Wyne 1.

38 0 0
                                    



Kisah ini terjadi ratusan tahun setelah masa kalian. Dunia yang kalian kenal sudah kiamat. Sejumlah kecil orang-orang yang selamat berkumpul dan membuat sebuah kota yang mereka namai Nagara. Di Nagara, kami hidup dengan damai dan teratur. Setiap orang memiliki kewajibannya masing-masing dan mendapatkan hak yang setara. Untuk menegakkan keadilan, hukuman terberat bagi orang yang melanggar peraturan adalah diusir dari Nagara.

Kami kira kami bisa menata ulang dunia yang telah hancur. Hingga akhirnya, dua tahun lalu Orang-Orang Liar menyatakan perang terhadap Nagara. Orang-Orang Liar adalah sekumpulan orang yang dahulu adalah penghuni Nagara, namun telah diusir karena pelanggaran mereka.

Nama Saya Wyne. Saya hanya seorang Polisi. Itu artinya, tugas saya adalah memastikan penduduk Nagara menjalankan kewajibannya, mendapatkan haknya, dan mematuhi peraturan yang ada.

Setiap penduduk Nagara pada usia 17 tahun diwajibkan untuk mengikuti serangkaian tes untuk menentukan profesinya di masa depan. Saya terpilih untuk menjadi Polisi. Saya pun bahagia bisa melayani penduduk Nagara.

Bagian dari tugas saya yang paling saya suka adalah patroli malam. Malam di Nagara tidak pernah mengerikan, justru sangat ramah. Malam ini pun juga sama. Bulan purnama bercahaya ditemani tiga bintang yang terlihat di sebelahnya. Dari yang saya pelajari, di masa kalian, manusia bisa melihat lebih dari tiga bintang setiap malamnya. Namun bagi saya, malam itu sudah cukup indah.

Sebelum memulai patroli, saya berbincang dengan rekan sesama Polisi, Dann dan Seyr. Dann, pria jangkung berjanggut tipis itu berkata, "Hei Wyne, dirimu benar-benar tidak mau ikut?"

Dann dan Seyr sedang berusaha mengajak saya untuk meninggalkan tugas patroli. Seyr meletakkan tangannya di pinggang tepat di atas roknya. Sambil tersenyum manis ia berkata, "Ayolah. Di dalam Nagara, tidak akan pernah terjadi apa-apa."

Seyr benar. Patroli bisa jadi kegiatan yang sangat membosankan. Penduduk Nagara sangat taat pada peraturan. Kejahatan jarang sekali terjadi.


"Taat pada otoritas! Jangan mencari masalah!"


Dua kalimat itu sudah menjadi pegangan hidup saya hingga hari ini. "Seperti biasa, saya tidak ikut." Jawab saya pada kedua rekan saya.

Dann masih berusaha, "Ayolah. Dirimu harus bisa lebih santai."

Saya masih menunjukkan keengganan. Seyr dapat membaca bahasa tubuh saya. Seyr berkata, "Biarkan saja. Tekad Wyne sudah bulat." Ia tersenyum.

Dann menggaruk kepalanya, "Baiklah. Tapi besok lusa dirimu harus ikut. Akan ada Fonda, Letta, dan semua wanita tercantik dari akademi. Dirimu akan menyukainya."

Saya mengangguk pelan, "Baiklah."

Seyr sekali lagi menyadari bahasa tubuh saya. Seyr meletakkan jari telunjuknya di dada saya "Oh tidak! Jangan bilang, dirimu masih bermimpi untuk mendapatkan Acce."

Dann mengalungkan tangannya di leher saya, "Ayolah. Acce berada di tingkatan yang jauh berbeda denganmu. Lagipula, saya rasa, Letta punya badan yang lebih bagus." Dann menatap Seyr sejenak, "Maaf jika itu menyinggungmu, Seyr. Dirimu juga lumayan." Dann melihat saya lagi. "Saya serius, Wyne! Lupakan!"

Saya melepaskan tangan Dann dan mundur selangkah. "Baiklah! Baiklah! Terlalu banyak tekanan di sini." Saya mendorong mereka berdua pergi. "Sekarang, pergilah! Bersenang-senanglah. Saya akan melakukan patroli saya."

Sambil berjalan, Dann bertanya, "Wyne, dirimu tahu bahwa kami peduli kan?"

Saya tersenyum sambil berkata, "Oh. Pergi saja kalian!"

Seyr berseru, "Sampai besok Wyne!"

Kami saling melambaikan tangan. Saya memang tidak suka apa yang mereka katakan. Sayangnya, apa yang mereka katakan adalah kebenaran. Saya memang jatuh cinta pada Acce. Acce adalah putri dari Kron, Presiden Nagara. Acce adalah menjadi seorang Seniman di Nagara. Seniman di Nagara memang tidak hanya Acce, namun bagi saya, Acce adalah aktris terbaik dan penyanyi dengan suara paling merdu.

