1. Rutinitas

149 38 2
                                    

"Sayang," aku mengelus pipi Adnan lembut.

"Hmmm."

"Bangun yuk," Aku berbisik perlahan di telinganya. Kucium pipinya, kuelus rambutnya. Ini masih mode lembut dan sayang. Kalau tiga kali menggunakan mode sayang dia masih belum bangun juga, biasanya aku akan memukul-mukul pundaknya dengan keras supaya bisa bangun dengan cepat. Kehidupan rumah tangga di pagi hari memang menuntut efisiensi. "Kamu belum subuh."

"Kamu udah?" tanyanya ketika akhirnya ia membuka mata. Dahulu, di awal pernikahan, suara serak bangun tidurnya ini selalu sukses membuatku deg-degan dan enggan beranjak dari ranjang supaya bisa terus berpelukan dengannya. Sekarang suara itu masih menjadi suara favoritku, walaupun rasa deg-degan itu sudah hilang ketika mendengarnya.

"Udah," jawabku.

"Tumben," katanya. Biasanya, Adnan memang bangun lebih dulu, walaupun setelah itu dia akan tidur lagi. Tapi karena kemarin dia baru pulang dari site jam 12 malam, pagi ini dia jadi terlambat bangun. "Peluk dulu dong."

Setelah mengucapkan itu, Adnan menarikku hingga jatuh di sampingnya. Aku memeluknya, menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Adnan balas memelukku, menciumi rambutku, mengelus punggungku. Aku mendongakkan kepala, mengarahkan kepalanya agar sejajar denganku, lalu mendekatkan bibirku ke bibirnya.

Adnan reflek menjauh.

Aku merengut.

"Bau, Yang! Aku belum sikat gigi!"

Aku terkikik. "Ya udah sana sikat gigi!"

Bertahun-tahun pernikahan, Adnan masih saja malu dengan bau mulutnya. Padahal bau kentutnya juga aku sudah hafal.

Begitu Adnan beranjak dari ranjang dan masuk ke kamar mandi, aku juga buru-buru keluar dari kamar. Bisa panjang urusannya kalau aku masih di kamar sementara Adnan sudah selesai menggosok gigi. Aku berjalan ke dapur, menyeduh kopi untuk Adnan dan aku sendiri.

Sejak menikah denganku, Adnan sudah tidak mau lagi minum kopi selain kopi yang kuseduh setiap pagi. Di awal-awal pernikahan, kupikir itu adalah hal yang manis, sampai kemudian Aydan lahir dan menangis ingin menyusu di pagi hari, tapi Adnan masih saja menuntut jatah kopi paginya.

Selesai menyeduh kopi, aku segera menyeruput kopi milikku. Tiga teguk saja cukup untuk membuatku berenergi melakukan to do list ku di pagi hari: mencuci beras dan menanaknya di rice cooker, merapikan piring dan gelas dari peniris ke rak yang seharusnya, lalu membuka kulkas, meneliti ada bahan apa saja yang bisa disulap menjadi sarapan pagi ini. Ada bayam, kangkung, sawi, jamur tiram... aku memutuskan untuk membuat cah jamur tiram, sayur paling sat set yang bisa kuolah karena hari ini aku ada jadwal mengisi kuliah pagi.

Adnan menghampiriku ketika aku sedang menumis bawang. Seperti biasanya, ia duduk di minibar sambil menyeruput kopinya. Kitchen set dapur minimalis kami yang berbentuk L memungkinkan Adnan untuk menonton kegiatan memasakku. Waktu pagi hari inilah yang sering kami manfaatkan untuk berbincang bincang. Pekerjaan Adnan sebagai karyawan di sebuah perusahaan konstruksi membuatnya sering kali pulang malam, jadi di malam hari kami seringnya langsung tidur karena sama-sama lelah, kecuali jika dia sedang ingin menunaikan hasratnya.

"Masak apa, Yang?"

"Cah jamur. Lauknya ayam kecap, ya? Mau, nggak?"

"Mau, lah!" Mata Adnan berbinar bersemangat.

Aku tersenyum. Satu hal yang kusyukuri, Adnan selalu menyukai makanan yang aku masak. Dia penggemar nomor satu masakanku. Baginya, apa yang kumasak selalu enak, walaupun bagi ibunya, rasa masakanku seperti sampah. "Rasane kok gak ngalor gak ngidul," begitu dulu kata Mama pada Mbak Wiwit ketika pertama kali mencicipi masakanku di awal pernikahan kami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kita di Hari Ini, Dahulu MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang