Prolog

439 64 6
                                    

Aku percaya bahwa seorang manusia pasti akan diuji oleh Tuhan dalam hidupnya. Namun, setiap orang tentu saja mendapatkan ujian dalam bentuk yang berbeda. Bagi sebagian orang, ujian itu dapat berupa kurangnya kemampuan finansial. Sebagian orang lainnya mungkin saja dianugerahi tingkat finansial yang matang tapi seret dalam hal jodoh. Sedangkan sebagian lainnya mungkin sudah mapan finansial dan bertemu dengan jodohnya, tapi masih belum juga dianugerahi keturunan.

Bagiku, ujian itu datang bukan dalam bentuk seretnya ekonomi, jodoh, ataupun anak. Aku sudah menikah dengan Adnan. Pertemuan pertama kami terjadi saat kami masih sama-sama berusia sembilan belas, lantas kami berpacaran satu tahun setelahnya, dan menikah enam tahun berikutnya. Secara percintaan dan jodoh, takdirku semulus mukanya Dian Sastro. Dari segi finansial pun, rasanya aku tidak ada masalah. Walaupun tidak bisa bergaya hidup layaknya sultan-sultan instagram, tapi setidaknya, penghasilanku dan Adnan cukup untuk menghidupi kami bertiga — aku, Adnan, dan Aydan, putra pertama kami yang lahir di bulan kesepuluh pernikahan kami.

Bagiku, ujian hidup itu datang dalam bentuk perempuan lanjut usia yang kini sedang berjalan menghampiriku dengan langkah yang tertatih-tatih karena semalam kebanyakan makan jeroan. Namun sakitnya itu tidak menghalanginya untuk tampil paripurna dalam acara walimatussafar yang ia gelar menjelang keberangkatan umrohnya yang tersisa tiga hari lagi. Ia sudah siap menjamu tamunya dengan gamis berharga jutaan rupiah yang kemarin sudah dia pamerkan kepadaku lewat WhatsApp: "Mama beli ini buat acara besok, bagus, kan?". Ku iyakan saja biar cepat. Padahal bagus juga enggak. Gamis yang dimaksud bagus oleh perempuan itu menuliskan nama brand-nya yang sudah tersohor besar-besar di seluruh bagian gamisnya. Benar-benar menyilaukan mata.

Perempuan yang kumaksud itu, ibunya Adnan, alias ibu mertuaku!

"Kok baru datang sih, Tha."

Tentu saja. Daripada mengapresiasi aku yang sudah hadir di rumahnya sejak jam setengah delapan pagi di hari sabtu ini, Mama lebih memilih untuk memberi komentar menyebalkan. Mungkin baginya, seharusnya aku datang sejak subuh tadi, membantu Mbak Rum dan asisten rumah tangga lainnya untuk bersih-bersih rumah dan menata karpet. Kalau perlu sepulang kerja kemarin aku sudah di sini dan membantu belanja bahan makanan. Pokoknya, tidak peduli aku punya urusan lain atau tidak, yang penting urusannya wajib senantiasa dinomorsatukan.

Aku tersenyum. Kalau bagi karyawan ada yang dinamakan "ketawa karir", maka bagi kami para menantu ada juga "senyum default menantu", yaitu senyum manis yang harus selalu ditunjukkan pada mertua tidak peduli seberapa menyebalkannya ucapan ataupun perilaku mertua kepada kami. "Maaf ya Ma, tadi masih nunggu Aydan bangun dulu, baru ke toko buah beli titipan Mama."

"Seharusnya datang dari tadi Tha. Itu lho Mbakmu kasihan, jadi ikut bantu-bantu di dapur."

"Mbak" yang dimaksud Mama adalah Mbak Wawa, kakak perempuan pertama Adnan. Bagi Mama, anak perempuannya tidak wajib membantu pekerjaannya. Yang berkewajiban membantu ya, menantu perempuannya saja, dan sialnya, menantu perempuan yang dia miliki cuma aku.

