Dua Puluh Tiga

1.2K 223 17
                                    

Ratih sekarang mengerti, mengapa kedua orangtuanya merasa was- was atas pernikahan sang kakak sulung. Rupanya, suami Laras memang punya kualitas di atas rata- rata.

"Jan muirip sama bintang film itu lho, Tih." Ibunya berkata heboh waktu itu. Bapaknya lain lagi. Meski terkesan diam, namun Ratih tahu, pria itu pasti memikirkan anak sulung yang sudah diambil orang. Meski Laras dinikahi secara sah, namun sebagai orang yang sederhana, Bapak Laras menanggap bahwa orang seperti Suta tidak seharusnya menikahi putrinya.

Bukannya Pak Wiyono mau merendahkan anak gadis yang sudah ia didik dan besarkan dengan baik sejak masih orok, hanya saja, untuk orang yang hidup bersahaja sejak masih sangat muda, Pak Wiyono sudah biasa diajari untuk tahu diri.

Kemungkinan, bila Laras berjodoh dengan seorang pegawai BUMN atau arsitek, dokter, pilot, pria itu masih bisa memahami. Hanya saja, pria yang mempersunting putri sulungnya itu berasal dari kalangan yang amat tinggi. Bos perusahaan retail.

Awalnya, Pak Wiyono dan istrinya tak tahu menahu tentang latar belakang calon menantunya. Laras memang bilang Suta adalah atasannya.

Atasan Laras di kantor yang menurut pemikiran orangtuanya bukanlah seseorang yang memiliki perusahaan. Ditambah lagi, waktu akad nikah, Pak Wiyono tidak melihat satu pun anggota keluarga calon mempelai pria. Suta hanya didampingi dua orang pria.

Tentu saja wajar bila kemudian hari, Pak Wiyono curiga kalau putrinya hanya dijadikan istri simpanan. Hanya saja, Bu Wiyono mementahkan kecurigaan sang suami. "Ya mbok jangan mikir gitu to, Pakne. Toh sampai sekarang, Laras kedengarannya baik- baik saja. Doain supaya anak kita itu selamet gitu. Jangan malah mikir yang ndak- ndak."

Berangkat dari kekuatiran kedua orangtuanya itulah, Ratih mengajukan diri untuk menjenguk sang kakak ke Jakarta. Ditambah, sebenarnya Ratih sudah sangat kangen sekali pada kakak perempuannya itu.

Ratih mencoba untuk menahan dirinya supaya jangan melongo melihat mobil Alphard seharga milyaran yang sedang dinaikinya itu. Dia juga mesti menahan napas ketika melihat sosok kakak iparnya yang luar biasa ganteng itu.

Ganteng yang ini lain dengan gantengnya mantan pacar Laras yang dulu. Satria juga ganteng, akan tetapi, sosok Endrasuta Prabu Wiratsana memang berada di level yang berbeda. Dia seolah-olah baru saja ke luar dari katalog pakaian mewah untuk pria.

Sekilas, wajahnya hampir mirip dengan mantan artis yang sudah meninggal; Adjie Massaid waktu masih muda. Ganteng yang khas Jawa gitu. Belum lagi pembawaannya yang lebih killer ketimbang dosen Ratih. Belum lagi auranya yang mengintimidasi.

Pantas saja orangtuanya merasa minder.

"Aku kira kamu naik pesawat, Ratih."

Ratih tertawa gugup. "Cuma Jogja Jakarta enakan naik kereta.... Pak..."

Tanpa sepengetahuan Ratih, Suta melirik ke arah Laras. Tapi istrinya itu hanya mengangkat bahu. Mata Suta mendelik sesaat. "Emang Mas Suta ini dosenmu? Panggil Mas aja dong, Tih..."

"Eh, iya, Mas. Naik kereta lebih asyik!" ujar Ratih.

Mobil kemudian meluncur dalam  keheningan hingga sampai di rumah.

***

Kehadiran Ratih di rumah Suta, mampu membawa keceriaan bagi Laras. Ratih sendiri diberikan kamar di lantai dua, dan selama mengeluarkan isi tasnya, Laras menunggui sang adik.

"Gimana, Tih? Nyaman enggak kamarnya?" Laras yang saat itu mengenakan daster warna kuning kunyit, duduk di tepi ranjang, memperhatikan sang adik bergerak secara sistematis memindahkan empat setel pakaian ke dalam lemari.

"Ini sih nyaman banget, Mbak Laras. 22 tahun ini, aku belum pernah dapat keistimewaan tidur di tempat selapang ini. Sejak kecil sampai SMA, aku tidur di kamar yang isinya kita berdua plus Windi. Waktu indekos juga begitu. Biar murah, kan aku cari kamar yang agak kecil aja. Dapur luar. Kamar mandi luar."

