Chapter 3: hello, you can use my inline skate before you leave

21.8K 3.1K 230
                                    

chapter 3: hello, you can use my inline skate before you leave





       

"Demi apa?!" Eva menatapku dari balik kacamatanya, tampak tidak percaya.

Aku balas menatap temanku dengan tatapan tidak percaya juga. "Gue curhat panjang lebar minta nasihat, penghiburan, atau apa gitu—dan lo cuma bisa bilang dua kata itu. Demi apa, sih, Va?" sindirku.

Aku sekarang sedang berada di kamarku dan Eva. Barusan, aku selesai bercerita tentang kejadian yang menimpaku hari ini. Mulai dari tanganku yang lepas di pelajaran bercocok tanam, sampai berita menyenangkan dari Profesor Halim.

Eva tertawa mendengar sindiranku. Sambil membenarkan cepolannya yang agak turun, cewek itu berkata, "Yah, maaf, habis gue enggak nyangka aja. Gue bener-bener enggak habis pikir kalau mau ganti tangan aja ada tugasnya. Dan tugasnya ini mengharuskan lo keluar dari SCN!" Eva menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tugasnya juga enggak tahu apa. Gila. Iya, gue tahu bagian tubuh cyborg emang mahal, tapi kayaknya enggak harus sesadis ini, deh."

Aku yang sedari tadi berjalan mondar-mandir akhirnya berhenti dan menjatuhkan diriku di atas kasur sambil berkata, "Kata Profesor Halim besok gue bakal dikasih tahu tugasnya. Sekaligus... yah, katanya sih, besok gue bakal diantar pulang ke rumah."

Eva menatapku, benar-benar terkejut. "Demi apa? BESOK?" pekik Eva.

Aku mengangguk. "Gue tahu, parah banget, kan? Padahal gue juga enggak ngelepas tangan gue dengan sengaja! Dan kenapa juga Si Buncit enggak ngasih tahu gue aja?" gerutuku.

Kata Profesor Halim, aku tidak bisa menyalahkan Si Buncit, tapi aku tetap merasa dirugikan. Aku merupakan korban di sini. Korban kejahatan. Korban ketidaktahuan. Menyebalkan sekali.

"Toh, kalaupun lo tahu, tangan lo tetap bakalan copot, kan?" tanya Eva. "Kan nyangkut di tanah."

Aku mengangguk. "Iya, sih. Tapi gue mungkin bakal lebih hati-hati pas narik tangan gue, atau tangan longgar gue itu bisa jadi alasan gue ke Profesor Indah buat enggak garuk-garuk tanah! Nah, gitu kan lebih mending daripada harus berbaur sama manusia normal."

Eva mengangguk-angguk. Gadis dengan rambut dicepol itu kemudian menatapku lagi. Aku bisa melihat mata di balik kacamatanya tampak sedih. "Gue enggak nyangka lo bakal pergi secepat itu."

"Gue juga enggak mau," kataku.

"Lo bakal pergi berapa lama?" tanya Eva.

"Enggak lama. Yah, gue harap. Profesor Halim sih, belum bilang apa-apa," jawabku.

Eva mengangguk. Kemudian, seolah disengat listrik, dia berdiri dengan cepat.

"Kenapa lo?" tanyaku.

Eva menoleh kepadaku, tampak bersemangat—seolah-olah baru saja mendapatkan ide baru. "Gue tahu! Karena lo mau pergi besok dan kemungkinan besar enggak bakal bebas menggunakan tubuh cyborg lo lagi, mending sekarang kita bebas-bebasin pakai tubuh cyborg lo. Gimana? Sama gue," kata Eva, tampak bersemangat.

Aku tersenyum lebar. "Lo emang paling ngerti kebutuhan gue, Va," kataku, ikut-ikutan bersemangat. "Oke, ayo kita bersenang-senang!"

*

Bagian tubuhku yang diganti menjadi tubuh-tubuh robot adalah tangan kananku, seluruh kaki kananku (dari telapak kaki sampai ke paha—ada kompartemen kecil di sana, tempatku menyimpan hal-hal penting seperti kunci kamar, kartu tanda pengenal dan permen karet), beberapa tulang rusuk, dan mata kananku.

Sebenarnya, waktu itu, dokter berkata mata kananku tidak apa-apa—tidak perlu diganti menjadi mesin. Hanya saja, dokter itu juga menambahkan, bahwa cyborg yang memiliki mata robot akan sangat beruntung. Cyborg itu bisa memilih mata dengan keunggulan-keunggulan tertentu. Karena waktu itu umurku masih sepuluh tahun, orangtuaku yang memutuskan segalanya untukku. Mereka setuju aku mengganti mata kananku dengan mata robot yang memiliki keunggulan mendeteksi perasaan sayang (tanpa bertanya, aku tahu yang memilih ini adalah Mama). Pengelihatan dari mata kananku akan berubah menjadi warna merah muda selama lima detik setiap kali ada orang yang merasa sayang kepadaku.

