ch 14

6.7K 689 25
                                    

Denio berdiri di depan pintu ruang rawat si kecil. Cowo itu kembali mengendus tubuhnya sendiri, barangkali bau asap rokok masih menempel pada bajunya.

"Aman." Batin cowo itu.

Lengannya yang kekar memegang kenop pintu, lalu mendorong pintu itu hingga terbuka.

Denio menatap sekeliling. Namun, Denio tidak menemukan keberadaan Arshaka, di ruangan itu hanya ada Galaxy, sendirian.

Mengerutkan alisnya bingung, "Shaka kemana?" Tanya cowo itu ragu-ragu, sebab Galaxy menatap dirinya sangatlah dingin.

Galaxy tidak bergeming, membuat Denio canggung sekaligus kesal.

Dari semua orang, Denio paling tidak menyukai Galaxy. Bagaimana ya, cowo itu terlalu misterius. Dia hanya akan mengeluarkan sifat aslinya hanya kepada Arshaka, dengan yang lain dia akan bersikap dingin dan kasar.

*Tipe-tipe cowo redflag  (=`ェ´=)

"Ck, lo nggak punya mulut apa,"

Denio hanya mengatakan hal itu di dalam hati, mana berani dia berbicara secara langsung. Bisa-bisa kepalanya di slebeww si Galaxy.

Jadi daripada memancing keributan, Denio lebih memilih meninggalkan Galaxy dan mencari Arshaka sendiri.

.
.
.
.
.

"Ayah liat, bulan nya indah ya!" Tanya seorang anak dengan antusias, jari telunjuknya yang kecil menunjuk ke arah langit—bulan sabit. "Senyuman bunda juga pasti seindah bulan itu, kan ayah?" Lanjut anak itu di akhiri dengan pertanyaan.

Seorang pria dia sebelahnya hanya tersenyum, membawa tubuh kecil itu untuk ia gendong dengan sebelah tangan.

Jarinya dengan iseng mencolek hidung si kecil.

"Bunda sama seperti adek ... Cantik."

Pipi anak itu bersemu kemerahan, jari-jarinya yang kecil memegang erat kedua pundak si pria.

"Adek cantik, kayak bunda?" Tanya anak kecil itu malu-malu.

Si pria hanya mengangguk sebagai jawaban. Lantas terkekeh kecil saat wajah anak dalam gendongannya telah memerah padam, pipinya yang bulat menggembung dengan lucu.

"Ayaaahh~ adek maluu," Anak itu menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher si pria.

"Kenapa? Ayah bicara jujur kok, adek emang cantik seperti bunda. Adek adalah sebuah anugrah terindah yang Tuhan dan bunda kasih untuk ayah jaga,"

Pria itu menjeda ucapannya sejenak saat si kecil kembali menatap dirinya polos dengan kedua bola mata coklat yang telah bersaput halimun.

"Makasih sayang sudah bertahan hingga detik ini. Adek special, jangan kalah sama sindrom nya ya? Janji sama ayah, adek akan terus hidup."

Tapi sekarang ayah ninggalin adek sendirian.

Memeluk luka adek sendiri..

Tanpa mengeluh .., ataupun bercerita.

"Kak El, tau .., bulan itu bulan yang sama yang sering Shaka liat bareng ayah." Celetuk si kecil tiba-tiba dengan suara serak.

Kedua netra coklat indahnya menatap penuh kerinduan, pada bulan yang bersinar di atas gelapnya langit malam. Apalagi dengan jutaan Asteria yang berkelap-kelip membuat langit terlihat begitu sempurna.

Seorang atma yang duduk di samping Arshaka membawa tubuh Arshaka untuk dia pangku.

Lengannya yang kekar di penuhi urat-urat melingkar sempurna pada pinggang ramping si kecil. Kepalanya jatuh pada bahu sempit Arshaka.

Lengan lainnya mengelus luka pada jari si kecil yang kulitnya telah mengelupas, dan masih ada darah disana.

Terlihat punggung tangan Arshaka pun sedikit membengkak.

"Ikut kakak ke Canada ya? Kita pulang."

Hening. Arshaka tidak mengangguk ataupun menggeleng. Dia hanya menatap kosong ke arah langit.

Tanpa Arshaka sadari, pipinya telah basah oleh air mata.

Entahlah, dia sendiri pun bingung.

Kenapa dia menangis?

"Galaxy udah nggak ada harapan buat jagain kamu. Dia malah mau ngerusak kamu. Jadi ikut kakak ke Canada aja ya? Kakak juga udah janji sama ayah buat jagain kamu kalau beliau udah nggak ada." Lanjut sang atma menjelaskan dengan lembut.

Namun tetap tidak ada jawaban dari Arshaka, yang ada hanya terdengar isakan kecil.

"Hm? Kamu nangis? Kenapa, ada yang buat kamu sakit?" Lengan itu dengan cepat memutar tubuh Arshaka—jadi sekarang keduanya saling berhadap-hadapan—lalu, kedua manik coklat itu bertemu dengan kedua mata tajam yang menatap dirinya khawatir.

Jari jempol sang atma menghapus air mata di pipi si kecil dengan lembut, namun air mata itu tidak kunjung surut.

Arshaka menggenggam tangan yang lebih besar darinya, kepala nya menggeleng kecil.

"Shaka nggak bisa pergi, kalo Shaka pergi ayah gimana?" Suara Arshaka terdengar serak, dan di setiap intonasi nya bergetar.

"Ayah udah nggak ada, apa lagi yang mau kamu pertahanin? Kamu udah janji sama kakak kalo udah lulus bakal ikut kakak ke Canada,"

Arshaka mengerutkan keningnya bingung. Dia pernah mengatakan itu?

"Kakak selama ini udah sabar banget nunggu kamu, nurutin apa yang kamu mau. Tapi untuk kali ini, kakak nggak bisa nunggu lagi. Kayaknya selama ini kakak terlalu lembut sama kamu, Shaka."

"Kak—"

"Shaka nggak akan pergi kemana-mana, dia bakalan terus disini. Berhenti manipulasi dia dengan omong kosong lo, Michael." Suara seseorang menginterupsi keduanya dengan tajam, memotong perkataan Arshaka.

*Saingan baru nii| ͡ᵔ ﹏ ͡ᵔ |

ARSHAKA JOCASTA  Where stories live. Discover now