Prolog

85 1 0
                                    

Dengan langkah gegas, aku memasuki lift apartemen di daerah Myungdong, Seoul. Ponsel kutempelkan di telinga kiri. Perasaan gelisah menyergapku. Teleponku yang tak kunjung diangkatnya menunjukan bahwa pria itu mungkin masih tidur.

Tak henti-hentinya aku memencet bel setelah sampai di nomor apartemen yang kucari. Ponsel masih menutup telingaku. Beberapa menit menunggu, akhirnya pintu di depanku terbuka.

"Ji Ae, kau sudah datang?"

Aku melotot ke arahnya berharap dia akan sadar diri dan mengakui kesalahannya. Tapi tidak. Dia tersenyum samar. Senyum yang paling kubenci.

"Kau lupa ya, kita ada janji ketemuan jam 9 pagi. Dan kau...." Aku menelitinya dari atas ke bawah. Kaos oblong dan celana pendek kusut, rambut berantakan mencuat ke berbagai arah, wajah mengantuk dan bau menyengat yang menandakan dia belum mandi. "Kau... kau belum bersiap-siap? Apa yang kau lakukan? Mengapa teleponku tak kau angkat?"

Pria itu hanya terkekeh menjawab berondongan pertanyaanku sambil kembali masuk ke dalam apartemennya. Aku membuntutinya di belakang. Begitu masuk dan melihat layar dari game miliknya masih menyala, aku langsung mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi. Dia pasti keasyikan main game itu sehingga lupa waktu dan tak mendengar dering ponselnya berbunyi.

Dasar maniak game.

"Kau tahu kita sudah terlambat tiga puluh menit," kataku kesal. Bosan menghadapi tingkahnya yang kekanakan.

"Jangan khawatir." Pria itu masuk ke kemarnya sebentar dan kembali dengan handuk tersampir di bahunya. "Beri aku waktu lima belas menit untuk bersiap-siap."

Senyum yang kubenci itu kembali tersungging di bibirnya sebelum dia masuk ke kamar mandi. Senyum samar seperti senyuman Joker dalam lembaran kartu bridge. Entah senyuman tulus atau senyuman yang mengejek. Senyum yang menghancurkan semua fantasiku tentang Lee Yong Joon saat pertama kali aku bertemu dengannya.

LOCK ONWhere stories live. Discover now