4 • Bangsal

895 134 3
                                    

Cerita ini sudah tamat dan tersedia di Karyakarsa @ faradisme

Kita semua pernah merasakan kehilangan yang rasa sakitnya abadi. Dan di antara dari kita, hanya bisa menutupinya dengan pura-pura tidak mati.

🌻

Luka masih ingat, malam pertamanya di bangsal rumah sakit jiwa ini.

Saat itu bangunannya terlihat sangat besar. Membuat Luka hanya menunduk menatap kakinya yang melangkah. Lantai semen abu-abunya begitu dingin menusuk seperti ada duri tak kasat mata.

Luka langsung masuk di bangsal lima paling pojok lorong, seolah tempat itu memang sudah menanti kedatangannya.

Ketika itu Luka ketakutan. Malam pertama ia habiskan meringkuk sendirian sambil memeluk bingkai foto yang memajang wajah tersenyum ayah ibunya. Di foto itu juga ada Luka. Berada dalam gendongan ayah, merangkul leher kedua orang tuanya.

Luka mengenali senyum-senyuman itu. Senyum yang tidak lagi bisa ia lihat. Tidak bisa lagi ia rasakan hangatnya.

Terkadang suasana akan terasa sangat sunyi seperti tempat itu tidak berpenghuni. Namun di lain waktu suara-suara ribut sarat kesepian akan menggema dari kejauhan, redam oleh dinding bercat putih yang pucat.

Luka hanya bisa menyembunyikan napasnya yang memburu seolah meminta pertolongan tapi entah kepada siapa. Ia sendirian. Berteman malam yang sangat panjang, dan terkadang berhasil membuat Luka terjaga.

Di siang hari akan terasa menyengat sedangkan malam-malam berlalu dengan dengungan sunyi yang tajam. Namun terkadang bisa menjadi penuh keributan. Entah ada pasien yang menyikat lantai di waktu yang seharusnya tidur, atau bahkan pasien yang berteriak minta dipertemukan dengan presiden.

Selama seminggu penuh Luka hanya bersembunyi di kamar. Ia bahkan takut mengintip ke luar jendela. Ia takut setiap kali seseorang masuk mengantarkan jatah makannya. Ia takut ketika harus minum obat. Padahal ia tidak tahu itu obat untuk apa.

Kenapa ia harus minum obat padahal Luka tidak merasakan sakit? Kecuali hati, tubuhnya cukup sehat meski selama di rumah ia sering melewatkan makan jika tidak ada makanan sisa. Luka tidak tahu obat apa itu, tapi setiap kali meminumnya kepalanya langsung terasa ringan. Dan kosong. Dan tiba-tiba sesak. Lalu sesuatu di tenggorokannya terasa mendorong keluar. Ingin muntah tapi tidak bisa. Atau terkadang buram dan yang diinginkannya hanya tidur.

Hari ke delapan makanannya diantarkan oleh orang yang berbeda dari biasanya. Perawakannya seperti tokoh Emak di film keluarga cemara. Senyumnya tenang namun ramah.

"Panggil saya Sus Vina," wanita itu duduk perlahan di ujung tempat tidur Luka. "Saya dengar kamu belum keluar kamar seminggu ini."

Luka yang menutupi setenagah wajahnya dengan selimut memandang penuh antisipasi.

"Saya mengerti. Kamu pasti ketakutan. Dan itu hal yang sangat wajar bagi. Berada di tempat baru yang asing pasti membuat kamu kesusahan karena harus beradaptasi."

Sus Vina menggeser duduknya perlahan mendekat. "Tapi di luar sana nggak seburuk itu, kok. Di sini kamu hanya sedang ditemani. Jika biasanya kamu memikirkan hal sendirian, sekarang kamu bisa mengeluarkannya tanpa harus memikirkan perasaan siapa pun.

Kalo biasanya kamu ingin melakukan sesuatu tapi takut, di sini kamu bisa bebas melakukannya. Tidak ada yang menghalangi. Tidak ada yang mengganggu. Kamu bisa menjadi diri kamu sendiri. Kami hanya menjaga kamu."

Sejak LukaWhere stories live. Discover now