"Ya kan nggak apa-apa, Ma, kalau Mbak Wawa bisa bantu," aku memberanikan diri untuk menjawab. Memang sekali-sekali harus dijawab. Walaupun nanti Mama tetap akan menjawab dengan jawaban yang lebih menyebalkan, tapi senang saja rasanya jika sudah mengutarakan kedongkolanku padanya.

"Ya kasihan lah, Tha, Mbakmu itu. Kamu itu gimana. Wawa kan anaknya tiga, nggak ada pembantu, lagi. Dia itu repot. Kamu kan anak cuma satu, ada pembantu juga."

Aku mencibir dalam hati. Ya memang sih, anakku cuma Aydan. Masalahnya, Aydan itu masih 2,5 tahun! Sedangkan anak Mbak Wawa yang paling kecil sudah kelas 1 SD! Sudah nggak harus dimandiin, disuapin... Lagipula, Mbak Wawa tidak punya ART itu juga kesalahannya sendiri yang tidak pernah puas dengan pekerjaan orang lain. Setiap ART yang bekerja di rumahnya selalu saja ada cacatnya di matanya, ya gimana orang mau betah kerja sama dia? Tapi ya sudah, lah. Suka-suka Mama saja. Kalau kata ibuku, sing waras ngalah!

"Ini ditaruh di sana ya, Ma?" Aku mengalihkan pembicaraan, menunjuk pada piring berisi anggur yang tadi kubeli sebelum berangkat ke sini. Di sampingnya, ada piring berisi semangka dan melon yang sudah dipotong-potong oleh Mbak Rum. Piring-piring berisi buah-buahan ini akan disebar di beberapa titik rumah yang sudah dialasi karpet supaya setiap tamu yang hadir nanti bisa mengambil buahnya.

"Iya, taruh aja di sana." Mama setuju. Perempuan paruh baya itu mengikuti di belakangku. "Tha, Mama lihat-lihat kamu tuh sekarang agak gendut ya."

"Masa, Ma?"

Tiga setengah tahun menjadi menantu Mama, aku sih sudah kebal dengan komentar-komentar body shaming  begini. Pernah suatu waktu Mama menuduhku suntik putih karena katanya tiba-tiba wajahku putih, padahal boro-boro punya waktu buat suntik putih, mahasiswaku saja sudah pada menerorku karena aku tak kunjung mengoreksi skripsi mereka. Beberapa bulan setelah aku melahirkan Aydan pun, Mama pernah menegurku karena katanya aku terlalu gendut dan menyuruhku untuk segera menguruskan badan supaya Adnan tidak bosan melihatku. Padahal waktu itu aku masih menyusui cucunya.

Terkadang, aku bersyukur Mama ini masuk generasi boomer bukan generasi milenial yang melek internet. Karena seandainya Mama main internet, ia pasti sudah di-cancel habis-habisan oleh netizen.

"Iya, tambah gendut," Mama ceplas-ceplos tanpa sungkan. "Diet gih, Tha. Kasihan anakku kalau kamu gendut begini. Kamu masih muda, anak baru satu. Mempercantik diri di hadapan suami itu pahala, lho."

"Iya, Ma." Menghadapi mertua menyebalkan sudah paling benar kalau di "iya" kan saja. Aku kembali mengambil piring di meja dan menatanya di karpet. Di belakangku, Mama masih mengikuti.

"Kamu nanti jangan lupa ambil kue pesanannya ya."

"Iya, Ma."

Tentu saja. Apa artinya diciptakan delivery service jika ada menantu yang bisa disuruh-suruh untuk mengambil ini itu?

"Jam 9 ya."

"Siap, Ma."

"Kalau sudah selesai ditata buahnya nanti kamu ke dapur, ya, Tha. Gantiin Mbak Wawa."

Aku memutar bola mata. "Iya, Ma."

Kalau kata film jaman dulu kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota, maka bagiku, kejamnya ibu kota tak sebanding dengan kejamnya ibu mertua!

Kita di Hari Ini, Dahulu MimpiWhere stories live. Discover now