Abadi

24 0 0
                                    

"Sudah enam puluh sembilan tahun berlalu," pemuda itu tersenyum, tipis, menggenggam erat tangan keriput pria tua yang tergeletak di atas tempat tidur, "terasa seperti hanya setahun saja bagiku."

Pria tua itu tak menjawab, terlalu lemah untuk bicara. Sebagai gantinya, ia menatap kosong pada si pirang bertelinga runcing di sebelahnya sambil mempererat genggaman tangannya. 'Aku tahu', si pirang yakin pasti itu maksudnya.

"Aku masih ingat saat kita pertama bertemu, kamu masih bocah gembul berambut hitam yang bersikeras mengikutiku kemana-mana setelah tanpa sengaja kuberi sebuah apel." Masih menggenggam balik tangan kurus itu, ia mulai mengenang, "Saat itu aku menolakmu untuk ikut denganku. Tapi karena kau ngotot, akhirnya aku mengalah dan kau rela jadi tukang angkut barangku." Si pirang terkekeh sebelum melanjutkan bicaranya. "Walau aku sering bersikap keras, tapi kau tak pernah mengeluh. Terus saja menuruti keinginanku dengan senyum cengengesanmu itu."

Kalimatnya terhenti di sana. Sorot mata birunya meredut, menatap dalam pada bola mata zambrud yang sudah kehilangan sinarnya. Matanya memperhatikan bibir keriput yang berusaha membuka untuk bicara, tapi hanya suara tenggorokan tercekat yang keluar.

Si elf berambut pirang meletakkan jari telunjuknya pada bibir si tua, “Stt. Jangan bicara. Setidaknya jangan sekarang. Kondisimu masih lemah.” Jemarinya berpindah, menyusuri kulit kendor yang membungkus tengkorak si kakek, menjelajahi hidung, dahi, berakhir pada rambutnya yang sudah tipis dan berwarna keperakan, lalu membelainya lembut.

"Kau harus bertahan. Biar hanya bertambah sehari, sejam, semenit, atau sedetik pun tak apa. Kau harus bertahan." Senyumnya menghilang. Jemarinya ditautkan dengan jari-jari yang lain, dan dalam gerakan lambat, dikecupnya buku-buku jari si pria tua. "Kau selalu mendengar permintaanku, kan? Karena itu, anggaplah ini permintaanku. Kumohon."

Ia menatap lagi iris kehijauan itu. Makin redup, dan matanya hampir menutup. Tapi tidak, tidak ditutupnya. Ia tampak berusaha keras untuk membukanya terus, membiarkan dirinya menatap seraut wajah bercahaya dengan manik berwarna langit menghias di sana.

"Aku tahu kau mampu," senyum si pirang kembali, "Aku tahu kau tak pernah mengecewakanku."

Kesunyian kembali menyergap.

"…Harusnya aku tahu semua ini akan terjadi suatu hari nanti. Kupikir aku akan siap, tapi ternyata aku tak akan pernah siap." Kalimat itu lirih, suaranya begitu lemah. Serak, tercekat di tenggorokan. "Hidup manusia itu singkat. Delapan puluh satu tahun sudah luar biasa. Manusia akan menua lalu mati. Aku sudah tahu itu, tapi tetap saja—-," bulir air mata akhirnya menggenang di pelupuk matanya, "tetap saja… aku tak bisa menghentikan perasaanku ini. Hei, Doug. Dalam hal ini, aku yang bodoh, ya?"

Pria tua itu masih tak menjawab. Tatapan matanya masih kosong tanpa fokus.

Sementara si elf, dengan senyumnya yang lemah, membiarkan air mata akhirnya jatuh pada pipi. Dipejamkan matanya erat-erat, satu, dua, tiga, empat… entah berapa detik sampai akhirnya ia memiliki keberanian untuk membukanya lagi.

"…sudah cukup, Doug. Terima kasih." Dikecupnya bibir itu, "Sudah cukup permintaan egoisku. Kau sudah berusaha, dan kau tak pernah mengecewakanku sekalipun. Terima kasih."

Pria tua yang tergeletak lemah itu, walau masih tak mengatakan apapun, tersenyum. Bulir air mata hadir di ujung matanya, dan dengan sisa tenaga yang berusaha ia keluarkan, diucapkannya kalimat itu.

"A-ku men-cintaimu, Roan."

Si elf tertawa kecil. “Aku tahu.” Dibelainya rambut keperakan lawan bicaranya, “Dan aku juga.”

Pria tua itu tampak puas, dan perlahan, kelopak matanya terpejam. Senyum di bibirnya tidak pudar, dan dalam irama yang teratur, nafasnya perlahan melemah, lalu hilang.

Elf itu menangis tanpa suara. Digenggamnya erat jemari kurus itu. Menangis, menangis, dan dengan suara yang parau, ia berbisik,

"Aku akan menunggu. Setahun, sepuluh tahun, ataupun seratus tahun lagi. Di kehidupanmu yang mendatang, kita akan bertemu lagi. Aku akan menunggumu."

-…Fin?-

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 16, 2013 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AbadiWhere stories live. Discover now