Voyage

4.7K 697 82
                                    

[ To be read when you have leisure time ]



"And then imagine you are going about twice as fast as the fastest racehorse. But this is the amount that doesn't need to be guided and never grows tired." — C.S. Lewis


Jakarta, Februari 2019

"Ghava udah cerita juga sama lo?" Suara Gania di speaker ponsel yang aku letakkan di atas wireless charger pad hitam yang Minggu lalu dibelikan oleh Ghava sebagai hadiah ulang tahunku berhubung aku tidak mungkin memintanya membayar kursi pijat yang akhirnya kami beli di Senayan City, dan dia memaksaku memilih hadiahku yang pada akhirnya jatuh kepada barang yang belum aku miliki ini.

Tanganku sedang sibuk meratakan sunblock pada wajahku sebelum menggunakan foundation yang tutup tube berwarna emasnya sudah aku buka sejak tadi karena aku sempat lupa melapisi kulit wajahku dengan sunblock terlebih dahulu. "Iya, beneran udah putus sama si Moona dia," jawabku mengingat saat di perjalanan kami tempo hari sempat berbincang dan Ghava memilih untuk mengangkat topik itu.

"He must be guilty with you." Sebenarnya aku sudah mengabaikan hal itu—tapi ya, Ghava memang sepertinya merasa bersalah karena sikapnya yang tak elok saat pergi begitu saja untuk mengejar Moona. Jelas Moona kesal melihat Ghava pergi denganku malam itu, tapi untuk apa? Toh mereka sudah berpisah. Aku pun tidak akan lagi merasa kesal jikalau harus melihat Vano bersama dengan wanita lain ketika kami sudah tidak memiliki hubungan asmara yang bisa memberikan salah satu dari kami hak untuk kesal atau marah.

Aku berdeham untuk menyetujui ucapan Gania. "He said that he shouldn't have to give chase to Moona that night, dan ninggalin gue makan sendirian." Ya walaupun pada akhirnya aku tidak memakan makanan itu sendirian, thanks to Re yang muncul malam itu. "Moona juga nggak mau balik sama Ghava lagi," lanjutku.

"Karena dia tahu Ghava pasti bakal masih berhubungan sama lo, itu cewek cemburuan banget deh. Kind of annoying emang, lebay," omel Gania berapi-api. Belum saja dia melihat Moona secara langsung, bisa benar-benar terjadi perang tarik rambut jika itu terjadi, karena Moona tidak pernah tertarik menatap wajahku lama-lama saat kami bertemu, sebegitu menyebalkannya kah aku di matanya? Ckck.

"Ya, kalau emang pada akhirnya gue dan lo harus jauh-jauh dari Ghava nantinya karena dia pasti akan menikah dan who knows he would has a lion wife macam Moona yang nggak suka suaminya temenan sama cewek-cewek—"

Kalimatku terpotong oleh ucapan Gania. "Gorgeous kayak kita, ya jelas istri mana yang bakal tenang."

Aku berdecak mendengar wanita itu berkata dengan percaya dirinya. "Lo aja yang gorgeous, gue nggak se-gorgeous lo dan bagi gue, gue juga nggak punya potensi buat dicemburuin sama istri teman gue sendiri. Since gue nggak pernah minta apa-apa sama Ghava ataupun bersikap manja yang harus dia-dia terus, seharusnya mereka tetap merasa aman," tukasku.

"Malah dari pada gue, emang lo yang paling punya potensi buat dicemburuin, Gemima. Lo nggak lupa kan dari dulu tuh anak selalu over ke lo, his guarding act was like if I was only fenced off, you were chained, padlocked by him."

Meskipun itu terdengar berlebihan tapi dalam hatiku aku juga bisa merasakan kalau lelaki itu sedikit menambah level penjagaannya kepadaku entah dengan alasan apa. Sementara itu tidak menggangguku karena Ghava masih pada tahap tidak mengganggu sama sekali seperti contohnya dulu sekali dia menghajar kekasih pertamaku, aku rasa semakin dewasa dia semakin paham dan mengerti, dan aku bisa meletakkan rasa percayaku kepada lelaki itu.

Tell No Tales | CompletedUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum