Chapter 5

74.7K 7.2K 263
                                    

THE RAIKAN'S HOTEL.

R-A-I-K-A-N.

Rai-Kan.

Bibirku mengeja lagi. Pelan. Sekali...dua kali....

Aku masih merasakan kosong yang sama di sudut hatiku, hampa...namun bakal dihantam nyeri yang bisa menghantam tiba-tiba. Datangnya sama cepatnya dengan perginya. Ah....

Mataku mengerjap mengusir air mata yang tiba-tiba ikut meramaikan kilas balik kenangan. Ikut mengetuk-ngetuk kotak memoriku tentang seseorang yang sangat berarti di masa laluku.

Apa kabar kamu sekarang?

"Mbak Lila, mau berangkat sekarang?"

Suara Pak Arief membuyarkan flashback memoriku. Segera kurapikan kemeja yang dibalut blazer biru pastelku sebelum kemudian memasuki mobil yang siap untuk kutumpangi menuju Head Office.

"Udah sarapan, Pak?"

"Udah, Mbak. Kenapa? Mbak belum sarapan?" tanya Pak Arief balik.

"Udah sih, Pak. Cuma kangen nasi kuning kampung halaman," jawabku.

"Oh, di sini adanya nasi uduk, Mbak. Mau mampir dulu?"

"Eh...nggak kok, Pak. Nanti aja pas udah balik ke kampung, hehehe...."

"Kalo mau mampir nyari nasi uduk bilang aja ya, Mbak. Saya nyetirnya menuju kantor ini."

"Nggak usah, Pak. Lain kali aja. Lagian kalo mampir-mampir dulu takut kena macet parah, Pak."

Pak Arief memusatkan perhatian kembali ke depan, karena jumlah kendaraan yang hiruk pikuk memenuhi jalan mulai terlihat meningkat drastis. Sementara aku memutuskan untuk mengecek draft MOU yang dikirimkan Feriska beberapa jam yang lalu.

Waktu berjalan tanpa terasa karena aku sibuk menelaah isi draft MOU yang digunakan sebelumnya. Mencoret dan mengganti beberapa kata ataupun menambah beberapa poin yang menurutku penting untuk dimasukkan jika bekerjasama dengan rumah sakit besar. Jelas, poin yang menitikberatkan pada pelayanan prima rumah sakit dan aturan pembayaran harus dicermati semaksimal mungkin. Biasanya, makin besar rumah sakit jelas makin banyak pasiennya. Waktu tunggu untuk setiap pasien juga lebih lama. Kadang, dengan intervensi MOU, kami bisa meminta sedikit perlakuan ekstra untuk karyawan yang emang rada emergency.

"Saya nunggu di bawah ya, Mbak. Nanti kalo jadi minta anter ke rumah sakitnya telpon aja," kata Pak Arief begitu kami memasuki pelataran gedung tinggi tempat Head Office berada.

"Oke, Pak," jawabku.

Sesaat kemudian, aku menjinjing tas laptopku yang lumayan berat dan keluar dari mobil. Jangan bayangkan ada supir atau karyawan lain yang sigap dan sedia membawakan tas atau apapun saat aku melangkah memasuki kantor. Aku kan bukan bos besar. Lagipula aku memang nggak nyaman dengan perlakuan kayak gitu. Bahkan Pak Roery Bachtiar, bos besarku aja nggak pernah mau dilayani sedemikian rupa. Beliau malah lebih santai dan memperlakukan bawahan layaknya rekan kerja. Salah satu sikap yang membuat ribuan karyawan betah bekerja dengannya. Bahkan, Pak Roery nggak segan ikut mengantarkan kotak nasi untuk lunch operator yang di lapangan, memastikan operator istirahat untuk mengisi kembali energinya. Istilahnya beliau: memanusiakan manusia, dan bahwa karyawan bukan hanya alat kerja tapi juga aset yang mesti dijaga. Saat bos besar memperhatikan kesejahteraan karyawan di bawahnya, maka sudah pasti karyawan akan royal kepadanya. Hebat kan?

"La, selamat pagi," sapa Mbak Vera begitu aku mendaratkan diri di kubikel sebelahnya.

"Pagi, Mbak. Mau finishing draft buat MOU nih," ujarku sembari menyalakan laptop dan mulai mengetik sesuatu. "Pak Roery masuk jam berapa biasanya, Mbak?"

Beautiful Mining ExpertWhere stories live. Discover now