BIANGLALAKU (part 1)

51 3 0
                                    

Setelah berpisah dengan Dupa, hampir setiap dua minggu sekali kusempatkan untuk menaiki bianglala yang pernah menjadi ruang perpisahanku dengannya. 

Dupa menjadi laki-laki yang tak dapat kulupakan, dia masih sering muncul di hadapanku, menjengukku, terkadang merawatku—jika aku ingin. Dia masih ada dan tak pernah ke mana-mana. Banyak sekali yang mengatakan bahwa Dupa sangat menyayangiku.

Lalang, namanya, hadir ketika ada hal-hal yang mengingatkan, tapi tidak separah dulu yang hampir setiap hariku dibayangi oleh hubungannya dan Lalang yang sebenarnya sudah lama berpisah.

Laki-laki yang dulu kutemui di taman bermain—ketika aku teringat tentang Dipa—kini telah menjadi teman dekatku. Namanya Sani. Tidak ada perasaan khusus, kami hanya sering bertukar pikiran saja. Dia perhatian kepadaku, katanya aku sangat mirip dengan kekasihnya, Lala. Lala telah tiada, hilang ditelan bumi, kata Sani. Entah apa maksudnya, aku tak pernah tahu dan aku tak ingin menanyakannya secara mendalam. Berpisah dengan Dupa, membuatku tidak acuh kepada lainnya, dan hal yang ingin aku tahu hanya tentang perasaanku yang masih sangat mencintai Dupa.

Kala itu, hari Minggu, Sani mengajakku keliling Kota Surakarta. Kami berangkat menggunakan kereta. Di dalam gerbong nomor tiga kami saling bertanya jawab.

"Bina, masih sering teringat Dupa?"

"Ya, masih. Dia masih ada di hadapanku, namun aku merasa jauh darinya. Bukan karena dia tidak mencintaiku, hanya saja dia sudah tidak berstatus kekasihku. Pikirku, dia bisa bebas berhubungan dengan yang lainnya di luar sana, kan?"

"Mengapa kau terlalu rumit?" Sani menatapku.

"Aku hanya tak ingin terus menanggung sakit hatiku."

"Sebenarnya apa yang membuat kalian berpisah?"

"Aku tidak pernah percaya dia mencintaiku."

"Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"

"Feeling ...."

"Perasaanmu?"

"Iya ...."

Sani mendengus. "Kau terlalu egois, kau tahu itu?"

"Namun, dengan memutuskan untuk meninggalkannya itu membuat dia tidak lagi repot dan bingung bagaimana harus menghadapiku, kan? Aku menyelamatkannya," tegasku.

"Itu, kan, bagimu, Bina. Belum tentu Dupa bahagia tanpamu."

"Nanti juga akan bahagia. Bahagia ada di mana-mana, tak melulu ada pada diriku, kan?"

Kereta berhenti di Stasiun Purwosari. Kami bersama-sama turun dari kereta dan berjalan beriringan menuju pintu keluar. Aku berjalan kecil namun cukup cepat, Sani mengikutiku. Kami mencari becak dan meminta diantarkan ke Pasar Triwindu. Menyusuri jalan panjang menuju pasar, Sani menyodorkan satu botol teh dingin rasa buah kepadaku, yang segera kuteguk setengah isinya.

"Lalu, adakah kenangan tentang Lala di sini?" tanyaku gantian.

"Tidak ada yang kusimpan tentangnya. Semua kututup, dan ini pilihanku."

"Yang terlihat, kau telah membakar habis kenanganmu, bahkan rasamu, namun hati orang siapa yang tahu? Dalam hatimu bisa saja kau simpan rapi dan manis. Bisa saja, kan?"

"Tidak akan aku melupakannya. Tapi, dia akan hadir ketika aku teringat saja. Masa lalu tidak pernah berlalu, dia selalu hidup, dan akan hidup selamanya ketika kita memutuskan untuk menghidupkannya."

Aku mengernyit.

"Bina, tak ada yang dapat mengubah masa lalu seseorang, untuk menenangkan, ubah cara pikir kita. Itu pun jika kita ingin mengubahnya."

Mati di Jogjakarta 2 (Egha De Latoya)Where stories live. Discover now