turning point

6K 529 70
                                    

"Long time no see, Your Grace."

Aku menatap pria yang sedang duduk di ruanganku tanpa senyuman. Tidak menunjukan ekspresi khusus, atau penolakan yang dramatis atas kehadirannya sehingga dia tampak terganggu dengan reaksi yang ku berikan.

Sudah delapan tahun berlalu, namun pria bermata biru terang, dengan rambut coklat kastanye, dan wajah tegas itu sama sekali tidak berubah. Persis seperti terakhir kali ku ingat, saat dia mengkhianati kesepakatan kami dan mencampakanku dari istana megah miliknya.

Tampan dan menggairahkan, tapi sangat menjengkelkan sampai-sampai aku ingin meninjunya sekarang, saat ini juga.

"Indeed." Dia menjawab dengan suara rendah yang tegas, mendominasi, seperti yang selalu dia lakukan pada bawahannya. "Sudah lama kita tidak bertemu... Duchess."

Aku mengambil langkah untuk duduk di hadapannya, tanpa meminta izin, atau menunggu aba-aba ditawarkan—persetan dengan etiket dan tata krama kerajaan Britania Raya sialan. Aku terang-terangan menunjukan ketidak sukaanku atas kehadirannya di sini, di perusahaanku, di hari anniversary ke-tiga ku sebagai CEO Aldarict Holdings.

"Duchess?" Aku tersenyum tipis, menyembunyikan kebencian di dalam hati. "Saya tidak tahu gelar terhormat seperti itu bisa disandang oleh rakyat jelata."

Alexander William Arthur Constantine Grosveinor menatapku tanpa mengatakan apa-apa, ekspresinya datar. Dia tidak membantah, ataupun mengoreksi sindiranku. Wajah tampannya yang tenang itu membuatku semakin membencinya.

"Sudah waktunya kau pulang." Katanya, yang terdengar sangat seperti perintah.

Aku mengerutkan dahi. "Pulang? Saya sudah di rumah, Yang Mulia."

Alexander mengeluarkan beberapa lembar berkas dari amplop yang asistennya letakan di atas meja, lalu meletakannya di dekatku.

"Aku akan mengungkapkan identitasmu di pernikahan resmi kita bulan depan, Ratu sudah menyetujui permintaanku."

Aku terpaku, terlalu terkejut hingga lambat memproses perkataannya. Namun saat sudah bisa mengerti apa yang dia katakan, tawaku terlepas tanpa bisa dikendalikan. Lelucon yang dia katakan sangat lucu, sampai aku berusaha mengingat-ingat kapan terakhir kali aku tertawa lepas seperti saat ini, seperti saat aku mendengar omong kosong yang barusan dia katakan.

"Maafkan saya." Aku menutup mulut dengan punggung tangan, menahan tawaku. "Tapi mungkin anda lupa. Kita tidak akan pernah bisa menikah. Delapan tahun lalu, Duchess Natasha mengatakan bahwa tanpa restunya, pernikahan kita tidak akan pernah dianggap sah di hadapan hukum Inggris."

"Aku adalah kepala keluarga Duke Westminster. Dan aku yang memutuskan apakah pernikahan kita sah, atau tidak." Ekspresi Alexander mengeras, tidak terima dengan argumenku. "Kau masih istriku, sekarang aku mau kau kembali untuk menjalankan tugasmu sebagai Duchess."

Iris biru terangnya menatapku arogan, seolah menunjukan bahwa dia masih berkuasa atas diriku, kehidupanku, dan semua yang akan menjadi pilihanku.

"Oh dear." Aku menantangnya, tidak takut. "Sayang sekali, tapi meskipun pernikahan kita sah, apa anda pikir saya masih mau jadi istri anda?"

Dia diam.

"You betrayed me, Alexander." Deramku marah, kembali mengabaikan sopan santun kerajaan. "You fucking betrayed me!"

"Kita menikah dengan kesepakatan bahwa aku akan jadi pengekang ibumu, dan kau jadi sponsor perusahaanku. Tapi tapi apa yang kau lakukan? Kau mensabotase perusahaanku, membiarkan Ingrid mencuri semua data proyekku, dan membuatku hampir masuk penjara atas tuduhan penggelapan dana." Napasku panjang pendek, penuh emosi.

"Lalu sekarang kau mau aku tetap jadi istrimu? Apa kau pikir aku orang bodoh?"

Ada jeda yang cukup lama setelah aku menyatakan ultimatumku, namun tatapan Alexander masih dingin dan mentimidasi, seolah dia tahu pengaruh yang bisa dia berikan padaku. Dia kemudian mengambil lembaran lain dari amplop berkasnya.

Dua buah cek yang sudah ditanda-tangani dan dicap dengan cap resmi Dukedom Westminster tanpa nominal—yang berarti bisa diisi berapapun, dia berikan kepadaku.

"Tuliskan." Ujarnya penuh percaya diri. "Berapapun yang kau inginkan, aku akan membayar semua kerugian yang kau dan perusahaanmu terima."

Aku kembali tertawa, kali ini sarkastis pada sifat tiraninya yang masih belum berubah. Dia masih tidak mau menerima penolakan dari siapapun.

"Menyelesaikan masalah dengan uang?" Sindirku. "Benar-benar ahli memperlakukan orang seperti properti."

Aku lantas berdiri, menatapnya dengan sorot mata semakin tidak senang. "Saya akan berpura-pura tidak mendengar perkataan anda. Jadi silahkan tinggalkan tempat ini."

Saat aku hendak berbalik pergi, Alexander ikut berdiri. Dia dengan cepat mencegat tanganku, menahanku pada tubuhnya agar aku tidak bisa melarikan diri dari jangakauannya.

"Bukankah alasanmu menjebakku karena kau tahu aku bisa membayarmu berapapun yang kau inginkan?" Tuntutnya meradang.

"That's your decision to offer me a drink, Louisa. That is your fucking decision to fuck me at my own engagement party! Jadi semua situasi yang terjadi, semua hal yang ku lakukan, dan semua hal yang kau alami terjadi karena kau meninginkannya. Kau menginginkanku."

Aku menggit dalam mulutku kuat, aroma maskulin kayu dari tubuhnya yang begitu dekat menggoyangkan egoku.

Tubuhku yang tidak tahu diri berteriak merindukannya, menjerit menginginkan sentuhannya, dan meskipun aku mati-matian membohongi diri untuk mengutuknya, aku tetap tidak bisa lepas dari ketergantunganku padanya.

"Ku mohon..." Aku berdersis, berusaha mengembalikan akal sehatku. "Tolong pergi, Yang Mulia."

"Louisa."

"Pergi!" Teriakku lalu mendorongnya menjauh.

Alexander tidak bergeming.

"Kita sudah selesai." Aku berjalan pergi meninggalkannya.

Namun sebelum mencapai pintu, Alexander kembali mendeklarasikan keputusannya padaku.

"Aku akan menemui keluargamu lusa malam."

Aku tidak berhenti.

"Aku akan membicarakan hubungan kita, dan meminta izin membawamu ke London untuk acara pernikahan resmi kita." Tegasnya.

"Kau akan jadi milikku secara hukum, Lousia. Di negaraku maupun di negaramu."

Jantungku langsung bergetar hebat, sementara kepalaku tidak bisa berfungsi, tubuh bagian bawahku terersentak.

Sialan, aku meremas tanganku sendiri. Pria itu benar-benar licik.

***
[ back to description ]

With love,
Nambyull

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 2 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Little less Conversation Where stories live. Discover now