"Sama kalo gitu," ujar Laras sembari terkekeh. Segala keterbatasan yang mereka miliki selama ini, tidak lantas membuat keduanya memburu kemewahan.

"Windi sebenarnya juga pengin ikut. Tapi Bapak ngelarang."

"Kamu sendiri gimana kuliahmu?"

"Ini tinggal skripsi aja, kok. "

"Terus, rencana ke depannya?"

"Aku udah mulai nyebar CV, sih. Nggak enak kalo kelamaan nganggur entar. "

"Enggak mau cooling down dulu gitu? Liburan apa gimana?" Laras berniat untuk mengongkosi liburan adiknya kalau Ratih mau. Sejak SMA, Ratih selalu kepingin pergi ke Karimunjawa.

"Kerja juga kalo nerima gaji bisa bikin cooling down, Mbak." Sahut gadis itu seraya tersenyum. "Eh, kok jadi aku yang ditanya- tanya? Mbak sendiri gimana? Happy nggak nikah dadakan begitu? Kirain Mbak Laras akhirnya bakalan sama Mas Satria. Itu di rumah Ibunya Mas Satria itu sampai kayak kesel sendiri denger kabar kalo Mbak Laras akhirnya nikah duluan. Tapi setelah itu kan Mas Satria balik ke Wates. Bawa cewek yang katanya anak direktur tempat dia kerja sekarang. Heboh deh tuh dipamer- pamerin ke satu kelurahan!"

Laras menanggapi dengan tawa ringan yang terdengar renyah. "Gitu? Seru dong?"

"Seru gimana? Mbah Uti tuh yang ngamuk- ngamuk nggak terima."

"Loh, kok?"

"Iya, lah! Lha wong, habis itu, si ibunya Mas Satria nyebarin gossip kalo Mbak Laras jadi simpenan pejabat!"

Laras malah semakin terbahak- bahak. "Lah, Mbak nggak tersinggung tuh?" pancing Ratih ditingkahi dengan kekehan juga. "Kok malah jadinya ngakak begitu?"

"Habisnya itu si ibunya Mas Satria kok ya kreatif banget bikin cerita. Simpenan pejabat?" Laras menggeleng. "Emang aku sehebat itu, sampai pejabat mau ngelirik?"

Mereka terbahak- bahak barengan.

Suaranya bahkan terdengar hingga ke lantai bawah, ke kamar Suta yang pintunya terkuak sedikit. Sengaja karena Suta menunggu sang istri kembali.
.
Mendengar kehebohan dari lantai atas, pria itu malah merasa jengkel karena diabaikan. Suta memasang wajah cemberut sambil mengutak- atik tabletnya. Mengecek penutupan pasar saham. Nilai tukar rupiah dan dolar, nilai poundsterling. Saham perusahaan mana yang mengalami kenaikan, atau penurunan. Kepalanya makin mumet. Dibantingnya benda itu ke atas kasur.

Suta jadi mirip anak balita yang ngambek karena ditinggal ibunya terlalu lama ngerumpi.

Tak berapa lama kemudian, pintu menjeblak lebar. Laras masuk dan menawarkan makan malam. "Nggak usah! Aku udah kenyang makan angin!" bentak Suta. Kemudian melengos tajam. Menolak menatap sang istri yang masih berdiri di dekat pintu.

"Tapi tadi kan Pak Su...."

"Tadi kamu bilang apa ke adikmu?"

"Bilang apa?" Laras jadi bingung sendiri. "Saya nggak bilang apa- apa, Pak!"

"Soal panggilan!"

Laras hanya mengedip- ngedipkan matanya. Ia bisa merasakan bahwa suasana hati suaminya sedang tidak baik- baik saja. Mungkin Suta sedang pusing memikirkan laporan stok yang banyak melencengnya. Tim buyer menemukan jumlah barang yang tertera di komputer dan di gudang, berselisih jumlah.

Selisih terbanyak dialami di Pluit. Dan sepertinya, manajer toko di sana juga tak mau ambil pusing. Suta memang tidak bisa menolelir kerugian yang disebabkan oleh kecurangan.

Karena, kalau hal itu sampai tercium oleh Elida, maka kakak tirinya itu akan merongrong posisinya sebagai CEO Ranjana.

"Mau diantar ke kamar makanannya? Mbak Ermin masak gulai nangka, ayam woku,  sambal terasi, bakwan jagung, ayam goreng, iklan asin jambal roti, Mas mau yang mana?" Laras mencoba membujuk sang suami.

"Aku turun saja. Ratih ikut makan kan?"

"Iya. Tapi dia masih bersih- bersih."

"Kamarnya gimana? Dia nyaman?"

"Nyaman kok, Mas."

Mereka kemudian berjalan beriringan ke luar kamar, menuju area makan. Aroma sayur gulai nangka dan ayam woku menerbitkan air liur Laras.

***





Miss Dandelion Where stories live. Discover now