BIANGLALAKU (part 2)

16 2 0
                                    


Kami berdua kembali menggunakan becak menuju warung selat solo. Aku jadi ketagihan naik becak. Selain bebas melihat kiri-kanan, biaya becak juga tidak mahal. Jadi mudah ke mana-mana untuk mendapatkan pengalaman seru. 

Tangan kananku menggenggam cermin pemberian Sani. Sesekali kupandangi dan membuatku senyum-senyum sendiri. Aku suka kejutan. Aku suka hal-hal yang manis.

"Sebenarnya, denganmu aku memiliki ruang tersendiri untuk banyak bicara. Kau wadah yang pas untuk kuajak bertukar pikiran, Bina. Banyak hal di luar logika yang kuterima pada setiap jawabanmu."

"Mengertilah, San. Cinta butuh logika, namun kebanyakan memang tumbuh tanpa logika."

"Apa hubungannya dengan cinta?"

"Kau tak sadar? semua yang tumbuh dengan baik di dunia ini atas dasar cinta."

Becak membawa kami memasuki area keraton Surakarta. Bangunan lama begitu indahnya berjejer di sekitarnya. Dengan dinding yang sangat tinggi dan kokoh membuat area keraton sangat terasa magisnya. Pohon-pohon menjulang tinggi dengan batang pohon yang besar membuatnya tampak lebih gagah dari pepohonan lainnya.

Aku terpaku di atas becak—menatap jalanan yang lengang. Kesadaranku bangkit. Aku harus bangkit. Aku harus membahagiakan diriku sendiri. Sebab kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh hati yang mampu menerima sesuatu. Pandanganku terarah ke Sani yang sibuk memotret dan merekam video. 

"San, rasanya aku ingin tinggal di sini."

"Nanti kau kesepian," tukas Sani.

"Aku, kan, bisa meneleponmu. Aku juga bisa datang ke Jogja kalau ingin bertemu."

"Semua akan lebih baik dalam kedekatan, Bina. Dekat denganku begini saja kau masih sering merasa sepi, kan?"

Aku mengangguk, membenarkan ucapan Sani. Eh, sebentar lagi kita sampai.

Sesampainya di warung selat solo, kami sempat dibuat bingung dengan beragam macam pilihan makanan dan minuman. Namun, kami akhirnya sepakat dengan pilihan awal: selat solo dan es ketan hijau. Sani mengamati warung sambil mengeluarkan kameranya dan kembali memotret. Aku memperhatikannya sambil asyik mengunyah kerupuk.

"San, motretnya nanti aja, sini dulu, lanjutin yang tadi," tukasku.  

"Lanjutin apa?" jawab Sani tanpa memperhatikanku. "Yang tadi itu, kenapa kamu enggak mau memperlakukan pacar sebegitunya," kujatuhkan kepalaku ke atas meja. Sani akhirnya kembali duduk. Segera kutegakkan posisi dudukku dan menghadap padanya.

"Iya, secukupnya dan sewajarnya saja. Aku menyayangi Lala, memperhatikannya, takut kehilangannya, namun aku tak ingin memberikan yang luar biasa, bahkan di luar batas kepadanya," jelas Sani sambil memasukkan kamera ke dalam tas.

"Mengapa begitu?"

"Secukupnya dan sewajarnya," ulang Sani.

"Apakah memberikan kasih sayang itu enggak wajar, San?"

"Siapa bilang enggak wajar? Yang kita bahas, kan, perlakuannnya. Hal yang berlebihan enggak pernah lebih baik, bagiku."

"Lalu, tentang istrimu yang akan diejek?"

"Begitu banyak cerita yang terdengar di telingaku tentang itu. Pertama, waktu itu teman satu gengku pernah membicarakan mantannya. Nama temanku itu Nana. Dia curhat tentang Reno, mantannya yang sudah punya pacar baru, si Bella namanya. Sambil menunjukkan foto Reno dan Bella, Nana berkata, 'Halah, Bella bocah begini mana bisa urus si Reno?'; 'Bella ini kasihan, paling cuma dimainin sama Reno.'; 'Bella ini alay banget, ya, cuma dikasih boneka sama Reno aja dipamerin habis-habisan di sosial media. Aku aja yang pernah dibelikan yang lebih sama Reno biasa aja, tuh. Bahkan aku sama Reno sempat tinggal bersama bertahun-tahun. Aku kenal dekat dengan orang tuanya. Kami sudah hampir mau menikah.'

Mati di Jogjakarta 2 (Egha De Latoya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang