v. aku ingin ponselku, bukan anak-anak 'mama'

21.9K 4.5K 768
                                    

Sepertinya hari ini aku sedang sangat sial.

Tadi, sewaktu aku sampai di perpustakaan, penjaga perpustakaan bilang, tidak ada yang menugaskanku untuk berjaga di sana.

Mendengarnya, aku sudah nyaris melompat-lompat bahagia dan memeluk penjaga perpustakaan itu. Yah, setidaknya itu sebelum penjaga perpustakaan tersebut berkata, "Tapi kalau emang ada guru yang nyuruh kamu jaga di sini, ya udah, sini aja, bantuin saya."

Dan beberapa jam berikutnya adalah beberapa jam yang paling membosankan dalam hidupku. Maksudku, beberapa jam tidak penting itu kan, bisa saja kugunakan untuk mengedit foto yang harus aku post di Instagram malam ini.

Kalau itu belum terdengar cukup sial, saat bel pulang sekolah berbunyi dan aku akhirnya bisa keluar dari perpustakaan, Wanda—teman sekelasku—bertanya, "Lo tadi ke mana, Key?"

"Perpustakaan, ada guru yang nyuruh jaga di sana, enggak jelas banget," keluhku. "Eh, tapi tunggu. Emang enggak ada surat dispen buat gue?"

Wanda menggeleng, bingung. "Enggak ada. Gue kira lo kabur," jawabnya.

Aku melongo. "Tapi tadi gurunya bilang bakal ngurusin surat dispen gue!"

"Guru siapa?" tanya Wanda.

"Gue enggak tahu namanya," jawabku. "Nah, parahnya lagi, guru itu ngambil ponsel gue!"

"Coba sebutin ciri-cirinya, siapa tahu gue tahu namanya," kata Wanda.

Aku berusaha mengingat-ingat. "Agak gendut, tapi tinggi. Pakai kacamata yang ujungnya lancip gitu, terus rambutnya dicepol."

Wanda menggeleng. "Gue enggak pernah tahu ada guru kayak gitu. Rata-rata kacamatanya kalau enggak oval ya persegi gitu, enggak ada yang ujungnya lancip."

Aku mendesah kesal. "Ya udah, gue mau cari dia dulu. Gue enggak bisa pulang sebelum ponsel gue balik ke tangan gue lagi."

Wanda menepuk-nepuk bahuku. "Good luck, Key."

[.]

Kenyataannya, hari itu aku terpaksa pulang tanpa membawa ponsel, karena sampai sekolah nyaris ditutup, aku masih belum bisa menemukan guru itu.

Aku bahkan pergi ke ruang guru dan bertanya kepada setiap guru yang kutemui apakah mereka bisa membantuku menemukan guru sesuai ciri-ciri yang kusebutkan. Tapi mereka semua berkata, tidak ada guru dengan ciri-ciri seperti itu.

Dengan berat hati, aku pulang ke rumah. Yang menyebalkannya lagi, aku tidak bisa mengadu ke orangtuaku karena aku yakin sekali, mereka justru akan senang dengan tidak adanya ponsel di genggamanku. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran mereka.

Begitu aku sampai di rumah, aku langsung masuk kamar dan mendesah kesal. Kalau begini caranya, bagaimana aku bisa post foto untuk Instagram? Semua foto dan aplikasi untuk mengedit foto kan ada di ponselku!

Aku duduk di atas kasur sambil memejamkan mata, berharap, begitu aku membukanya lagi, ponselku sudah ada di sebelahku.

Oke, aku tahu itu tidak mungkin. Tapi... sedikit berharap tidak ada salahnya, kan?

Begitu aku membuka mata lagi, aku benar-benar terkejut.

Bukan, bukan karena ponselku tiba-tiba muncul seperti yang kuharapkan.

Melainkan, karena di depanku, kini berdiri tiga remaja asing—dua cowok, satu cewek—dan mereka menatapku sambil tersenyum lebar.

Aku sudah siap untuk menjerit sampai salah satu di antara dua cowok di depanku berkata, "Hai, Keysha. Lo enggak boleh teriak, kalau lo teriak, ponsel lo bakal terus ditahan sama Mama."

Sebelum aku sempat bereaksi, cowok yang tadi berbicara bertanya ke remaja cewek yang berdiri di sebelahnya, "Eh, bagusan 'hai' atau 'hei', ya?"

Kurasa aku akan pingsan.[]

25 Juni 2017

When Social Media Comes AliveWhere stories live. Discover now