Bab 4 - Takut Kehilangan

921 119 9
                                    

Memasuki semester 5, aku memutuskan untuk masuk konsentrasi jurusan Hukum Perdata. Rupanya Genta juga mengambil itu. Selama di perkuliahan pasti akan membutuhkan seseorang yang akan selalu siap siaga membantumu, dan buatku, orang itu adalah Genta.

Masa perkuliahan adalah sesuatu yang sulit untukku. Ada momen di mana aku merasa seperti terjebak di jurusan yang salah. Namun, lagi-lagi Genta selalu ada menemaniku. Berhubung Eva masuk ke jurusan Hukum Administrasi Negara, kini waktuku jadi lebih banyak dengan Genta. Ke mana-mana selalu bersama Genta.

Pernah ada satu orang sempat suka denganku, namanya Adi. Kami seangkatan. Anehnya, Genta tidak pernah memberi ruang buatku untuk berdekatan dengan Adi. Setiap kali Adi menghampiriku, Genta tiba-tiba akan muncul entah dari mana saja seolah ada pintu ajaib Doraemon. Lalu dia akan memberiku seabrek tugas supaya dikerjakan sama-sama. Sampai suatu waktu, aku dengar dari gosip di kampus kalau Adi tidak lagi mendekatiku karena Genta menemuinya. Tentu saja ketika tahu itu, aku melabrak Genta.

Apa-apaan dia mengatur hidupku?

Aku menghampiri rumahnya dan meneriaki namanya dari depan rumah. Persis seperti seorang rentenir sedang menagih utang. Genta langsung keluar dengan wajah setengah mengantuk karena aku berkunjung di Minggu siang. Untungnya ibunya sedang bekerja dan adiknya sedang main ke rumah teman. "Apa-apaan, sih, dateng-dateng teriak gitu?"

"Maksud kamu tuh apa, sih?" bentakku.

"Apaan?"

"Kamu labrak Adi buat jauhin aku, kan?"

"Kata siapa?"

"Banyak yang bilang."

"Ada buktinya?" dia membalasku.

"Buktinya banyak saksi mata yang bilang! Buat apa, sih? Kamu mau main-main sama perasaanku? Pernyataan cintaku nggak dapat balasan dari kamu! Tapi, perbuatan kamu tuh memancing gosip dari orang, ngira kalau kita pacaran. Terus waktu ada yang deketin aku, kamu malah buat mereka ngejauh. Kamu mau bikin aku jadi perawan tua?"

Dia tertawa.

"Kenapa ketawa? Ada yang lucu?"

"Kamu yang lucu."

"Aku serius, ya! Aku lagi nggak main-main."

"Nggak ada orang serius yang bilang dirinya serius."
"Coba jawab pertanyaan aku, maksud kamu apa?"

"Saya nggak suka Adi dekat-dekat kamu, dia tuh playboy, terkenal suka mainin hati cewek."

"Emang bedanya apa sama kamu?"

"Saya nggak playboy."

"Iya nggak playboy, tapi kamu mainin hati perempuan, apa bedanya? Kamu tuh jahat, Ta, sadar nggak? Kamu kalau suka aku ya nyatain dong perasaan kamu, tembak aku jadi pacar, jangan malah nggak jelas gini." Iya aku terlalu frontal, mana ada cewek mengatakan sejelas itu kepada seorang cowok untuk menembaknya menjadi pacar? Tapi, jujur aku sudah sebal sekali dengan status hubungan yang nggak jelas itu. Mau dibilang teman, tapi nggak ada teman semestra itu. Mau dibilang pacaran pun belum ada pernyataan jelas dari bibir Genta kalau kami berpacaran.

Dia diam saja sewaktu aku bicara begitu.

"Giliran aku tanya gini kamu diam! Udah deh, mulai besok nggak usah dekat-dekat sama aku biar orang nggak salah paham. Aku nggak mau kehidupanku sepanjang kampus jadi suram nggak pernah didekatin cowok hanya karena kamu selalu di dekat aku." Aku mengucapkan ultimatum terakhir. Lalu memutuskan untuk kembali pulang ke rumah, membawa serta merta rasa bersalah sepanjang perjalanan.

Apakah kata-kataku terlalu menyakitkan untuk Genta?

