Part 2

10 1 0
                                    

Sial, pikir Soyoung. Dia mendapati tangannya mulai gemetaran saat mobilnya sampai halaman hotel tempat Tiffany menyelenggarakan pesta. Kenapa baru sekarang? Padahal dia ingin melepas kangen, menikmati pesta lajang dan Karaoke Night bersama Tiffany dan teman-teman sahabatnya. Tapi, lagi-lagi tubuhnya tak bisa diajak bekerjasama.

Soyoung menggenggam tangannya kuat-kuat berusaha melawan perasaannya dan turun dari mobil. Ketika dia berdiri di depan pintu, perlahan nafasnya mulai berat dan menjadi sesak bagai terhimpit. Tubuh Soyoung pun merunduk dengan satu tangan di atas dada.

Penata Rias Jung yang sedang menurunkan koper dari mobil lain, melihat Soyoung dan buru-buru menghampiri menyanyi muda itu. Segalanya seolah sudah menjadi pemandangan yang biasa untuk Jung yang sudah bekerja bersama Soyoung selama belasan tahun. Wanita itu menuntun Soyoung masuk ke lobi lebih dulu, mendudukkan wanita mudah itu di sofa dan memberikan sebotol air kemasan yang selalu ia siapkan dalam ransel.

Dia memegangi tangan Soyoung dan tak meninggalkan wanita itu sampai keadaannya benar-benar membaik.

"Jika kau lelah, tidak perlu ikut ke pesta lajang," ujar Jung.

Soyoung menggeleng. "Tidak, aku sudah berjanji."

"Jika kau sudah bertekad..." gumam Jung. Tak lama kemudian ia bertanya, "apa kau mau minum obat lagi?"

Soyoung mengangguk-angguk cepat.

Selagi Jung pergi mengambilkan obat Soyoung dari mobil, Soyoung berusaha mengatur nafasnya seperti yang diajarkan oleh terapisnya. Perlahan tapi pasti. Tarik nafas, lalu buang. Berangsur-angsur, terus seperti itu, sampai jantungnya tak lagi berdegup terlalu kencang.

Kata dokternya, itu hanya akibat sinyal yang salah dari otak, mengira ada bahaya, padahal tidak ada apa-apa. Untung saja cara itu berhasil menenangkannya walau hanya sejenak. Di hari-hari lain, serangan panik yang lebih parah bisa membuat Soyoung tak karuan hingga dilarikan ke UGD.

"Oh, biar aku saja," ujar seseorang dari arah belakang.

Suara itu terdengar familiar di telinga Soyoung. Ia berpaling dan mendapati Tiffany, si calon pengantin, mengambil obat dan air minum dari tangan Jung dan berjalan ke arahnya.

Saat Tiffany sudah berada di hadapannya, Soyoung langsung bangkit berdiri dan memeluk sahabatnya erat-erat. Tiffany juga menyambut pelukan itu dengan eratnya, terharu menyadari mereka bisa bertemu lagi setelah lama terpisah oleh jarak dan kesibukan. Padahal mereka hanya belum bertemu selama 3 bulan.

"Aku kira kau tidak jadi datang," isak Tiffany dalam pelukan Soyoung.

"Tolong jangan dramatis, aku hanya terlambat sedikit," sergah Soyoung dengan suara bergetar menahan tangis. "Aku rindu sekali."

Tak lama, kedua sahabat itu sudah berjalan di jalan setapak, menyusuri rumah-rumah pondok kecil yang tersusun rapi sampai ke garis pantai. Soyoung seolah masuk ke dunia lain. Bersama Tiffany di sisinya, ia melihat perumahan gipsi modern seperti yang tampak dalam majalah wisata alam.

Banyak semak bunga, pepohonan rindang dan lampu-lampu kuning temaram menghiasi jalan, juga tergantung di tiang-tiang. Sementara, langit sudah berubah warna keemasan, membawa angin sepoy dari lautan, bersiap menyambut matahari tenggelam. Tanpa perlu minum obat, pemandangan yang indah di sekelilingnya, seketika menyembuhkan sesak di dada Soyoung.

"Kau sewa semua?" Tanya Soyoung ketika dia mendapati hanya ada mereka dan wajah-wajah familiar dari keluarga Tiffany di halaman itu.

"Lebih tepatnya, aku dan Jerome sedang dalam proses membeli lahan ini," cerita Tiffany tanpa basa-basi. "Memang tidak seluas yang ku bayangkan, tapi entah kenapa hatiku merasa tenang di sini."

Looks Like A Real Thing: RetoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang