Starting, my story.

187 9 7
                                    

Puncak kebahagiaan seorang wanita adalah saat menikah. Menikah dengan seseorang yang sangat dicintai.

Hari itu, cuacanya cukup cerah. Bel istirahat pertama telah didentangkan dengan nyaring dari beberapa menit yang lalu.

Seseorang mendekati gadis berambut panjang yang terurai begitu saja, dengan lembutnya; gadis itu duduk menyendiri sembari membaca suatu buku di bawah pohon di taman sekolahnya. Setelah seseorang itu mendekat, gadis yang tadinya hanya fokus pada bacaannya, seketika langsung menaikkan wajahnya ketika refleks merasa ada yang mendekatinya.

"A-aku menyukaimu, Mira! Maukah kaujadian denganku?"

Aku, Mira Putrika Nirmala. Umur 15 tahun, duduk di bangku kelas 3 SMP. Orang Indonesia yang tinggal di Jepang karena pekerjaan orang tua, inilah... kisah, cerita, perjuangan perasaanku.

~oOo~

Mira Putrika Nirmala. Itulah nama lengkap dari gadis bersurai hitam itu. Sesaat setelah mendengar lontaran perasaan dari lelaki yang berbadan cukup tegap yang berada di depannya itu, Mira seketika menghening. Terdiam. Dan hanya menatap dalam-dalam kedua mata pemuda tersebut. Pernyataan suka seperti ini tidak hanya sekali ia alami, namun berkali-kali dan pada akhirnya, tawaran yang diberikan Mira malah ditolak. Mungkin kejadian saat ini akan terulang lagi.

"Maaf..." Mira hanya menundukkan kepalanya, ia sudah memaklumi anak-anak remaja di negara ini; menyatakan perasaan kepada orang yang disukai, lalu jika diterima, maka mereka akan berhubungan sebagai sepasang kekasih. Dan tidak segan-segan akan berciuman, padahal belum dalam ikatan sah suami-istri.

"...Bisakah aku mempertimbangkannya lagi?" wajahnya kembali ia naikkan. Rautnya serius, tidak main-main. Ya, dalam berhubungan spesial seperti ini, Mira akan berpikir berulang kali agar tidak salah mengambil keputusan. Toh, orang tuanya juga sangat melarang dirinya untuk berpacaran di usia yang cukup muda ini. Orang tuanya orang Indonesia, sudah tentu menggunakan adat-istiadat orang sana, lagipula orang tua Mira juga orang muslim, berpendiri-teguh dalam agama. Makanya, Mira tidak bisa main-main dalam memutuskan perkara seperti sekarang ini.

Pemuda yang berada di depannya Mira hanya bisa terdiam. Ekspresinya seakan terkejut dan membatu, "Apa aku... ditolaknya?" pikirnya dalam benaknya.

Mira yang melihat wajah pemuda tersebut seolah gelisah, langsung mengepalkan tangan kanannya dengan kuat. "Aku tidak menolakmu!" spontan, Mira berdiri. Suara yang biasanya cukup pelan dan halus itu seketika menjadi tegas. Suasana saat itu benar-benar canggung, entah di pihak Mira, juga di pihak lelaki itu. Keduanya sama-sama terdiam sejenak. Bahkan lelaki itu sepintas berpikir, "Apa ia mendengar suara hatiku?!"

"...Maaf, maksudku bukan begitu." Kepalan tangan kanannya seketika ia angkatkan dan ditaruhnya di dadanya. Lalu, tangan kirinya menyusul dan memegang erat kepalan tangan kanannya tersebut. "Tapi, apa kau mau menungguku sampai aku lulus kuliah nanti?" kedua mata Mira memancarkan aura bahwa dirinya memang serius. Itulah tawaran darinya. "Apa kau mau langsung menikahiku, saat setelah aku lulus kuliah atau mendapat pekerjaan? Apa... kau mau?" suaranya terdengar bergetar. Tapi ekspresinya tetap sangat, sangat serius.

Lelaki itu menghening untuk ke sekian kalinya. Tak dapat membalas kata demi kata yang diucapkan oleh Mira. Dengan kecewanya, lelaki itu menundukkan kepalanya. "Maaf, aku... tak bisa sekuat itu." Lalu, pergi begitu saja meninggalkan Mira, dengan perasaan yang mungkin--sesak.

Namun, masih lebih sesak perasaan Mira sekarang. Beberapa langkah pemuda, ya, panggil saja Wakami, pergi; Mira seketika langsung jatuh terduduk di bangku yang memang sedaritadi ia duduki di taman sekolah tersebut. Geraian rambutnya yang terurai, menutupi wajahnya yang manis itu, "Maafkan... aku."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 07, 2013 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mira's PromiseWhere stories live. Discover now