Ah, biarin saja! Toh dia juga jahat denganku, kan? Otakku saat itu berbisik lirih, berusaha menyangkal bisikan batinku.

****
Genta memang menjauhiku, begitu juga aku. Namun, sebenarnya kami tidak benar-benar jauh. Aku merasa kalau dia selalu saja melindungiku dengan caranya sendiri. Misalnya ketika aku pernah tidak masuk karena halangan hari pertama padahal ada kuis dadakan, tapi aku tidak dipanggil dosen atau pun mendapat SP. Tahu-tahu namaku dipanggil untuk mengambil hasil ujian dan termasuk salah satu anak yang tidak perlu mengikuti ujian perbaikan. Aku baru tahu rupanya Genta mengerjakan dua lembar jawaban sekaligus bahkan memberikan tanda tangan palsu. Ngomong-ngomong, satu kelas di angkatanku tuh banyak sekali, ada 88 orang. Itu sebabnya dosen tidak akan hapal wajah mahasiswanya satu per satu atau pun kepikiran menghitung jumlah mahasiswa apakah sesuai dengan kertas ujian yang dikumpulkan.

Atau ketika hujan sewaktu mau pulang kuliah, tahu-tahu ada payung kecil terselip di tasku. Payung milik Genta. Sementara dia justru pulang hujan-hujanan dengan kemejanya basah kuyub.

Ada satu momen yang membuatku sadar bahwa aku memang takut kehilangan Genta. Kebetulan dia adalah anak Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam). Kami baru saja masuk semester 7, satu bulan setelah masuk kampus, pada hari Senin kelasku heboh. Rupanya tersebar kalau pada Sabtu anak Mapala punya kegiatan mendaki Gunung Pesagi dan Genta dinyatakan hilang. Ketika mendengar itu, tubuhku rasanya kesemutan, lemas, takut, sekaligus syok. Semua bercampur menjadi satu. Aku langsung ke rumah Genta yang sudah ramai. Ibu dan adiknya menangis. Melihat itu, aku juga tak bisa menahan air mataku. Rapalan doa kupanjatkan, berharap agar Genta baik-baik saja. Aku juga melihat Eva.

Akan tetapi, dalam situasi itu, aku tidak lagi cemburu, tidak sama sekali. Yang ada di kepalaku hanya Genta segera pulang dalam keadaan baik-baik saja.

Berita tersebut heboh. Para kakak tingkat Mapala langsung menuju ke lokasi, selama dua hari proses pencarian berlangsung. Lalu pada hari Rabu, tahu-tahu Genta muncul di kampus dengan kondisi yang sehat bugar. Melihat lelaki itu, aku langsung memeluknya. Tidak peduli kami sedang di kampus. Tidak peduli ada banyak mata melihat. Tidak peduli bagaimana mereka akan menilaiku. Tidak peduli dengan bagaimana perasaan Genta karena dipeluk tiba-tiba. Yang kupedulikan hanyalah perasaan lega karena Genta baik-baik saja. Aku menangis dalam pelukannya.

Dia terdiam cukup lama sampai tangannya akhirnya menepuk punggungku.

Aku menarik diri dari pelukannya dan menatapnya. "Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Barusan sih kaget dipeluk kayak gitu."

"Serius dong! Ini beneran Genta, kan? Bukan arwahnya Genta?"

"Mulutnya ya, berharapnya saya mati gitu?"

"Kamu tahu nggak gimana takutnya aku waktu dengar kamu hilang?"

"Nyasar doang, untungnya ketemu kakek-kakek, nunjukin saya jalan sampe saya bisa balik lagi. Kayaknya ada mistisnya, sih, di sana. Hiy serem. Aduh!" Aku kembali mencubit perutnya sampai dia berjengit kesakitan. "Kenapa dicubit, sih?" tanyanya sambil meringis.

Kami sedang di depan kelas, teman-temanku mengerumuni Genta, lalu aku melihat Eva. Dia ikut bergabung, memastikan bahwa Genta memang baik-baik saja.

Momen itu membuatku sadar bahwa tidak peduli dengan apa status kami, rupanya aku memang begitu takutnya kehilangan Genta.

---

Sampai sini gimana sama ceritanya?

Oiya mau ingetin kalau Kota Para Pecundang akan buka PO tanggal 29 Februari, ya, stay tune!

Kota Para PecundangWhere stories live. Discover now