Summer

34 0 0
                                    

The tan lines will fade, but the memories are here to stay

-----------------


"Berhentilah menangis."

Anak laki-laki itu berusaha menghiburnya, yang telah menangis sejak sang surya menampakkan dirinya di ufuk timur. Tangisannya menenggelamkan riuh tonggeret yang sahut menyahut di tengah puncak panasnya musim panas. Sekuat apapun gadis sembilan tahun itu berusaha, air matanya tetap mengalir deras.

"Tapi, aku akan pulang sore ini ke Tokyo. Dan aku tidak tahu apakah aku akan bertemu denganmu lagi." Mayu berusaha berkata walau terbata di sela isak tangis. Pada awal kedatangannya di desa ini, dirinya tidak pernah menyangka hal tersebut akan pernah ia ucapkan. Menghabiskan musim panas di sebuah desa beratus-ratus kilometer dari Kota Tokyo tentu tidak sekeren berjalan-jalan di Santorini, berlayar dengan perahu di Venesia, ataupun berfoto di depan air terjun Niagara. Tapi ia mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga.

Ia bertemu Yuuto.

Untuk pertama kalinya Mayu melihat dunia ini di bawah cahaya yang berbeda dan ia yakin anak laki-laki itu pun merasakan hal yang sama. Mereka berdua berharap musim panas ini tidak akan pernah berakhir namun waktu terus bergulir, tanpa memedulikan mereka yang berlayar di dalamnya. Cepat atau lambat hari ini akan tiba di mana salah satu dari mereka harus meninggalkan tempat ini. Mayu kembali ke Tokyo dan Yuuto tetap di sini.

Dara mungil berambut kepang itu merasakan ibu jari mengusap pipinya yang sedari tadi basah akibat jejak air mata. Mata anak itu memancarkan hal yang sama dengan apa yang kini ia rasakan. Putus asa, tidak rela, sedih tiada tara.

Mungkin orang-orang dewasa akan berkata. Apalah mereka ini, dua orang anak sembilan dan sebelas tahun yang belum melihat dunia. Dalam sepuluh - dua puluh tahun mereka akan sama-sama lupa bahwa hari ini pernah terjadi, digantikan pelik permasalahan orang dewasa. Rumah tangga. Harta. Jabatan.

Namun untuk saat ini biarkanlah mereka percaya, bahwa mereka akan selalu mempercayai satu sama lain, bahwa mereka berbeda dibanding orang-orang dewasa tersebut, bahwa mereka akan bertemu lagi suatu saat lagi.

"Tahun depan kita bertemu lagi di sini. Tanggal 3 Agustus, di ladang bunga matahari ini. Aku akan menunggu. Bagaimana?"

Tanpa pikir panjang anak perempuan itu menyambut kelingking yang terjulur ke arahnya. Satu-satunya harapan yang bisa ia pegang erat untuk saat ini. Pita merah jambu dilepaskan, membuat kepangan rambutnya terurai sebelum diberikan pada anak yang berdiri di hadapannya.

"Jangan lupakan aku."

-----------

"Begitulah kisah cinta pertamaku." Tutup wanita dua puluh empat tahun itu pada rekan-rekan kerja yang sedari tadi mendengarkan dengan takjub.

"Lalu, bagaimana dengan tahun berikutnya? Apa kalian bertemu kembali?"

Gelas besar berisi bir di hadapan didekatkannya ke bibir, isi ditenggak dalam tegukan-tegukan besar hingga tandas. Sisa buih diusapnya dengan punggung tangan.

"Aaaaaah~"

Tidak feminin? Biarkanlah. Ia butuh alkohol untuk meredam rasa-rasa yang membuncah agar pertanyaan temannya itu bisa ia jawab dengan tenang tanpa membangkitkan kembali hawa penuh kebencian yang berusaha ia pendam.

"Tidak. Setiap tahun aku berlibur ke rumah nenek aku selalu menunggunya di sana tapi tidak pernah datang. Aku tidak tahu rumahnya di mana, tidak tahu nama belakangnya siapa. Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa. Dia menghilang begitu saja." Tukasnya cepat, tanpa memberi jeda antar kalimat lalu memanggil pelayan untuk mengisi penuh gelasnya dengan bir.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 22, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kisah 4 MusimWhere stories live. Discover now