Setiap grup patroli terdiri dari tiga orang. Tugas Patroli saya seharusnya Bersama dengan Dann dan Seyr. Tugas kami sebenarnya adalah mengawasi bagian barat, yaitu sedikit dari deretan pembuat makanan dan minuman hingga Gedung Kesenian. Yang paling merepotkan adalah Gedung Kesenian. Gedung Kesenian sangatlah luas. Ada gedung khusus untuk setiap cabang seni yang dimiliki oleh Nagara. Namun saya masih beruntung jika dibandingkan dengan rekan-rekan yang bertugas berjaga di Gelanggang Olah Raga. Tempat itu jauh lebih besar dibanding Gedung Kesenian.

Saya sedang berjalan di daerah pembuat makanan, tiba-tiba seseorang memanggil dari belakang, "Wyne! Kemari sebentar!" Itu Pak Reife, pembuat roti di Nagara. Ketika saya masih di akademi, saya sering bertemu dengan Pak Reife di perpustakaan. Roti baru saja ditemukan kembali sekitar 10 tahun yang lalu. Tentu saja pembuatan roti sekarang memiliki proses yang sedikit berbeda dengan zaman kalian. Tapi saya jamin, cita rasa roti buatan Pak Reife tidak kalah dengan roti dari zaman kalian.

Saya menutup majalah saya, lalu saya berjalan masuk ke dalam toko Pak Reife. "Duduk, Wyne, duduk." Pak Reife yang masih lengkap dengan celemek warna putih menarik sebuah kursi untuk saya. "Tunggu di sini." Katanya.

Pak Reife buru-buru masuk ke dalam. Saya duduk. Baru sebentar saya menyandarkan punggung, Pak Reife keluar lagi dengan membawa sesuatu di atas piring. Ia meletakkannya di meja depan saya.

Dengan bangga ia berkata, "Jadi, aku temukan ini di sebuah buku. Tidak ditulis bagaimana cara membuatnya atau bagaimana bentuknya, tapi buku itu menyebutkan roti kacang merah." Ia menghela nafas dalam-dalam, "Ini dia! Anpan!"

Saya mengamati roti berwarna kecoklatan yang ada di hadapan saya. Bentuknya persegi sempurna dengan bau khas toko roti Pak Reife.

"Jadi, namanya Anpan?" tanya saya.

Pak Reife menggaruk kepalanya, "Entahlah, itu Bahasa Asia zaman dulu. Yang penting sekarang, cobalah!"

Saya mengambil roti itu dan mencicipinya. Pak Reife mendekatkan wajahnya pada saya dan bertanya, "Bagaimana? Enak? Enak tidak?" Oh Pak Reife memang tidak pernah mengecewakan saya dalam hal rasa. Saya berusaha tidak terlalu menunjukkan rasa suka saya supaya Pak Reife tidak besar kepala. Namun dari senyumannya, saya tahu bahwa ia sudah hafal ekspresi bahagia saya yang tidak bisa ditahan. Sayangnya, tidak ada di antara kami berdua yang tahu apakah roti yang dibuatnya benar-benar sesuai dengan roti di masa lalu itu. Tapi biar saja. Pak Reife tetap pembuat roti terbaik dalam sejarah hidup saya.

Pak Reife bertanya, "Sendirian lagi malam ini?"

Sesungguhnya itu adalah pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab. Saya mengambil satu lagi gigitan dari roti itu. Pak Reife berkata, "Kau jangan terlalu memaksakan diri. Ikutlah bersenang-senang dengan kawanmu sesekali. Lagipula, di Nagara tidak pernah terjadi apa-apa."

Saya menjawab, "Jika saya tidak patroli hari ini, siapa yang akan mencicipi roti Pak Reife?"

Pak Reife tersenyum lebar. Kumisnya yang tebal membuat ia semakin tampan jika tertawa. "Kau benar." Katanya.


    "AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!"    


Baru saja saya mau memuji Pak Reife atas rotinya, suara teriakan seorang wanita terdengar cukup keras. Suara itu tampaknya tidak jauh dari toko Pak Reife. Saya menatap wajah Pak Reife sejenak. Ia justru membentak saya, "Lakukan tugasmu Wyne!"

Saya berlari ke luar toko. Sambil berlari saya berteriak, "Terima kasih rotinya!" Saya menyalakan alat komunikasi di pergelangan tangan kanan saya. Saya melaporkan kejadian itu kepada Kapten saya. "Lapor. Terdengar seorang perempuan berteriak dari arah Gedung Kesenian. Perempuan ini tampaknya sedang dalam kesulitan."


    "TOOOOOLOOOOONG!!!!!!"    


Saya melanjutkan laporan saya, "Saya segera ke sana."

"Baik." Jawab kapten saya.

Sepatu hitam saya beradu dengan kerasnya jalanan. Sedikit keringat mulai terserap oleh seragam Polisi saya. Saya berlari menuju Gedung Kesenian.

Nagara dari Masa DepanWhere stories live. Discover now