Le Culinaire

256 37 0
                                    

Langit berwarna kelabu. Angin September membuat semua orang merasa lebih sejuk. Musim gugur baru saja menggantikan musim panas yang terik. Saat ini cuaca tak menentu. Kadang matahari mengintip malu-malu, kadang langit dihiasi gumpalan-gumpalan awan yang tiba-tiba menjatuhkan muatannya berupa titik-titik air yang semakin deras, bahkan kadang kabut datang tanpa diundang.

Sore ini Bunga terpaku di dalam kamar, menatap lemari yang terbuka. Lemari itu sudah penuh sesak dengan bajubaju pilihan Odetta. Bunga mengambil sebuah kardigan ungu dan memakainya. Dirapatkannya kancing kardigan itu untuk menahannya dari angin musim gugur. Bunga membalikkan badan, bersiap keluar dari kamar. Matanya langsung membentur celemek putih yang besok pagi akan mulai dikenakan di Le Culinaire.

Bibir Bunga membentuk senyum saat membayangkan dirinya berada di dapur sekolah terkenal itu, dan tangannya sibuk meracik masakan-masakan khas Prancis yang elegan.

Bunga sengaja mengambil program Le Grand Diploma agar dapat mempelajari cuisine—seni masak-memasak hidangan utama dan pastry, seni memasak aneka kue. Dia bertekad akan menandingi kepandaian Darel dalam mengolah makanan. Paling tidak, mendekati kemampuannya. Demi gerai roti yang akan dibuatnya, suatu saat nanti.

Bunga mendesah. Dia tidak sabar menunggu esok tiba. Gadis berlesung pipi itu pun cepat-cepat keluar kamar sambil menyambar sebuah buku yang sampulnya sudah kusut berjudul Julia's Breakfast, Lunches, and Suppers dari dalam tasnya.

Beberapa hari belakangan ini Bunga senang mempraktikkan resep-resep masakan yang ada di buku itu. Kelinci percobaannya siapa lagi kalau bukan Odetta. Gadis jangkung itu sampai kekenyangan karena Bunga tak hentihenti memintanya melahap hasil masakannya.

Bunga tersenyum mengingat kejadian lucu itu. Hari ini terasa sepi karena Odetta pergi sejak pagi, mencari perlengkapan yang dibutuhkan untuk mulai belajar di VÊTEMENTS besok pagi.

Bunga mengayun langkah perlahan-lahan ke balkon sambil membuka lembaran-lembaran buku itu untuk kali kesekian.

"Aha! Aku belum pernah mencoba resep Croque Monsieur ini. Besok sepulang kuliah akan kucoba." Bunga mendaratkan tubuh di sofa balkon. Di tempat ini angin semakin terasa kencang. Di kejauhan, langit penuh awan hitam yang bergulung-gulung menjauh karena tertiup angin.

"Bahannya apa aja, ya ...," gumam Bunga lagi. Dia mengalihkan pandangannya, jauh ke depan. Tak sengaja, matanya tertumbuk pada sesosok tubuh.

Pemuda berwajah tirus itu sedang berdiri di balkon apartemennya. Dia memandangi Bunga. Kali ini wajahnya lebih cerah. Bunga tercengang karena Pascal memandanginya, nyaris tanpa berkedip. Lama-lama Bunga merasa heran. Sorot mata pemuda itu tampak berbinar-binar, seperti sedang melihat sesuatu yang disukai.

Betul kata Odetta. Cowok ini ganteng banget. Matanya, hidungnya, dagunya. Benar-benar cool. Tanpa sadar Bunga juga menatap pemuda itu. Ingatan Bunga langsung melayang pada sosok vampir-vampir keren di film Twilight.

Bunga merasa kikuk karena saling menatap seperti ini. Ketika Bunga merapatkan kardigannya, Pascal mengangkat kedua tangannya dan mengusap wajah dengan raut wajah seperti orang kelelahan.

"Maaf," desisnya. Nyaris tanpa suara. Oh, suaranya! Bunga baru kali pertama mendengarnya. Dan, dia terbelalak karena perkiraannya bahwa suara Pascal bernada melengking tinggi, salah besar. Pemuda bertubuh tipis dan berwajah tirus dengan mata cekung itu, suaranya bulat dan merdu. Seperti suara yang banyak dimiliki pemuda-pemuda bertubuh tegap dan berisi. Pemuda itu juga menggunakan bahasa Inggris. Bukan bahasa Prancis seperti yang dilakukan orang-orang sini kepada orang asing sekalipun.

Bunga terkejut untuk kali kedua. Pascal tadi berkata apa? Maaf?

"Untuk apa?" Bunga terheran-heran.

PARIS, AFTER THE RAINWhere stories live. Discover now