Awalnya kupikir itu keren sekali. Sampai-sampai, aku bosan karena terus-terusan mendapat pengelihatan berwarna merah muda (waktu itu aku masih sering tinggal dengan keluargaku karena SCN Dasar (SCND) membolehkan murid-murid pulang setiap akhir pekan. Jadi, tentu saja aku mendapat kasih sayang). Jadi, sejak kecil, aku jarang mengaktifkan keunggulan mataku. Tombol untuk menyalakan dan mematikan fungsi mata ada di dalam telapak kakiku, dan tombol itu nyaris tidak pernah kusentuh lagi sejak terakhir kali aku mematikannya beberapa tahun yang lalu.

Bagian tubuh robot yang paling kusuka dari diriku adalah tangan kananku. Di dalam telapak tanganku ada tiga tombol. Tombol pertama untuk membuat tanganku lengket sehingga aku bisa menempel di tembok seperti Spider-Man. Tombol kedua bisa membuat jari-jariku memanjang sampai tiga puluh senti—ini sangat berguna jika aku ingin mengambil barang yang agak jauh. Tombol ketiga bisa membuat jari-jariku mengeluarkan semacam tali tipis (berguna juga untuk mengambil barang, dan lagi-lagi, mirip Spider-Man).

Tapi, sekarang tangan itu tidak ada. Setelah Profesor Indah memungutnya dari tanah, dia menyerahkan tangan itu ke lab SCN untuk diteliti. Aku mendapat kabar bahwa tanganku sebenarnya masih bisa diperbaiki, tapi sulit sekali.

Beberapa hari yang lalu, aku ingin sekali mendapat tangan baru. Kupikir, aku akan mendapat tangan baru yang lebih keren (karena sejujurnya, aku sudah agak bosan dengan tengan itu). Tapi sekarang, aku baru sadar bahwa aku sangat menyayangi tangan itu. Ya ampun, kembalilah tanganku.

"Lo masih bisa pakai kaki lo," kata Eva ketika aku mengatakan padanya bahwa bagian robot terpentingku sudah tidak ada. "Di telapak kaki lo, selain ada tombol buat ke mata, juga ada tombol buat ngeluarin roda, kan?"

Aku mengangguk. "Iya, ada roda, tapi enggak pernah gue pakai. Buat apa? Lo pikir gue bisa meluncur-luncur cuma dengan satu kaki yang ada rodanya? Kaki kiri gue kan masih normal."

"Hm, bener juga." Eva tampak berpikir. Aku dan Eva sekarang sedang berada di koridor di depan kamar kami. Eva sedang memikirkan bagaimana caranya aku bisa memanfaatkan tubuh robotku selagi kami ada di sini.

Setelah beberapa saat, dia tampaknya mendapat ide. Dia membuka kompartemen di betis kirinya dan mengeluarkan ponsel. Ia mengetikkan sesuatu sebelum mendongak menatapku dan berkata, "Tunggu, ya."

Aku bertanya apa maksudnya, tapi dia tidak mau menjawab.

Beberapa saat kemudian, datanglah seorang gadis yang pasti masih duduk di SCN Menengah Pertama (SCNMP). Dia datang membawa sebuah sepatu roda, hanya yang bagian kiri saja.

Gadis itu menyerahkan sepatu roda itu ke Eva tanpa mengatakan apa-apa. Setelah itu, ia langsung berbalik pergi.

Aku memandang Eva dengan bingung. "Itu tadi siapa? Kenapa dia bisa bawain sepatu roda buat lo?"

"Tetangga gue. Kecelakaan pas umur lima tahun, kalau enggak salah. Gue inget dia suka main sepatu roda, jadi gue pinjem sepatu roda dia. Lo butuhnya yang kiri aja, kan?" Eva menyerahkan sepatu roda itu kepadaku. "Nih, semoga muat."

Aku menerima sepatu roda itu dengan agak ragu. "Lo serius? Dia tadi enggak ngomong apa-apa. Serem gue ngelihatnya, Va."

Eva tertawa. "Tenang aja, dia emang pendiam banget."

Aku mengangguk kemudian memasang sepatu roda itu di kakiku. Sepatu itu agak kekecilan, tapi masih bisa kukenakan. 

"Nah!" Eva menepukkan tangannya. Lalu, dia menepuk kedua kakinya, membuat keduanya menyatu dan kemudian, muncul roda-roda di bawah kedua kakinya yang menyatu. Dia tampak seperti sedang berada di atas skateboard. "Sekarang, ayo kita meluncur!"[]

a.n

Hai semuaa! Selamat hari Sabtu : )

7 Januari 2017

Hello, Would You Like to Be My Cyborg?Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon