia tidak akan punya siapa-siapa." Suaranya seperti angin di tengah malam. Dingin dan desirnya membuat siapapun menggigil. Kepiluan terasa benar dari lantunan kata yang diucapkannya.

"Aku merasa bersalah meninggalkannya. Harusnya aku bisa menemaninya sedikit lagi. Paling tidak sampai dia menemukan seseorang yang benar-benar menjaganya. Kenapa aku malah meninggalkannya seperti Papa dan Mama?" tangisnya lagi. Ia membersit ingus dengan selimut rumah sakit yang berbau desinfektan, sama seperti semua barang di ruangan itu. Isakannya memecah keheningan yang menyelimuti kamar dinginnya.

"Zie, kau melihat bagaimana rasa sayangku pada Duke. Tolonglah jaga dia. Hanya kau yang bisa kumintai tolong, Zie. Kau tahu aku tidak akan bertahan sampai besok pagi. Aku tidak akan sempat bertemu dengannya." Ia tergugu lagi. Dibenamkannya wajah pada bantal yang sudah enam bulan ditidurinya.

Lupus sudah membawa pergi tubuh lincahnya, meninggalkan jasad ringkih yang hanya bisa berbaring di tempat tidur. Namun, di balik mata cokelat itu ada semangat untuk terus menahan maut demi satu-satunya orang  yang dikasihinya.

"Zie, kutitipkan sisa hidupku kepadamu. Kutitipkan Duke kepadamu. Tolong jaga baik-baik ya, Zie."

Dengan kata terakhirnya, Nessie memejamkan mata. Susah payah ia berusaha untuk bernapas. Udara seperti beku di depan hidungnya. Tercekat, ia mencengkram dada yang mulai panas. Dengan sebuah hentakan, Nessie melenting ke belakang. Punggungnya melengkung dan wajahnya tengadah pada langit-langit putih suram. Sebuah helaan napas membuatnya terbanting ke atas tempat tidur kembali. 

Mata sayu Nessie tak mampu berkedip saat Maut datang menyentuh wajahnya. Air mata menetes mengiringi bujukannya pada Maut. Ia hanya ingin meninggalkan jiwanya di bumi, jiwa yang ia percaya untuk menjaga kakak tersayangnya. Namun, Maut tidak pernah mengalah. Tarikan kasar mencengkram jiwa Nessie dan mencabutnya dengan keras. Sebuah jeritan yang tak mampu didengar manusia membahana di penjuru ruang sempit itu. Pilu. Perih. Sakit. Nessie menggelepar keluar mengikuti tarikan Maut.

Mati.

Ruhnya melayang tinggi meninggalkan jasad lemas di atas tempat tidur. Hanya separuh. Hanya sebagian dari dirinya. Sedang sebagian lagi tertinggal di dalam kamar itu, terapung-apung mencari tempat untuk bertahan. Bumi bukan tempat untuk ruh yang tak bisa pulang.

Dia tidak bisa pergi karena sebagian hatinya masih tertinggal untuk manusia bumi. Dia hanya bisa melayang-layang ringan di udara tanpa melakukan apapun yang berarti. Lalu, ruh itu menatap mata biru Zie yang terus memperhatikannya sedari tadi. Keputusan sudah bulat. Hanya Zie yang bisa membuatnya bertahan di bumi.

Harapan selalu ada. Bukan hal yang menyakitkan berdiam dalam tubuh mati sebuah boneka. Dia akan menunggu hingga sesuatu membuatnya lebih kuat.

Sebuah cahaya putih menyilaukan berpendar ketika ia masuk ke dalam tubuh porselen itu. Boneka itu terhentak. Matanya berkedip menandakan kehidupan yang sudah masuk dalam jasad kosongnya. 

Bibir porselennya menyunggingkan senyuman.

"Pergilah, Nessie. Pergilah ke tempat di mana tidak ada penyakit yang bisa menyakitimu. Pergilah ke tempat di mana hanya ada kedamaian untuk menemanimu. Aku akan menjaganya untukmu."

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 26, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Faith of ZieWhere stories live. Discover now