Bab 1

1K 79 3
                                    

Selama ini gue pikir dengan mengikuti semua yang gue mau, gue akan mendapatkan kebahagiaan yang selalu gue harapkan. Nyatanya, semakin gue mengikuti keinginan gue sendiri, gue semakin nggak bisa membedakan mana yang gue butuhkan dan mana yang gue inginkan. Gue selalu berpikir dengan pandangan gue sendiri, sampai akhirnya gue sadar kalau nggak semua hal yang gue pikirkan adalah hal yang benar.

Semua masalah yang menimpa gue sampai hari ini nggak akan terjadi kalau aja gue nggak gegabah dalam mengambil keputusan. Seharusnya gue bisa berpikir lebih panjang, mengendalikan diri gue sendiri, dan nggak egois hanya karena gue ingin membahagiakan diri gue sendiri. Sampai detik ini gue masih belum tahu apa yang harus gue perbuat. Sejak pagi tadi ponsel gue ditelepon berkali-kali oleh aplikasi pinjaman online. Padahal jatuh temponya masih tiga hari lagi. Lalu barusan, staff keuangan dari penerbit tempat gue menerbitkan buku memberi laporan kalau penjualan buku gue mengalami penurunan drastis di tiga bulan terakhir.

Nggak hanya itu, salah satu ambassador Wabby Web, tempat gue menulis berbayar, juga memberi kabar kalau ada penundaan lagi dari program menulis yang gue ikuti, karena katanya mereka masih dalam suasana libur tahun baru. Ini sudah ketiga kalinya mereka mengundur proyek ini dan menunda pembayaran terakhir. Gue benar-benar merasa frustrasi karena di saat mereka bersenang-senang di sana, gue di sini mati-matian berpacu dengan waktu.

Gue menghela napas pelan, mencoba untuk tenang agar bisa berpikir dengan lebih jernih. Gue menatap lemari action figure di samping meja kerja yang hanya tersisa dua figur lagi. Captain America dan Scarlet Witch. Hanya dua barang itu yang bisa gue jadikan uang untuk menutupi utang bulan ini—yang cicilannya masih 6 bulan lagi. Meski berat, gue memutuskan untuk menjual Scarlet Witch ke grup komunitas action figure dengan harga yang tentunya lebih rendah dari saat gue membelinya.

Sejak COVID-19 melanda dua tahun lalu, kehidupan gue yang semula berjalan baik-baik aja berubah drastis menjadi nggak keruan dan tentu arah. Penjualan buku gue mulai menurun, karena ada banyak toko buku yang tutup selama pandemi berlangsung. Karena minimnya pemasukan, gue memberanikan diri mengajukan pinjaman ke aplikasi online. Setahun pertama semua berjalan baik-baik aja karena gue rutin membayar tepat waktu. Sampai seiring berjalannya waktu, tanpa gue sadari kebodohan membuat gue terjebak dengan lingkaran setan gali lobang tutup lobang, yang akhirnya mencekik diri gue sendiri.

Sekarang gue benar-benar seperti pecundang yang hidup segan, mati tak mau. Setiap hari gue bertaruh dengan diri gue sendiri untuk mencari cara bagaimana gue bisa melunasi utang-utang gue, dan keluar dari situasi rumit ini.

***

"Kamu beneran nggak mau kerja di toko saya, Bas? Masih ada lowongan loh kalau kamu mau." Mas Anton bertanya ketika gue sedang mampir ke rumahnya untuk membayar uang yang gue pinjam bulan lalu.

Mas Anton adalah kepala toko es krim yang franchise-nya sedang menjamur di mana-mana saat ini. Dulu beliau adalah tetangga di kontrakan yang gue tempati sekarang. Karena sudah naik jabatan dan menjadi karyawan tetap, Mas Anton dan istrinya—Mbak Diah—mulai memberanikan diri untuk mencicil sebuah hunian di daerah Jakarta Pusat.

"Kalau soal umur nggak usah dipikirin. Lagian 28 tahun itu masih muda, kok. Kalau udah seumuran saya, tuh, baru kamu panik." Mas Anton terkekeh.

"Saya masih ada proyek nulis, Mas. Masih ada sepuluh bab lagi. Takutnya kalau saya lamar ke toko, saya nggak bisa bagi waktu buat nulis."

Menulis dalam keadaan menganggur aja rasanya lumayan berat. Apalagi menulis dalam keadaan bekerja, yang liburnya nggak menentu?

"Terus, solusinya gimana? Koleksi-koleksi kamu makin hari makin habis dan menulis pun menurut saya percuma kalau proyeknya diundur terus."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 18, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Back in TimeWhere stories live. Discover now